Hikayat Pesanggem
Bagaimana penghijauan hutan bukan urusan gampang.
Akhirnya, inilah kampung itu: Magersari. Orang menyebutnya kampung para pesanggem, petani hutan. Kampung ini tak tercantum dalam peta resmi mana pun, kecuali mungkin peta militer yang sering melakukan latihan di pegunungan Argopuro.
Secara administratif, Magersari terletak di dusun/desa Pakis, kecamatan Panti, kabupaten Jember, Jawa Timur. Namun tak mudah mencapai kampung yang terletak di lereng pegunungan Hyang, dengan ketinggian sekitar 800 meter dari permukaan laut ini. Jaraknya sekitar 25 kilometer arah barat laut dari pusat kota Jember.
Lereng pegunungan Hyang adalah bagian dari pegunungan Argopuro. Sebagian orang menyebutnya gunung Argopuro. Saya lebih suka menyebut pegunungan, karena Argopuro yang berada di wilayah kabupaten Jember, Bondowoso, Situbondo, dan Probolinggo ini tak memiliki satu puncak layaknya gunung lain di Jawa Timur
Dengan tinggi 3.088 meter, Argopuro memiliki beberapa puncak. Puncak yang terkenal adalah puncak Rengganis yang terletak di wilayah selatan. Konon di sini seorang putri kerajaan bernama Dewi Rengganis bertapa dan meninggal dunia. Sebuah batu yang disebut petilasan dan makam Rengganis bisa ditemukan di sana.
Magersari secara geografis lebih dekat dengan puncak Rengganis daripada puncak lainnya. Untuk mencapai Magersari, sulit jika Anda hanya menunggang sepeda motor bebek biasa. Jalannya berbatu. Besar. Kecil. Sangat sulit. Apalagi jika hujan. Tanah bisa berubah menjadi lumpur. Ban sepeda motor bisa selip, dan bahkan bocor jika kurang angin.
Saya beruntung, siang itu bisa meneruskan separuh perjalanan ke Magersari dengan menumpang mobil kijang milik polisi hutan perhutani. Namun ini bukan perjalanan yang nyaman. Selama satu jam lebih tubuh saya terguncang-guncang. Sebelah kanan saya rimbunan pohon. Sebelah kiri adalah jurang.
Beberapa kali saya membantu petugas mendorong mobil yang terjebak di lumpur. Dorong dan tarik. Ban mobil berputar menghamburkan tanah liat basah mengenai pakaian saya. Betul-betul perjalanan yang berkeringat.
Sepanjang perjalanan, saya hanya berpapasan dengan sedikit orang yang berjalan membawa kayu bakar. Saya membayangkan, betapa hebatnya orang-orang ini, mau tinggal di gunung dan harus berjalan kaki untuk bisa mencapai desa terdekat di kaki gunung.
Ada 13 keluarga yang tinggal di Magersari. Sebagian besar berdarah Madura, namun masuk dalam kategori pedalungan. Pedalungan adalah komunitas etnis khas Jember, di mana mereka bisa berbahasa Jawa selain berbahasa Madura.
Mereka tinggal di rumah-rumah yang sederhana. Sebagian terbuat dari kayu, bambu, dan bata. Lantai dari tanah liat. Ada beberapa ekor sapi dalam kandang. Sapi bagi warga etnis Madura adalah salah satu simbol status sosial.
Tidak ada jaringan listrik yang masuk ke kampung ini. Perusahaan Listrik Negara tidak cukup nekat membangun fasilitas jaringan di sini.
Namun, saya melihat antena televisi.
Saya bertamu ke rumah Kami’i. Ia salah satu pesanggem pertama yang menghuni kampung ini. “Ini kampung terakhir di daerah selatan. Kampung paling pucuk,” katanya.
Kami berbincang di ruang tamu sederhana, dengan sofa yang mulai reot dan tak empuk. Dinding ruang tamunya dihiasi beberapa foto, salah satunya foto dirinya bersama sejumlah petugas polisi hutan. Ada poster berlambang PKB dan Abdurrahman Wahid. Poster tulisan Arab: ayat kursi.
Kami’i mulai menetap di Magersari sekitar 15 tahun silam. Ia menemui saya dengan pakaian warna cokelat kehijauan seperti seragam petugas perhutani. Tanpa badge.
“Saya pernah diangkat jadi mandor selama delapan tahun oleh Perhutani. Saya dapat upah. Tapi saya nggak kuat. Saya merasa tidak mampu, lalu minta jadi petani lagi,” kata Kami’i.
Sebelumnya, Kami’i adalah pekerja kasar di kebun Widodaren milik Perusahaan Daerah Perkebunan. Ia tinggal di persil, sebagaimana pekerja lainnya. Namun upah dari perkebunan dianggapnya tak cukup lagi untuk biaya hidup. Apalagi, ia tak punya rumah dan sawah sendiri.
Kami’i ingin punya tanah sendiri, untuk dikelola dan bisa menghasilkan, walau sedikit. Akhirnya, sekitar tahun 1991, ia memutuskan bergeser ke hutan. Ia boyong istri dan dua anaknya. Saat itu hanya ada dua keluarga yang tinggal di Magersari.
Kami’i membangun rumah pertamanya, sebuah pondok bambu, dengan luas hanya empat kali lima meter. Atapnya dari alang-alang, Ia mulai menanam jagung dan kopi. Setiap panen ia turun ke desa terdekat dan menjualnya.
Sejak Perhutani memintanya menanam mahoni, Kami’i tak lagi menanam kopi. Kini ia hanya mengandalkan kebun jagung dan pisang. Penghasilannya paling mentok 500 ribu perak, dan baru panen empat bulan sekali.
“Kalau lagi apes (sial), kadang tak hasil. Kadang hanya jual pisang,” kata Kami’i.
Kami’i baru turun ke desa terdekat jika hendak menjual hasil bumi atau membeli barang kebutuhan sehari-hari. Ia tak rutin melakukannya. Kadang sepekan sekali, kadang sebulan sekali.
Menurut dia, butuh waktu satu hari untuk berjalan pulang pergi ke dusun Pakis di kaki gunung. Ada sepeda motor Binter hitam buatan tahun 1980 di salah satu kamar Kami’i. “Tapi sudah lama tidak bisa jalan,” katanya.
Jika tak ada yang bisa dijual atau dijadikan lauk pauk, Kami’i cukup senang dengan nasi dicampur garam, plus sayur kulup.
Jauhnya jarak Magersari dengan dusun di kaki gunung membuat dua anak Kami’i, Mujiono dan Imam, tak bersekolah. Mujiono sempat makan bangku sekolah dasar hingga kelas lima. Setelah mereka pindah ke hutan, sekolah itu hanya impian. Mereka belajar menjadi pesanggem.
Saya menanyakan antena televisi yang terlihat tadi. Menurut Kami’i, tanpa jaringan listrik, televisi dinyalakan dengan generator set milik seorang pesanggem yang disapa Pak Su. Tak jelas bagaimana sejarah generator set itu. Namun, sebagian besar pesanggem pindah ke hutan tidak dengan tangan kosong. Mereka membawa harta benda yang mereka kumpulkan sebelum memutuskan menjadi petani hutan.
Jika ingin nonton televisi dan ingin menikmati aliran listrik barang sebentar, Kami’i akan menyumbangkan uang sepuluh ribu rupiah untuk membeli dua liter bensin sebagai bahan bakar generator set.
Dua liter bensin cukup untuk membangkitkan listrik untuk jam enam petang hingga sebelas malam. “Kadang saya kangen lihat berita televisi. Kejadian pundi-pundi pengen semerap, akhire disumbangaken (kejadian di mana-mana saya ingin tahu, akhirnya uang yang ada disumbangkan untuk membeli bensin),” kata Kami’i.
“Saya senang berita. Informasi kerusakan longsor di mana-mana, di sini kan nggak longsor.”
Sinetron? “Kalau itu istri yang senang. Saya habis nonton berita ya tidur,” kata Kami’i menunjuk Misiyem, istrinya.
“Ya senang juga, Mas,” sahut Misiyem.
Listrik dan televisi adalah kemewahan. Dalam sepekan, lampu dan televisi hanya menyala satu malam. Sisanya selama enam malam, Kami’i hanya ditemani nyala api dari ublik.
Kami’i tak mengeluhkan kemiskinannya. Ia seperti menyadari, kemiskinan adalah lingkaran tiada putus dalam hidup sebagian besar pesanggem. Namun, menjadi pesanggem dianggap pilihan yang lebih baik daripada hanya menjadi buruh kebun biasa, yang tak bisa mengelola tanaman sendiri.
“Mereka yang menjadi pesanggem tidak punya lahan pertanian sendiri. Mereka tidak ada pilihan lain, lalu lari ke hutan. Karena dirasa lebih bisa menyejahterakan, akhirnya semakin banyak yang menjadi pesanggem,” kata Imam Buchori.
Imam Buchori adalah presiden pesanggem di Jember. Ia ketua Forum Komunikasi Lembaga Masyarakat Desa Hutan. Raut mukanya jenaka. Dengan kaca mata bertengger di hidung, ia terlihat lebih tua dari usianya. Badannya gemuk, dengan tinggi sekitar 165 centimeter.
Buchori tinggal di dusun Sumbercantik desa Tugusari kecamatan Bangsalsari. Rumahnya hanya berjarak 100 meter dari hutan. “Kalau saya ingin menemui Anda, saya harus turun dulu ke bawah. Di sini sinyal telpon fleksi tidak bagus,” katanya.
Pesanggem berasal dari kata dasar bahasa Jawa yakni sanggem, artinya andil garapan atau bagian lahan garapan. Pesanggem berarti penggarap andil lahan hutan. Kata ini biasa digunakan oleh orang-orang perhutani untuk menyebut masyarakat yang membuka lahan pertanian di hutan.
Menurut Buchori, pesanggem tak selalu harus tinggal di hutan. Siapapun yang memanfaatkan hutan, dan secara kultur berinteraksi dengan hutan, maka berhak disebut sebagai pesanggem.
Jumlah pesanggem di Jember mencapai ribuan atau bahkan belasan ribu orang. Namun yang tergabung dalam 49 lembaga masyarakat desa hutan (LMDH) sekitar tujuh ribu orang. Setiap lembaga memiliki jumlah anggota bervariasi. Terbanyak adalah lembaga di wilayah Baban Silosanen, 1.300 anggota.
Buchori mengatakan, tahun 1972, setelah perhutani diberi hak untuk mengelola hutan, hal pertama menjadi prioritas adalah memelihara hutan dan menyelamatkannya dari kerusakan.
Kebetulan, saat itu di beberapa wilayah hutan sudah dimanfaatkan petani untuk ditanami padi, jagung, dan kopi. Mengusir para petani begitu saja tentu bisa memunculkan masalah.
Maka, para petani diberi kesempatan untuk menanam tanaman semusim selama dua tahun, asalkan juga ikut menanam dan menjaga tegakan pohon tumbuh. Mereka dikumpulkan dalam kelompok-kelompok tani hutan. Setelah dua tahun, mereka dipersilakan keluar dari hutan.
Namun, tak mudah menyuruh para petani angkat kaki. Hutan sudah terlanjur jadi gantungan hidup.
Administratur Perhutani Jember Taufik Setyadi bercerita, tahun 1970-an akhirnya ada kesepakatan antara masyarakat dengan perhutani bahwa masyarakat boleh menanam kopi, dan perhutani mendapat bagian penjualan.
Kebijakan itu tak bertahan lama. “Ada protes dari perusahaan perkebunan yang menyatakan perhutani seharusnya tidak boleh mengusahakan sesuatu yang bukan bidang tugasnya,” kata Setyadi.
Maka perhutani pun mulai membabati kopi milik masyarakat hutan. Para pesanggem marah. Mereka tidak bisa menerima penjelasan apapun. Yang dipegang sejak awal adalah kesepakatan dengan perhutani. Di sinilah kisah konflik dengan pesanggem dengan perhutani meletus.
Ini bukan konflik yang mudah. Ini konflik berdarah-darah. Suasana waktu itu tegang. “Jangankan masuk hutan, menanam saja sulit. Kalau ketahuan ada puhung (ubi kayu) di hutan, bisa dilempar sama petugas perhutani,” kata Buchori.
Tahun 1980-an, staf perhutani Jember Robutus Gawoto harus kehilangan dua jarinya karena dibacok oleh pesanggem.
Tahun 1993, seorang mandor bernama Syamsudin berhadapan dengan tiga pesanggem yang hendak mengambil kayu hutan. Ia melawan dengan keras sebelum sebuah pukulan dengan tongkat mengakhiri hidupnya.
Konflik antara pesanggem dengan perhutani menjadi laten. Petani menilai petugas perhutani bersikap semena-mena. “Petugas memposisikan diri sebagai penguasa saat itu,” kata Buchori.
Pengajar antropologi Universitas Jember yang pernah meneliti konflik tanah di Jember, Andang Subaharijanto, mengatakan perhutani mewarisi rumitnya persoalan tanah sejak zaman kolonial Belanda.
Undang-undang pokok agraria tahun 1960 menetapkan negara sebagai pemilik kewenangan pengelolaan tanah. Tapi ada kepentingan kapital bersembunyi di balik kepentingan negara. Pemerintah lebih mempermudah pemberian hak pengelolaan kepada perusahaan swasta atau institusi lain yang mengatasnamakan negara.
“Ini konflik interpretasi pengelolaan. Masyarakat punya interpretasi sendiri mengenai hak kelola,” kata Subaharijanto.
Puncaknya adalah peristiwa reformasi tahun 1998. Soeharto yang telah berkuasa selama 32 tahun turun dari tahtanya, setelah gelombang aksi mahasiswa bermunculan di mana-mana.
Kerusuhan di beberapa kota terjadi. Penjarahan tak hanya terjadi di kota, tapi juga merambah ke hutan. Pohon-pohon ditebangi.
Di Jember, selama periode 1998 – 2000, kerusakan terbesar terjadi di wilayah Baban Silosanen. Dari 11 ribu hektare hutan Jember yang digarap secara liar, 7.600 hektare lahan gundul dan ditanami tanaman palawija berada di wilayah Silosanen.
Sebenarnya, pelaku penjarahan hutan tidak selalu pesanggem atau warga sekitar hutan. Dalam beberapa kasus, kayu-kayu rimba diangkut secara ilegal dengan truk oleh seseorang yang sama sekali tak pernah berinteraksi dengan hutan.
Tapi, pesanggemlah yang kemudian memanfaatkan tanah kosong pasca penebangan liar itu. “Masyarakat merasa punya hak atas tanah. Mereka berpikir (lahan kosong) sisa penjarahan bisa dimanfaatkan,” kata Buchori.
Di hari pengujung tahun 2007, saya bersama Mulyoaji dan Taufik Setyadi berada di wilayah Baban Silosanen. Mulyoaji adalah komandan distrik militer 0824 Jember.
“Lihat itu di sana, hijau semua,” Mulyoaji menunjuk hamparan luas bukit di depan saya.
Saya tidak tahu nama bukit yang ditunjuk Mulyoaji. Hamparan bukit hijau itu berada di petak 18. Seharusnya, petak ini adalah petak hutan lindung. Saya berharap bisa membayangkan hijau hutan brokoli. Ini istilah jurnalis Bondan Winarno yang mengacu pada lebatnya hutan di Kalimantan.
Namun, tidak. Saya salah. Ini bukan hijau hutan brokoli. Hijau di hamparan petak 18 adalah hijau daun jagung. Dari total 3.473,6 hektare lahan petak tersebut, 80 persen ditanami jagung, termasuk di daerah curam sekalipun.
Ada salah satu lereng berwarna coklat tanah dengan kecuraman 80 derajat. Tidak ada tanaman sama sekali. Menurut Dedi Sofyandi, asisten petugas pengawas Perhutani Mayang, daerah curam seperti itu juga akan ditanami jagung.
“Tadi saat tahu ada petugas, dua orang lari,” kata Sofyandi.
“Kami tidak bisa melarang mereka. Mereka selalu beralasan untuk kebutuhan perut.”
Namun urusan kebutuhan perut akhirnya berimbas pada bencana. Berakar serabut, jagung tidak cukup kuat mengikat air dalam tanah. Akibatnya, setiap kali musim hujan tiba, sejumlah desa harus bersiap menerima banjir lumpur.
Siang hari saya mengunjungi Baban Silosanen, malam hari – saat malam tahun baru – banjir lumpur menghajar puluhan rumah. Tidak ada korban jiwa.
Banjir lumpur itu semakin memperkuat sinyal bahwa persoalan hutan adalah persoalan serius. Di Jawa Timur, kabupaten Jember menjadi salah satu kabupaten yang dianggap rawan bencana. Awal tahun 2006, banjir bandang dari lereng Argopuro pernah membuat ratusan orang mati dan ribuan lainnya mengungsi.
Perhutani pernah meluncurkan program pengelolaan hutan berbasis masyarakat pada tahun 2002. Program ini tak sepenuhnya berhasil di Jember, karena rakyat merasa tak dilibatkan dan melakukan perlawanan.
Para pesanggem memakai taktik tancap lari. Jika tidak ada polisi hutan, mereka segera menancapkan bibit-bibit kopi atau jagung. Jika ketahuan dan bibit-bibit itu dibongkar petugas, mereka lari. Begitu seterusnya. Dengan jumlah polisi hutan yang terbatas dan harus mengawasi 76 ribu hektare hutan, taktik ini tak ubahnya taktik perang gerilya yang efektif. Tanaman jagung tumbuh di mana-mana.
Pesanggem juga mencabut bibit pohon yang ditanam perhutani, karena dianggap bisa mengganggu pertumbuhan tanaman kopi atau palawija mereka.
Saat menjabat awal sebagai administratur, Taufik Setyadi pusing tujuh keliling menghadapi perlawanan para pesanggem ini. Ia tak berkutik, karena adanya kabar pesanggem melakukan aksi tersebut dengan dukungan tokoh masyarakat, ulama, dan tokoh politik.
Diakui atau tidak, hutan seperti lubang hitam yang menarik siapapun. Abdul Qodim Manembodjo paham betul hal itu. Ia adalah seorang dosen yang menjadi ketua Gerakan Nasional Kelestarian Lingkungan. Ini organisasi yang berafiliasi pada Nahdlatul Ulama Jember.
Manembodjo sering menyambangi masyarakat hutan, terutama di wilayah Silosanen. Menurutnya, saat ini ada sejumlah pihak yang masuk ke persoalan hutan, mengembuskan isu sertifikasi dan kepemilikan lahan hutan kepada para pesanggem.
Orang-orang luar ini berasal dari beberapa kota tetangga Jember, Banyuwangi dan Lumajang. Ada juga yang dari Flores. Mereka bagi-bagi duit, menyuruh pesanggem menanam kopi di lahan hutan lindung pada petak-petak tertentu. Jika ada persoalan, pesanggem yang bakal berhadapan dengan petugas, bukan para cukong ini.
Buchori membenarkan adanya orang-orang yang mengembuskan isu sertifikasi dan kepemilikan lahan ini. Para pesanggem dikutip duit barang lima puluh ribu atau seratus ribu rupiah dengan jaminan pengurusan sertifikat.
Taufik Setyadi memastikan sertifikasi adalah kebohongan. Perhutani tidak akan pernah melepaskan lahan hutan untuk dimiliki. Bahkan, perhutani menyesal pernah melepas lahan seluas 1.700 hektare pada tahun 1990 untuk rakyat.
“Kasus Baban Silosanen, masyarakat janji kalau kawasan hutan dilepas 1.700 hektare, hutan lindung tak akan diganggu. Omong kosong! 9.500 hektare hutan tetap dirusak. Mereka kemudian malah minta 9.500 hektare ini disertifikasikan,” katanya.
Permainan politik lokal juga ikut bermain. Manembodjo menyebut nama Machmud Sardjujono, mantan ketua Partai Golongan Karya Jember, sebagai salah satu pihak yang bertanggungjawab terhadap isu sertifikasi kawasan hutan yang berkembang di Baban Silosanen.
Menurutnya, tahun 2003, Sardjujono berkampanye bahwa Partai Golkar paling berjasa dalam hal sertifikasi lahan hutan di Garahan, Silo.
“Saya masih ingat sampai sekarang. Saya pengawas pemilu pada waktu itu. Kalau Pak Machmud mengkomplain ya boleh, kan udah lupa, 2003. siapa saja berhak untuk lupa. Tapi saya kan masih ingat. Saya punya catatan pengawas pemilu setahun lebih,” kata Manembodjo.
Tuduhan terhadap Sardjujono dimuat di Harian Radar Jember milik kelompok Jawa Pos. Manembodjo memang hanya menyebut data tahun 2003. Soal data tahun ini, ia tak bisa bicara banyak. Tapi itu sudah cukup membuat Sardjujono geram.
Sardjujono adalah politisi yang intensif menggarap masyarakat di sekitar hutan sejak beberapa tahun lalu, melebihi politisi lainnya. Saat ini, ia duduk di jajaran pengurus Partai Golkar Jawa Timur, dan menjabat wakil ketua DPRD Jember.
Saya beberapa kali melakukan wawancara dengan Sardjujono mengenai persoalan politik yang masuk dalam hutan. Saya punya istilah ‘politik orang utan’.
Setiap kali kesempatan, Sardjujono mengatakan, dirinya hanya berniat membantu penghijauan hutan. Ia membentuk dan mengetuai Paguyuban Tani Masyarakat Desa Hutan (PTMDH) untuk menyadarkan masyarakat hutan. PTMDH diklaim memiliki enam ribu orang anggota dengan identitas tercatat resmi.
“Saya tidak pernah mengatakan kepada rakyat bahwa lahan hutan bisa disertifikasi. Saya tahu lahan hutan tidak pernah bisa dimiliki perorangan. Kalau saya omong sertifikasi, itu sama saja bunuh diri.”
Sardjujono tak mau disebut mempolitisasi pesanggem. Ia tahu betul kultur masyarakat Madura pedalungan. “Mereka lebih dekat dengan kiainya,” katanya.
Bagaimana dengan pernyataan Manembodjo? Sardjujono menganggapnya sebagai pernyataan politis. Saat saya meminta tanggapannya via ponsel, istri Sardjujono juga ikutan marah.
Saat Sardjujono mencoba menjelaskan, istrinya ikut menyeletuk dan terdengar jelas di ponsel saya. “Pokoknya Radar harus minta maaf,” sergahnya.
“Sik to, wis to (sebentar, sudah),” sahut Sardjujono kepada sang istri.
Sardjujono mengakui pernah mengampanyekan keberhasilan Golkar mendistribusikan tanah hutan. Katanya, sempat ada lahan eks kebun Curah Ungkal seluas 3.600 hektare yang dinasionalisasi. Sekitar 1.200 hektare di antaranya diredistribusikan untuk rakyat, pada masa Sudharmono menjadi wakil presiden RI.
“Namanya kampanye, jasa kepada rakyat yang kita ungkap. Kalau tidak, kan bisa diaku sama orang lain. Mestinya Pak Qodim itu klarifikasi ke saya. Itu (pernyataannya) sangat menyesatkan dan berbahaya.”
Sardjujono juga menolak tudingan, bahwa anggota PTMDH memungut sejumlah uang kepada pesanggem sebagai imbalan atas usaha sertifikasi lahan hutan.
Sertifikasi lahan justru dilakukan kelompok kepentingan politik lokal tingkat desa. Menurut Sardjujono, ada calon kepala desa yang meminta dukungan warga dengan imbalan kepemilikan lahan.
Siapa yang benar? Tidak ditemukan adanya bukti kongrit hitam di atas putih mengenai transaksi sertifikasi. Namun sejumlah pihak yang saya temui menyatakan isu sertifikasi benar-benar kuat tersebar di kalangan pesanggem.
Setidaknya, ada kabar bahwa rakyat ditoleransi untuk menanam jagung dan tanaman semusim lain di hutan lindung, tanpa perlu repot memperhatikan dan merawat tegakan pohon.
Di tingkat pesanggem, kabar ini memunculkan ketegangan antar kelompok: LMDH dengan PTMDH. Sardjujono kepada saya pernah menyebut bahwa PTMDH bukanlah kompetitor LMDH. Namun, persaingan dua kelompok ini terendus kuat.
LMDH oleh sebagian kalangan pesanggem diidentikkan dengan perhutani. Ini diakui sendiri oleh Imam Buchori.
Buchori mengatakan, beberapa bulan lalu tujuh orang pesanggem ditangkap karena merusak hutan dan membuka lahan di sana. Ini membuat LMDH dalam posisi serba salah.
LMDH tidak mungkin membela mereka. Namun, mereka yang tertangkap adalah bagian dari masyarakat yang diperjuangkan LMDH.
“Kita takut juga kalau ada ketegangan lagi (antara perhutani dengan komunitas pesanggem), masyarakat akan menganggap LMDH membela perhutani,” katanya.
Kholil adalah ketua LMDH Rengganis, yang membawahi 600 orang pesanggem di pegunungan Hyang, Argopuro. Ia merasakan sendiri panasnya persaingan LMDH dengan PTMDH.
“Saya disangka orang perhutani, terima bayaran Rp 3 juta. Di masyarakat ada omongan, ‘jangan ikut Pak Kholil, aturannya macam-macam. Lebih baik ikut Pak Machmud (Sardjujono), bisa menyejahterakan’.”
Kholil percaya saja jika Sardjujono tidak memiliki niat buruk. “Tapi orang-orang di bawah Pak Machmud suka memelintir dan salah menerjemahkan. Mereka tetap menanam padi dan jagung di hutan.”
“Saya pernah bilang ke Pak Machmud, ‘tolong, Pak, kalau sampeyan tidak nyuruh orang nanam padi dan jagung di hutan, tolong anggotanya dibina’.”
Kholil yakin, pesanggem memang coba dimasuki untuk kepentingan politik pemilihan gubernur Jawa Timur Juli mendatang. Tapi Ia tak peduli.
“Ke depan jangan bicara PTMDH dan LMDH. Politik bukan urusan saya. Yang penting hutan lestari.”
Perhutani sendiri cenderung berpihak pada LMDH. Taufik Setyadi menegaskan, perhutani hanya membuat memorandum of understanding mengenai pengelolaan hutan bersama masyarakat dengan 49 LMDH.
“Persaingan apapun silakan. Tapi yang masuk kawasan hutan, yang saya sahkan, adalah LMDH. PTMDH harus bekerjasama dengan LMDH, karena tidak akan selesai-selesai kalau begini,” kata Setyadi.
Setyadi menyatakan, perhutani hanya berkepentingan dengan urusan konservasi. Tidak ada urusan politik. Siapapun bisa diterima, selama satu sikap.
Di hadapan sejumlah anggota LMDH dalam sebuah pertemuan, Setyadi menegaskan sikapnya lagi. “Kalau ada yang ngerusak hutan, saya akan ajak perang. Saya sudah stres. Yang ngerusak hutan musuh semua.”
Ia kini lebih percaya diri. Perhutani Jember memberikan sistem bagi hasil yang dinilainya menguntungkan pesanggem yang tergabung dalam LMDH. Masyarakat diperbolehkan menanam tanaman yang bisa dijual asal bukan palawija dalam hutan, seperti alpukat, nangka.
Mereka disyaratkan menjaga tegakan pohon. Nantinya, dari hasil penjualan kayu pohon dari hutan produksi, pesanggem akan memperoleh bagian. Termasuk dari hasil penjualan getah pinus.
“Tahun 2007 perhutani memberikan bagi hasil kayu senilai Rp 540 juta dan getah pinus Rp 98 juta. Jadi mereka sekarang enak, kalau mau menjaga hutan,” kata Setyadi. Jumlah ini bisa semakin besar seiring dengan semakin lama masa kerja pesanggem menjaga hutan.
Saya teringat Kami’i. Saat kami bertemu, ia mengatakan, “Perhutani menyuruh saya menanam mahoni, saya tanam jagung dan mahoni.”
Saya membayangkan, dari kepatuhannya itu, kelak ia bisa mengganti sofa reot di ruang tamunya, dan memplester lantai rumahnya. (*)
Ini versi unedited artikel serupa yang dimuat di www.pantau.or.id
27 January 2008
Labels: Lingkungan
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment