Membekuk Noordin di Jagat Dotcom
Wartawan Jakarta menggunakan sumber anonim untuk memberitakan tertangkapnya Noordin M. Top. Wartawan daerah kelimpungan mencari faktanya.
Rabu sore, tiga belas Februari lalu. Kegaduhan di warung internet itu berawal dari sebuah berita singkat yang ditayangkan www.okezone.com.
“Noordin ketangkep di Bondowoso,” kata Purcahyono Juliatmoko, seraya beranjak dari komputer di hadapannya. Ia memainkan ponselnya. Juliatmoko adalah wartawan harian Seputar Indonesia yang menggawangi area liputan kabupaten di Jawa Timur: Jember, Bondowoso, dan Lumajang.
Saya tentu saja tersentak. Ini Rabu sore yang penuh kejutan. Sebelumnya, tepat jam dua siang, sebuah perampokan yang berani terjadi di kantor pembayaran rekening telpon, listrik, dan air (telisa) di tengah kota. Peristiwa itu sudah cukup menyibukkan wartawan di Jember.
Kini Noordin tertangkap? Ini baru berita yang lebih heboh.
Noordin Mohammad Top adalah gembong teroris yang paling dicari oleh aparat keamanan. Ia dikenal sebagai ideolog dan simpul jaringan teroris Jamaah Islamiah. Salah satu tokoh penting di balik serangkaian bom bunuh diri, terutama di Bali. Kepalanya dihargai Rp 1 miliar oleh polisi.
Saya lantas mengakses Okezone.com untuk membaca berita itu sendiri. Okezone adalah portal berita online yang satu induk dengan stasiun Rajawali Citra Televisi Indonesia dan harian Seputar Indonesia, di bawah bendera Media Nusantara Citra (MNC).
Berita yang sama juga ditayangkan oleh Detik.com. Detik.com adalah pelopor media online dalam menyajikan berita secara real time (dari menit ke menit) di Indonesia. Dalam artikelnya, Gatot Prihanto menyebut Detik.com hadir Oktober 1996, saat penyajian berita media online belum optimal. Sukses Detik.com mengilhami kelahiran sejumlah portal berita.
Berita di Okezone.com ditulis Muhammad Hasits dengan judul ‘Noordin M. Top Dikabarkan Tertangkap’, dan ditayangkan pukul 15.48. Okezone kalah cepat empat menit dibandingkan Detik.com yang menurunkan berita itu pada pukul 15.44 dengan judul ‘Noordin M Top Diisukan Dibekuk di Bondowoso, Polisi Bantah’.
Disebutkan dalam dua berita itu, penangkapan berlangsung di wilayah Bondowoso, Jawa Timur. Noordin tertangkap setelah Detasemen Khusus 88 Anti Teror berhasil membekuk sopir sekaligus orang dekat Noordin.
Sumbernya? Ini yang tidak jelas. Dalam beritanya, Okezone.com hanya menuliskan ‘informasi yang diperoleh okezone’. Sementara itu, Detik.com menggunakan kata ‘dikabarkan’ tanpa menyebut siapa yang mengabarkan penangkapan tersebut.
Alinea selanjutnya bukan keterangan lanjutan mengenai bagaimana (how) dan kapan (when) Noordin tertangkap. Okezone.com hanya menulis bahwa ‘kabar tertangkapnya Noordin ini menyebar juga di kalangan wartawan Mabes Polri.’
Okezone.com dan Detik.com langsung melompat menurunkan konfirmasi dari jajaran petinggi di markas besar kepolisian RI dan kepolisian daerah Jawa Timur.
Okezone.com mengonfirmasikan kabar itu kepada Kepala Divisi Humas Markas Besar Polri Irjen Pol Sisno Adiwinoto dan Kepala Bidang Humas Kepolisian Jawa Timur Komisaris Besar Puji Astuti. Detik.com menurunkan konfirmasi dari Wakil Kepala Divisi Humas Polri Anton Bahrul Alam.
Para petinggi ini mengaku belum tahu informasi tersebut. Bahkan Bahrul Alam membantahnya.
Kabar burung di Jakarta menular cepat ke Jember layaknya virus. Para wartawan terbetot pusaran isu dan mewawancarai Kepala Kepolisian Wilayah Besuki Komisaris Besar Suryandri Syaiful.
Sebagaimana petinggi di Jakarta, Syaiful langsung membantah. “Tidak ada. Makanya saya bingung, kalau ada yang ditangkap, siapa yang nangkap. Kita di sini aman, tak ada kejadian. Saya sudah cek tak ada.”
Syaiful bertanya-tanya, wartawan mendapat informasi dari mana. Tak ada yang bisa menjawab, karena sumber ihwal penangkapan memang tak terang.
Sebagai reporter dotcom dengan area reportase di wilayah tapal kuda Jawa Timur, saya tentu saja pusing tujuh keliling diterpa kabar itu. Dalam persaingan media dotcom, kecepatan menjadi tumpuan.
Bondowoso merupakan area tanggung jawab saya. Tentu saya harus mendapatkan berita itu segera. Kebobolan berita adalah dosa besar dalam bisnis dotcom. Doktrinnya: jangan sampai tidak memperoleh berita peristiwa besar yang media dotkom lain punya. Terlambat satu jam saja menayangkan berita, kinerja seorang wartawan dotcom sudah bisa dipertanyakan.
Saya menghubungi informan di kalangan intelijen yang bisa menjadi sumber background, sumber yang tidak dikutip baik dengan nama terang maupun anonim. Jawabannya ternyata juga tidak terang. Ia juga mendengar kabar itu. Tapi semua masih tanda tanya.
Saya akhirnya memilih langkah aman. Saya tidak berani menurunkan berita sumir. Saya bersikap pasif menunggu telpon dari redaksi. Biasanya jika ada peristiwa besar, saya yang lebih dulu menelpon redaksi untuk laporan via ponsel.
Saya tak sendiri. Rekan-rekan saya lainnya juga kebingungan. “Ini masih tidak jelas,” kata Martin Rachmanto kepada saya.
Rachmanto adalah wartawan harian Surya. Ia memiliki jaringan informasi yang lebih baik daripada saya di kepolisian. Hasil pelacakannya juga nihil. Ujung-ujungnya, kami berdua hanya bisa mengumpat-umpat dengan dialek khas arek Jawa Timur.
Kabar yang diterima wartawan di Jember pun kian berkembang tak karuan. Ada kabar yang tertangkap hanya kurir Noordin. Noordin sedang dalam perjalanan ke Bali. Noordin ternyata tertangkap di Palembang.
Terakhir, malah kabar burung bahwa hanya ada satu stasiun televisi yang memiliki gambar proses penangkapan Noordin. Ini karena tokoh kunci di jajaran redaksi stasiun televisi ini dikenal punya hubungan dekat dengan pejabat kepolisian. Tapi informasi ini pun lagi-lagi tak bisa diverifikasi, dan hanya membuat saya semakin bingung.
Dotcom tempat saya bekerja, Beritajatim.com, baru menurunkan berita soal penangkapan Noordin sekitar pukul setengah sembilan malam, Rabu itu.
Beritajatim.com adalah nama baru di jagat media online, kendati jajaran redaktur dan reporternya adalah orang-orang lama di dunia jurnalistik. Portal ini lahir 1 Mei 2006, dan menjadikan Jawa Timur sebagai area konsentrasi pemberitaan.
Tedi Ardianto, reporter sekaligus redaktur media ini, memilih jalur aman dengan mengangkat sudut berita (angle) peristiwa kedatangan mendadak sejumlah reporter ke markas kepolisian daerah Jawa Timur untuk mengonfirmasi kabar penangkapan Noordin.
Ardianto mengatasi ketertinggalan dari Detik.com dan Okezone.com dengan mewawancarai dua reporter televisi dan radio untuk mengetahui asal-usul kabar. Ternyata kabar dengan sumber anonim itu memang berasal dari Jakarta.
Bahkan, ada kabar tambahan bahwa sopir Noordin M. Top akan dibawa ke Polda Jatim. Sumbernya lagi-lagi tidak jelas.
Berita Tedi praktis juga diakhiri dengan bantahan dari pihak berwenang, Kepala Detasemen Khusus 88 Jawa Timur Komisaris Besar Oerip Soebagyo. “Kata siapa sudah tertangkap,” katanya.
Keesokan harinya, Ardianto menelpon saya, menanyakan kabar penangkapan Noordin. Saya beritahu, bahwa semua masih sumir. “Aku sebenarnya sudah tahu kabar itu. Tapi masa aku mau laporan berita yang tidak jelas,” kata saya.
“Di sini juga kepolisian bilang tidak ada, jeh.” Ardianto punya kebiasaan memanggil lawan bicaranya dengan sapaan ‘jeh’, salah satu sapaan akrab orang Jawa Timur. Huruf ‘e’ dibaca seperti kata ‘nenek’.
Agak siang, giliran Dwi Eko Lokononto, pemimpin redaksi Beritajatim.com, menelpon saya. “Mas, bagaimana berita penangkapan Noordin di Bondowoso? Ya sampeyan turun ke lokasi dong.”
“Di sini kepolisian tidak tahu, Pak. Kapolwil juga membantah,” kata saya.
“Tapi di Surya ini ada beritanya. Tertangkap di kecamatan Pujer.”
Saya mengerutkan dahi. Di Jember, informasi seperti itu akan cepat berkembang dari mulut ke mulut sesama wartawan. Saya tidak pernah mendapatkan informasi itu. Saya tetap bertahan, bahwa kepolisian menyatakan tidak pernah menangkap Noordin di Bondowoso. Informasi tak resmi juga belum jelas.
Saya cek di harian Surya. Berita soal Noordin tidak muncul di halaman pertama, namun di halaman delapan. Kecil saja di kolom Lintas Nasional. Padahal, sebelumnya, setiap berita penangkapan teroris bom selalu mendapat tempat di halaman pertama. Bahkan bisa ditempatkan sebagai kepala berita.
Alinea pertama berita berjudul ‘Pengawal Noordin Tertangkap’ itu juga menggunakan kata ‘dikabarkan’. Pengawal itu belum diketahui identitasnya dan Surya menggunakan kata ‘kabarnya’ untuk menyebut kedekatan pengawal tersebut dengan Noordin.
Surya menggunakan sumber anonim sebagai informasi yang dikutip pertama kali. Menurut informasi yang diterima Surya, ‘penangkapan itu sengaja disembunyikan agar keberadaan Noordin bisa diungkap lewat pengawalnya’. Konfirmasi berupa bantahan berasal dari Oerip Soebagyo.
Berita penangkapan teroris ini tidak begitu populer di media cetak. Sejumlah media besar tidak mencetak berita tersebut. Stasiun televisi sekadar menayangkan running text (teks berjalan) yang juga berisi bantahan dari pejabat resmi. Namun di jagat online, media masih berlomba menurunkan berita lanjutan.
Okezone.com menayangkan tiga berita. Bantahan dari kepolisian wilayah Besuki dan markas besar kepolisian RI masih dicantumkan. Namun berita itu kini lebih deskriptif. Ada cerita soal suasana markas kepolisian daerah Jawa Timur yang diperketat, dengan keharusan pengunjung meninggalkan kartu identitas di pos jaga.
“Para wartawan menduga-duga jika prosedur ini ada kaitannya dengan penangkapan Nordin M Top,” tulis Okezone.com.
Berita Okezone.com lainnya menceritakan soal diperketatnya pengamanan di 13 titik pelabuhan rakyat di Banyuwangi yang bisa digunakan sebagai tempat menyeberang ke Bali. Okezone.com mengaitkannya dengan kabar pengejaran Noordin.
Namun, yang menarik, di salah satu berita, ada kutipan dari sumber anonim di kalangan intelijen militer yang justru menyatakan bahwa penangkapan itu masih kabar burung.
Detik.com masih menurunkan dua berita lanjutan tentang bantahan dari Detasemen Khusus 88 Jawa Timur dan belum adanya kejelasan soal penangkapan Noordin atau kurirnya.
Beritajatim.com menurunkan dua berita lanjutan, masih berisi bantahan pihak berwenang. Salah satunya artikel dari Inilah.com yang berisi pernyataan dari Badan Intelijen Negara.
"Siapa itu yang mengarang cerita bahwa Noordin ditangkap, terus dibocor-bocorkan ke wartawan? Ngarang aja yang begitu. Apa yang ditangkap, tanya kalian dulu sama dia. Kalau yang ditangkap itu Noordin, Noordin yang mana? Banyak Noordin di Indonesia ini," kata Kepala BIN Sjamsir Siregar.
Dalam berita itu, Siregar menyayangkan penyebaran isu tersebut. “Sudah dicek. Tidak ada penangkapan. Mungkin kalau ada yang ditangkap, barangkali kodok yang ditangkap,” katanya.
Tak butuh waktu lama, kehebohan itu akhirnya hilang tanpa bekas. Saya dan Martin Rachmanto sempat berdiskusi mengenainya.
“Memang tidak masuk akal, kalau penangkapan teroris ini tidak di-blow up oleh kepolisian. Ini prestasi besar. Saat penangkapan teroris terdahulu, kepolisian selalu ringan memberikan pernyataan untuk media,” kata Rachmanto.
Rachmanto sempat berpikir nakal. “Jangan-jangan ini ada permainan intelijen yang sengaja menyebarkan isu ini.”
Saya tidak mau berpikir konspiratif. Namun yang jelas heboh kabar penangkapan Noordin ini, sekali lagi, menunjukkan betapa pentingnya elemen verifikasi dan kewaspadaan terhadap sumber anonim.
Dalam bukunya tentang sembilan elemen jurnalisme, Bill Kovach mengatakan, disiplin verifikasi adalah ihwal yang memisahkan jurnalisme dari hiburan, propaganda, fiksi, atau seni. Melalui verifikasi, wartawan harus membuka sebanyak mungkin sumber berita untuk mengungkap sebuah peristiwa.
Kovach juga menyarankan wartawan untuk berhati-hati dalam menggunakan sumber anonim. Informasi sumber anonim harus ditanggapi secara skeptis. Seorang editor Deborah Howell, sebagaimana dikutip Kovach, menyarankan agar jangan pernah menggunakan sumber anonim sebagai kutipan pertama dalam tulisan.
Kovach sendiri menyarankan lebih baik wartawan bersikap transparan. “Upaya untuk bisa lebih transparan ini adalah faktor penting bagi audiens untuk dapat memutuskan seberapa banyak mereka bisa mempercayai laporan tersebut,” katanya.
Namun jika terpaksa harus menggunakan sumber anonim, maka saran editor Washington Post, Ben Bradlee, layak diperhatikan: gunakan minimal dua narasumber anonim. Dalam persoalan kabar penangkapan Noordin M. Top yang menjadi berita, tidak diketahui ada berapa sumber anonim yang digunakan wartawan.
Yang lebih penting lagi, seberapa dalam pengetahuan sumber anonim mengenai masalah penangkapan Noordin. Informasi itu harus benar-benar dari tangan pertama yang mengetahui informasi tersebut, bukan tangan kedua, ketiga, apalagi keempat.
Saya tidak tahu bagaimana proses awal munculnya isu atau kabar soal Noordin di Jakarta. Sebuah kabar sekecil apapun bagi wartawan memang tak boleh diabaikan. Tak jarang sebuah laporan investigatif yang dahsyat berasal dari sebuah kabar kecil.
Persoalannya, bagaimana jika wartawan tak memiliki cukup waktu untuk melakukan verifikasi kabar tersebut? Media cetak harian punya waktu berjam-jam untuk menurunkan sejumlah reporter, menyelidiki kebenaran kabar penangkapan teroris. Laporan yang komprehensif bisa diturunkan hari berikutnya.
Namun tidak demikian halnya dengan media dotcom yang diburu tenggat waktu jam, menit, bahkan detik. Detik.com dan Okezone.com seperti bersaing dalam menurunkan berita mengenai penangkapan Noordin. Penayangan di website hanya berselang empat menit. Jam-jam selanjutnya diisi berita lanjutan (running news). Bagaimana cara reporter dotcom melakukan verifikasi dalam waktu yang demikian singkat?
Kehadiran media dotcom di Indonesia merupakan bagian dari revolusi media massa modern yang tak terelakkan. Media online memungkinkan sebuah peristiwa yang terjadi hari ini dilaporkan hari ini juga, dalam hitungan waktu yang tak terlampau lama dari saat kejadian.
Kekuatan dotcom adalah pada kecepatannya. Reporter dotcom di lapangan tidak dianjurkan menulis berita. Jika terjadi peristiwa, maka sang reporter harus melaporkan via ponsel saat itu juga. Penulisan ulang berita dikerjakan oleh jajaran redaktur atau sekretaris redaksi.
Selama menjadi reporter media dotcom, saya mengirimkan laporan tertulis jika memang objek liputan bukan peristiwa yang harus lekas ditayangkan. Biasanya saya mengirimkan laporan tertulis untuk berita-berita politik dan analisis.
Namun kecepatan dotcom juga memunculkan perdebatan masalah etika, sebagaimana ditunjukkan Septiawan Santana dalam bukunya Jurnalisme Kontemporer. Mengutip Kompas: ‘dapatkah dibenarkan media dotcom menyiarkan sesuatu yang belum jelas juntrungannya –katakanlah semacam rumor- hanya untuk mengejar apa yang dikenal dalam jurnalistik sebagai scoop, berita eksklusif’.
Sebagai reporter dotcom, saya mengakui, harus berhati-hati menghadapi persoalan akurasi karena terlalu bertumpu pada kecepatan penyajian berita. Satu hal yang harus ditempuh seorang reporter dotcom adalah memilah antara fakta dan rumor.
Penyajian cepat melalui reportase via ponsel sebaiknya dilakukan hanya untuk sesuatu yang benar-benar faktual. Tidak sumir.
Dalam hal ini, sumber anonim sebaiknya dihindari betul, karena wartawan membutuhkan waktu lama untuk melakukan verifikasi apakah keterangan sumber tersebut faktual atau tidak. Jika sebuah informasi anonim diturunkan tanpa diverifikasi faktualitasnya, maka media dotcom tidak akan berhasil menyajikan berita yang tuntas, dan terjebak pada sensasi.
Kabar penangkapan Noordin M. Top menjadi contoh betapa media dotcom tergagap dalam menyajikan berita. Berita yang muncul kebanyakan hanyalah repetisi: bantahan dari jajaran keamanan, mulai dari kepolisian jajaran teratas hingga badan intelijen. Fakta tertangkap tidaknya Noordin menjadi kabur dan tertelan bantahan-bantahan resmi.
Hal ini tak akan terjadi, jika media dotcom menurunkan berita yang benar-benar faktual. Dengan menurunkan berita yang benar-benar faktual, maka media dotcom bisa memanfaatkan keistimewaan sebagai media link untuk mengurai fakta-fakta yang dikumpulkan dari reportase secara bertahap.
Berbeda dengan media massa cetak atau televisi, faktor kecepatan dalam dotcom mengharuskan fakta dikumpulkan dan dilaporkan lapis demi lapis.
Saya pernah secara tak sengaja melihat langsung kecelakaan kapal nelayan di laut selatan. Saat itu, kapal nalayan yang hendak kembali ke daratan terhantam ombak dan terbalik, hanya beberapa puluh meter dari pantai. Semua begitu jelas dan terang.
Langkah pertama yang saya lakukan adalah melaporkan adanya peristiwa tersebut secara singkat melalui ponsel. Laporan pertama tak perlu terlalu komprehensif menyebut identitas korban, karena mencari tahu fakta mengenai identitas korban butuh waktu.
Fakta mengenai identitas korban bisa diturunkan pada berita lanjutan beberapa menit berikutnya. Dalam dotcom, perkembangan peliputan di lapanganlah yang dilaporkan dan diturunkan menjadi berita ringkas.
Pembaca bisa mudah mengunduh informasi hasil reportase dari waktu ke waktu karena setiap artikel dengan tema yang sama sudah saling terhubung (link). Potongan-potongan artikel yang saling terhubung ini memberi kesempatan pembaca untuk membaca secara cepat dan tak bertele-tele.
Saya pernah mewawancarai Janet Steele, seorang profesor jurnalisme dari George Washington University. Dia penulis buku Wars Within yang berkisah mengenai jatuh bangunnya majalah Tempo.
Steele mengatakan, media dotcom sebenarnya justru membuka ruang untuk transparan kepada publik dalam penulisan berita. “Ada berita, ada pula supporting document yang bisa dimuat. Ini belum dilakukan di Indonesia,” katanya.
Media dotcom seharusnya tidak hanya menayangkan breaking news yang sudah jadi seperti media cetak.
“Di berita tradisional, saya akan melakukan reporting kemudian menulis berita. Tapi kalau saya menulis untuk internet, saya akan bisa memuat dokumen bukti. Sangat transparan,” lanjut Steele.
Menayangkan dokumen bukti yang menjadi bahan tulisan atau reportase sudah dilakukan Philadelphia Inquirer terhadap artikel Black Hawk Down karya Mark Bowden.
Artikel ini sebenarnya dimuat secara bersambung selama sebulan penuh di versi cetak koran tersebut. Bowden menuliskan kembali tentang sebuah pertempuran kota yang brutal di Mogadishu, Somalia, yang membuat dua helikopter Black Hawk jatuh, 18 serdadu Amerika Serikat tewas, dan 73 orang lainnya luka-luka.
Artikel ini dibuat berdasarkan ribuan halaman dokumen resmi, rekaman video dan audio dengan durasi bejam-jam, dan wawancara dengan lebih dari 50 orang serdadu Amerika yang terlibat pertempuran itu.
Semua dokumen yang relevan akhirnya diputuskan untuk dimuat secara online, sehingga Black Hawk Down menjadi artikel multi media. Ada teks cerita yang ditampilkan bersama foto, video, rekaman audio, hasil wawancara, peta, grafis, dan dokumen.
“Pembaca bisa meng-klik beragam hyperlinks untuk melihat peta atau mendengarkan wawancara yang saya kutip atau membaca dokumen yang menjadi referensi dalam tulisan,” tulis Bowden dalam sebuah artikel di website Nieman Universitas Harvard.
Black Hawk Down versi online laris manis, dan mencatat 46 ribu hits (kunjungan) setiap hari. Transparansi menjadi salah satu hal yang membuat Black Hawk Down versi online banyak dipuji. Kehadirannya memperkuat kredibilitas reportase Bowden, karena sumber-sumber berita bisa diakses sendiri oleh pembaca.
Sabtu siang, enam belas Februari. Saya tidak tahu, rangkaian berita kabar penangkapan Noordin di semua portal berita online menuai berapa hits. Berita itu masih menjadi pembicaraan beberapa wartawan di Jember. Namun kini perbincangan tak lagi serius.
Seorang wartawan televisi mengaku ke Bondowoso untuk membuktikan kebenaran penangkapan tersebut. “Ternyata di sana yang ada adalah Nurudin, penjual rawon,” katanya.
Kami tertawa, menertawai kekonyolan kami sendiri. Ah, Black Hawk Down di Amerika, penangkapan Noordin di Indonesia: sungguh lain nasib, lain cerita. (*)
18 February 2008
Labels: Jurnalisme
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment