08 March 2010

Revolusi Waras

Saudara-saudara sekalian: dari manakah revolusi dimulai? Dari sebuah keputusasaan? Atau dari sebuah keyakinan bahwa kita tak hidup di surga? Akankah kita cukup dengan heroisme revolusi, dan kemudian 'memenggal kepala sang raja'?

Putus asa atau keyakinan, revolusi berada pada titik yang sama bahwa perubahan harus datang segera. Ada sesuatu yang buruk yang harus disingkirkan dan digantikan dengan yang baru. Revolusi seolah bertolak dari amarah, tentang sesuatu yang musti diganyang.

Kongres Sepak Bola Nasional di Malang diharapkan oleh orang banyak sebagai titik tumpu revolusi itu. Publik sudah terlanjur patah arang kepada rezim Nurdin Halid. Di bawah kepemimpinannya, prestasi Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) tak bergeser dari skandal ke skandal: suap, perkelahian antar pemain, kerusuhan suporter, kekalahan dari pertandingan ke pertandingan. Bahkan, di tingkat Asia Tenggara, Indonesia sudah tak bertaji dibandingkan Vietnam.

Harapan tentang revolusi tumbuh, karena Nurdin Halid enggan menepi dari arus deras sejarah. Saat ditetapkan sebagai terpidana korupsi, semua orang berharap ia cukup punya hati untuk mengundurkan diri. Namun, rupanya ia memilih mengendalikan organisasi dari balik jeruji, mirip film-film mafioso ala Hollywood. Federasi sepakbola internasional (FIFA) tak cukup sakti mengakhiri rezim Nurdin. Nurdin secara konstitusional tetap menjabat sebagai ketua hingga 2011.

Nurdin seperti tak tersentuh, hingga suatu saat pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono menggagas semacam sarasehan untuk membicarakan kondisi seoakbola nasional. Ide itu pun berkembang menjadi Kongres Sepakbola Nasional, dan meledaklah kontroversi. Mayoritas pecinta sepakbola dan suporter kesebelasan sepakat dengan kongres tersebut. Sebagaimana tercermin di pemberitaan media massa, banyak yang berharap KSN menjadi pintu masuk perubahan di tubuh PSSI.

Perlawanan muncul dari sejumlah jajaran petinggi PSSI. Ketua PSSI Jawa Timur Haruna Sumitro menolak pelaksanaan kongres tersebut. PSSI di tingkat kabupaten/kota sebagian menganggap kongres sama saja mengudeta PSSI di luar jalur konstitusional. Mereka merasa kongres tersebut tak ubahnya intervensi pemerintah terhadap PSSI, untuk menggusur Nurdin.

Kita tak berharap adu otot antara dua kubu benar-benar terjadi. Sebagai sebuah terobosan memecah kebuntuan sepakbola nasional, Kongres Sepakbola Nasional di Malang perlu tetap dilaksanakan. Apalagi pagi-pagi acara ini sudah dinyatakan bukan sebagai tandingan PSSI. Acara ini digagas untuk menelurkan sejumlah rekomendasi perbaikan sepakbola nasional.

Pemerintah memang layak memberikan perhatian lebih kepada sepakbola dibandingkan cabang olahraga lainnya. Pertama, inilah cabang olahraga yang paling digemari rakyat, melibatkan emosi kedaerahan dan fanatisme yang berpotensi memicu destabiliasi jika tak dikelola. Kedua, selain bulutangkis, sepakbola adalah cabang olahraga yang memiliki magnet nasionalisme dahsyat yang mampu membuat orang menangis, saat menyanyikan Indonesia Raya.

PSSI di satu sisi tak berhak melarang suatu acara, mengingat acara tersebut bukanlah agenda organisasi itu. Namun, tak ada yang bisa melarang orang untuk bersyak-wasangka. Mungkin kompromi memang perlu dilakukan dengan tetap mengundang perwakilan PSSI hadir dalam kongres tersebut, agar bisa mengetahui sendiri jalannya kongres. Tapi sekali lagi, PSSI tak boleh berharap atau memaksa untuk mendominasi acara tersebut.

Adanya intervensi atau tidak terhadap PSSI sebenarnya bisa ditengok di pengujung acara, saat rekomendasi muncul. Dari butir-butir rekomendasi tersebut bisa ditakar: apakah memang ada itikad pemerintah melakukan intervensi terhadap PSSI, sesuatu yang diharamkan FIFA.

Pada akhirnya, rekomendasi yang dikeluarkan oleh KSN di Malang memang tak boleh dijadikan acuan untuk mengikat PSSI, mengingat ini bukan agenda resmi institusi tersebut. Itu jika kita semua memang harus berjalan di jalur konstitusional. Namun, setidaknya rekomendasi itu harus didengar oleh PSSI untuk memperbaiki diri. Para pengurus PSSI tak boleh buta mata, buta hati, dan tutup telinga rapat-rapat terhadap teriakan publik.

Sebenarnya tak terlampau menarik untuk mengetahui apakah PSSI akan mendengarkan rekomendasi dari KSN. Justru menarik ditunggu, apakah rekomendasi tersebut bisa menjadi titik picu terjadinya revolusi di tubuh PSSI, sebagaimana diharapkan publik.

Revolusi adalah sesuatu yang maha berat. Ia hanya akan menjadi slogan kosong, jika tak ada pembangkangan sosial terhadap kekuasaan yang dianggap menindas sebagai syarat pertama. Sejarah mengajarkan, sesuatu disebut 'revolusi', ketika itu dilakukan bersama-sama dan bukan gerakan parsial. Gerakan protes dan perlawanan terpisah-pisah, mudah dipatahkan.

Yang terjadi selama ini, belum ada itikad bersama dari pelaku sepakbola di Indonesia untuk melakukan pembangkangan tersebut. Para pelaku sepakbola (klub, suporter, pengurus PSSI daerah) lebih terpaku pada nasib masing-masing, terutama saat menghadapi ancaman 'gergaji' sanksi PSSI. Belum pernah terdengar klub-klub maupun suporter yang sama-sama merasa dirugikan sanksi tak adil PSSI berkumpul bersama untuk merancang sebuah perlawanan.

Revolusi juga menuntut perombakan total struktur yang menjadi pondasi dunia sepakbola Indonesia: liga, peraturan, hingga organisasi. Revolusi tak hanya cukup 'memangkas kepala sang raja'. Lebih dari itu, ia mengakhiri dominasi satu generasi yang paling bertanggungjawab terhadap keboborokan PSSI. Orang-orang yang duduk di struktur kepengurusan PSSI mulai dari pusat hingga daerah harus diganti dengan wajah baru. Para wajah baru ini boleh jadi tak berpengalaman. Namun mereka punya itikad baik dan jujur untuk membenahi dunia sepakbola Indonesia. Siapkah kita dengan semua sumber daya itu? Saya yakin kita siap.

Opsi terakhir, jika semua itu tak berjalan, adalah membubarkan PSSI atau membuat organisasi tandingan. Langkah ini berisiko memunculkan dualisme dan perseteruan panjang, yang justru bisa dianggap oleh FIFA sebagai upaya mengintervensi dunia sepakbola.

Revolusi sepakbola Indonesia semakin berat, jika melihat tabiat pelaku sepakbola kita. Organisasi sepakbola memang tak boleh diintervensi oleh kebijakan politik pemerintah. Namun ironis, dunia sepakbola Indonesia dipenuhi para politisi yang bisa sewaktu-waktu memainkan kartu-kartu politik mereka. Mari kita berbaik sangka bahwa tak semua politisi yang berkecimpung di dunia sepakbola ingin memainkan 'kartu politik' mereka. Namun, masuknya politisi dalam dunia sepakbola memunculkan kerentanan: prasangka lawan politik bahwa sepakbola tengah dimainkan untuk menaikkan popularitas sang politisi. Maka, tak ada jaminan sang lawan politik tidak akan mengandalkan segala cara untuk menghancurkan sumber popularitas itu. Maka yang terjadi adalah pertarungan zero sum game, atau saling mengeliminasi satu sama lain melalui sepakbola.

Dalam sejarah dunia, revolusi membawa banyak perubahan secara cepat. Namun dengan revolusi juga, kita harus siap menanggung konsekuensinya: destabilisasi. Revolusi tidak berawal dari meja makan, dan selalu mengorbankan anak kandungnya sendiri.

Jadi, bagi saya, revolusi atau tidak, itu urusan nanti. Dalam puisinya, A Sane Revolution, sebuah revolusi yang waras, pujangga Amerika Serikat David Herbert Lawrence bilang:

Jika kau melakukan revolusi, bikin saja buat senang-senang.
Jangan melakukannya karena membenci orang-orang,
lakukan saja untuk meneriaki mereka dengan kata pedas.
Jangan lakukan karena duit, lakukan saja dan persetan dengan duit.


Saya meyakini bahwa perubahan akan datang, cepat atau lambat, jika kesadaran bersama terbangun. Dengan lantang John Lenon bernyanyi lirik Revolution:

"Kau bilang punya solusi sejati, kami semua ingin melihatnya. Kau memintaku ambil bagian, kami akan lakukan apa yang kami mampu."

Kongres di Malang adalah awal kesadaran itu. Revolusi memang boleh jadi jalan terjal, sebagaimana saya uraikan di atas. Namun jika PSSI masih saja buta hati dan telinga, maka boleh jadi revolusi akan terjadi. Merdeka! [wir]

1 comment:

Fajar Riadi said...

Menariknya tulisan Mas Oryza ini. Boleh jadi rezim Nurdin Halid di PSSI tak bisa ditunggu untuk mengalah. Kalau memang yang dibutuhkan "konspirasi" untuk membuatnya mundur, dan kongres/sarasehan ini salah satu jalannya, kenapa tidak? Keterlaluan jika tekanan sedemikian kuat untuk memaksanya mundur tak dihiraukannya lagi.