Menit Mematikan dalam Pilkada Jember dan Gresik
Mahkamah Konstitusi dengan tegas dan cermat menolak gugatan yang diajukan Calon Bupati dan Wakil Bupati Gresik, Husnul Khuluq-Achmad Rubaie (Berkah), dalam perselisihan hasil Pilkada Gresik 2015 di nomor perkara 60/PHP.BUP-XIV/2016.
Gugatan itu ditolak, karena pemohon terlambat memasukkan gugatan. Menurut Undang-Undang nomor 8 tahun 2015 tentang Pilkada Pasal 157, peserta pemilihan bisa mengajukan permohonan pembatalan hasil rekapitulasi kepada Mahkamah Konstitusi paling lama 3x24 (tiga kali dua puluh empat) jam sejak diumumkan penetapan perolehan suara hasil Pemilihan KPU setempat.
Komisi Pemilihan Umum Gresik menetapkan rapat pleno rekapitulasi hasil penghitungan suara tingkat kabupatan pada 16 Desember 2015 pukul 16.30. Namun pemohon memasukkan dan melengkapi berkas tiga hari kemudian pada pukul 16.37.
Ini berarti ada keterlambatan tujuh menit. Hanya tujuh menit!
Para hakim di MK berpegang teguh pada Undang-Undang nomor 8 tahun 2015 tentang Pilkada Pasal 157. Tak ada jalan lain selain menolak gugatan itu, karena tak perlu lagi ada yang ditafsirkan di peraturan tersebut.
Kasus ini menunjukkan bahwa urusan waktu administratif tidak bisa disepelekan. Jangankan hitungan jam atau hari, hitungan menit pun tak bisa dianggap remeh. Itulah nalar hukum. Tak bisa dan tak boleh dibengkokkan dengan nalar politik yang sepihak.
Tentu menarik untuk ditunggu apakah para hakim di MK akan menunjukkan ketegasan serupa dalam memegang konstitusi dalam kasus lain yan tak kalah krusial, yakni sengketa pilkada Kabupaten Jember. Sebagaimana kasus pilkada Gresik, kasus sengketa pilkada Jember juga berbicara soal pelanggaran waktu administratif.
Komisi Pemilihan Umum Jember mengetahui dan memahami bahwa dua pasangan calon, yakni Sugiarto - Moch. Dwikoryanto dan Faida - Abdul Muqit Arief, terlambat menyerahkan LPPDK masing-masing lima menit dan 40 menit dari jadwal yang ditetapkan.
Pasal 53 Peraturan KPU Nomor 8 Tahun 2015 jelas menyebutkan, keterlambatan itu berbuah sanksi diskualifikasi atau pembatalan status calon. Tidak ada tafsir lain. Kegaduhan terjadi, saat Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) melansir informasi keterlambatan tersebut dan KPU Jember memilih tidak mendiskualifikasi dua pasangan calon. Tahapan pilkada berlanjut. Proses lanjutan baru terhenti, menyusul gugatan dari pasangan calon Sugiarto - Dwikoryanto yang melayangkan gugatan kepada KPU Jember ke MK karena tidak mengakui keterlambatan lima menit tersebut.
Komisioner KPU RI Arief Budiman pernah menyatakan bahwa pihaknya tidak berwenang mengaudit isi LPPDK, karena itu merupakan kewenangan Kantor Audit Publik (KAP). "Yang penting itu bagaimana kepatuhan menyerahkannya tepat waktu," ujarnya, sebagaimana dilansir Republika.co.id, 27 November 2015.
"Tanpa kita ingatkan pun, paslon semestinya persiapkan ini, karena kami bekerja sesuai aturan UU berlaku, jadi kalau demikian ya kita akan lakukan (pembatalan)," kata Arief.
Di Kota Bitung, KPU setempat membatalkan pencalonan pasangan Ridwan Lahiya dan Maxmillian Purukan sebagai calon Walikota dan Wakil Walikota karena terlambat menyerahkan LPPDK. Pasangan tersebut baru memasukkan LPPDK jauh melewati batas waktu yang ditentukan, yakni dinihari.
Bagaimana dengan kasus Jember? Akankah keterlambatan tersebut bakal ditoleransi MK sebagaimana dilakukan KPU Jember? Majelis hakim MK belum membacakan putusan sela. Namun tentu semua pihak harus berbaik sangka dan tidak boleh berburuk sangka terhadap mereka.
Kita yakin para majelis hakim di MK adalah orang-orang yang bijak-cendekia, dan itu sudah mereka tunjukkan dalam memutus perkara sengketa pilkada Gresik. Mereka terbukti hanya memegang aturan yang jelas dan tegas, tanpa membengkokkannya dengan nalar politik. [wir]
18 January 2016
Labels: Esai, Obrolan Kota, Politik
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment