11 March 2010

PERANG DI JERO TEMPO

Jarang ada penulis Barat yang berhati sarat dengan empati ketika menyentuh Indonesia. Kecuali manakala terjadi pelanggaran terang-terangan terhadap hak asasi manusia, yang buat mereka merupakan kejahatan tiada berampun.

Apa misalnya? Pembungkaman pers. Kalau sudah begini, buat mereka masalahnya jadi hitam-putih. Karena itulah, dalam menghadapi keadaan semacam itu, tak aneh, kalau mereka malahan datang dengan sikap yang kental memihak, partisan.

WARS WITHIN Penulis: Janet Steele, @2005
Penerbit: EQUINOX dan ISEAS xxxiv, 328 halaman

Oleh Martin Aleida

Inilah kesan terpenting setelah membaca WARS WITHIN, sebuah babad tentang peperangan intern yang terjadi di dalam salah satu penerbitan yang penting dan berpengaruh di negeri ini: majalah berita mingguan TEMPO, ditulis oleh Janet Steele dari George Washington University, Amerikat Serikat. Sarjana wanita yang bertubuh langsing dan murah senyum ini terpesona dengan majalah tersebut setelah terjadinya pembreidelan terhadap trio-media non-harian, TEMPO, Detik, dan Editor Juni 1994. Tak dia jelaskan mengapa dia hanya jatuh hati pada TEMPO dan tidak pada yang lain. Barangkali karena sejarah TEMPO yang jauh lebih panjang, lebih terkemuka. Lagipula, majalah inilah yang pertama kali memperkenalkan jenis pelaporan berita secara mendalam, in-depth news reporting, di negeri ini dengan bahasa Indonesia yang terjaga.

Dari Amerika, wanita yang semampai, berambut pirang, itu lantas terbang ke sini dengan keyakinan bahwa dia telah menemukan “satu cerita yang hebat” tentang satu “majalah independen” yang jatuh-bangun di zaman rezim militeristis Soeharto. Untuk menggali bahan, dia tidak hanya berkenalan dengan pemimpin redaksi, tetapi juga dengan para petugas cleaning service. Selama enam tahun dia menelusuk di dalam dapur majalah tersebut, seperti ayam yang mau mengeram dengan tekun dia meneliti di perpustakaan, ikut rapat perencanaan, juga turut mengerubungi gorengan di sore hari, ketika para waratwan sedang menikmati saat-saat mengendurkan ketegangan. Begitu rapatnya dia bergaul, sampai-sampai dia pun bisa berbahasa Indonesia dengan cukup lancar.

Tak pelak lagi, Janet telah menemukan dan menuliskan cerita yang menarik. Namun, sayang, kalau ditilik dari mata pers zaman sekarang, dia telah membuat kealpaan yang mendasar. Janet (demikian dia sering disapa oleh para narasumbernya), baik di dalam Prologue maupun Epilogue, tidak mengisyaratkan kepada para pembaca untuk tidak mencerna WARS WITHIN dengan perspektif masa kini. Tanpa isyarat seperti itu, akan muncul kesimpulan yang gelap, bahwa TEMPO telah menjual harga diri kebebasan pers kepada penguasa, dan mendurhakai kepentingan publik akan informasi, hanya untuk mempertahankan kemakmuran hidupnya.

Kalau ditelisik seluruh halaman buku ini, maka kelihatanlah bahwa batang tubuh majalah tersebut pekat berbalur kompromi, untuk tidak mengatakan berserah diri kepada kekuasaan. Ketika akan menurunkan laporan mengenai peristiwa berdarah Tanjung Priok, awal September 1984, misalnya, penulis masalah nasional, Susanto Pudjomartono (kini Duta Besar untuk Rusia), yang punya hubungan erat dengan L.B. Moerdani, sebelum duduk dan memulai tulisannya, ternyata lebih dulu meminta izin kepada Panglima Angkatan Bersenjata itu, apakah TEMPO boleh “melaporkan investigasi kami sendiri?” Penyerahan diri kepada kanjeng pangeran itu tentu disambut dengan senyuman oleh Benny Moerdani, seraya berucap: “Tentu! Anda punya kebebasan untuk menulis apa saja yang Anda pikirkan!” (h.135).

Kedekatan seseorang wartawan dengan penguasa bisa menimbulkan polarisasi sikap politik di kandang wartawan sendiri, sebagai akibat dari beragamnya latar belakang kecenderungan politik mereka masing-masing. Tak heran, semacam “perang” kepentingan juga muncul dalam episode “Tanjung Priok.” Wartawan Bambang Harymurti, yang ketika itu memiliki rekaman pidato Amir Biki, yang menjadi tenaga pemicu demonstrasi yang berbuntut pertumpahan darah selepas salat subuh itu, tidak serta-merta menyerahkan tape kepada Susanto, melainkan kepada redaktur agama, Syu’bah Asa. Sebab ada kecemasan kalau rekaman itu diberikan kepada Susanto, “kemungkinan (dia) akan menunjukkannya kepada Benny Moerdani.” (h.126).

Susanto begitu intimnya dengan Benny, sehingga setelah membina hubungan selama beberapa tahun, dia pun bisa berbicara secara akrab dengan Sang Jenderal dalam Bahasa Jawa biasa.

Sikap kompromistis, penuh pertimbangan, supaya bisa bertahan hidup, yang dipaparkam dalam kisah panjang majalah ini, pada akhirnya menjadikan klaim Janet bahwa TEMPO adalah “an independent magazine in Soeharto’s Indonesia,” sebagaimana yang tersurat dalam subjudul buku yang dia tulis, ternyata tak lebih dari sekedar sinisme yang tidak disengaja.

Seruan “Tiarap …!”

Tanpa mengetahui gejolak politik di dalam kancah kekuasaan, media massa pemberitaan semasa Orde Baru seperti berlayar dalam gelap, tanpa kompas tiada peta, dengan lambung perahu bisa menabrak karang kematian setiap saat. Setelah menikmati suasana kehidupan pers yang relatif bebas sejak terbit awal Maret 1971 sampai tahun 1982, ketika pertama kali TEMPO dibreidel, maka untuk menjaga agar perahu jangan sampai tenggelam lagi di bawah tekanan gelombang kekuasaan politik yang zalim ketika itu, majalah berita tersebut memasang kemudi strategi yang bernama lobby untuk menakar ke mana arus politik bergerak, supaya bisa mengelak.

Segera setelah perintah pembreidelan dikeluarkan Pemerintah tahun 1982, Pemimpin Redaksi Goenawan Mohamad, dalam rapat yang diliputi suasana resah, dengan raut muka yang tegang, menyerukan “Tiarap…!” Strategi kelangsungan hidup mulai dirancang dan dioperasikan. Sejak saat itu majalah tersebut tampil dengan hati-hati. Lobi sebagai piranti politik dalam mejajagi posisi lawan, mulai masuk ke dalam gaya kerja TEMPO. Para wartawan dianjurkan untuk melobi para pejabat Pemerintah. Ditariklah garis siapa melobi siapa. Goenawan Mohamad sendiri, bagaikan seorang penyair-pertapa yang harus turun dari gunung, mulai mendekati Menteri Sekretaris Negara Moerdiono. Mereka acapkali terlihat bermain tenis bersama.

Tak bisa lain, di balik strategi itu adalah kepentingan umum yang diterlantarkan. Dengan kedekatan pada penguasa, menjaga jangan sampai kepentingan kekuasaan politik terganggu, yang bisa mengancam kelangsungan hidup TEMPO, maka majalah tersebut dengan sengaja telah menutup muka pada kenyataan bahwa pembacalah yang selama ini telah membesarkannya. Apa boleh buat, setengah-pendurhakaan terhadap pers yang bebas, yang dianut majalah tersebut selama ini, sudah dimulai ketika strategi lobi dipancangkan.

Sikap memilah-milah apa yang kalau diberitakan tidak melukai penguasa, menyebabkan tak terhitung banyaknya berita yang diketahui wartawannya yang harus dibuang demi kelangsungan hidup. Termasuk menyembunyikan nama Benny Moerdani, Panglima Angkatan Bersenjata ketika itu, sebagai orang yang berada di belakang penembakan misterius di berbagai tempat untuk memantapkan keamanan kekuasaan Soeharto. Dengan kampanye kekerasan yang brutal itu, dia coba merebut simpati publik dengan jalan menghabisi nyawa mereka yang diduga sebagai penjahat. Kepentingan publik (pembaca dan pembeli) diabaikan. “Begitu banyak informasi yang masuk yang tak dapat kami laporkan,” ucap Susanto Pudjomartono. “Haya lima atau sepuluh persen saja yang bisa kami laporkan. Memantau berita (jadi) lebih penting dibandingkan menulis,” katanya menguraikan. (h. 135).

Mengagumkan, sekaligus juga membikin tercengang, bagaimana TEMPO telah membiarkan para wartawannya menerima berita-berita yang tak bisa dimuat dari orang di lingkaran dalam kekuasaan, seperti Benny Moerdani, Prabowo Subianto, atau Harmoko. Untuk apa dan dikemanakan berita-berita yang diperoleh Susanto Pudjomartono Cs ketika itu kalau memang tak bisa dimuat? Disimpan di dalam file? Dioper ke wartawan-wartawan asing yang beroperasi di sini? Dijadikan bahan tawar-menawar? Atau mau ditulis kelak di suatu masa? Tak ada jawaban. Karena Janet yang sedang jatuh hati rupanya tidak tergoda untuk bertanya mengenai cacat yang satu ini. Namun, agaknya terlalu salahkah kalau ada yang sampai pada dugaan kuat bahwa para wartawan seperti Amran Nasution, Herry Komar, Karni Ilyas, Susanto Pudjomartono, untuk menyebutkan beberapa nama saja, telah menuai dari lobi-lobi mereka selama ini, terutama ketika mereka akan meniti karier setelah meninggalkan rumah besar mereka yang bernama TEMPO?

Tanpa pesaing yang berarti, TEMPO bergelimang kemakmuran. Namun, tak selamanya biduk berlayar dengan tenang. Guncangnya perimbangan kubu-kubu kepentingan politik di dalam pemerintahan, juga di dalam batang tubuh TEMPO sendiri, membuat penjagalan kedua terhadap majalah tersebut tinggal menunggu waktu. Cuaca tambah memburuk, badai kian bergalau, ketika pada tahun 1993, Goenawan Mohamad mengumumkan niatnya untuk mengundurkan diri sebagai pemimpin redaksi, dan melimpahkan tanggungjawab sehari-harinya kepada orang nomor dua, wartawan flamboyan Fikri Jufri. Dia ingin memusatkan perhatian sebagai penulis saja, dan kalau ada kesempatan, sesekali terbang ke luar negeri memberi kuliah atau ceramah.

Memang, sejak saat-saat awal majalah tersebut berdiri, Goenawan sudah mengisyaratkan wasiat bahwa dia takkan selamanya akan berada di atas, dan bahwa dia tidak ingin bercokol terus di kursinya. Dia bagai dewa yang menggeliat ingin mendobrak kekuasaan mutlak yang berada di genggamannya sendiri. Berbeda dengan sikap tokoh pers lain, yang terus berupaya mengelus-ngelus kursi jabatan dengan harga berapa pun, maka sikap sang penyair memang tiada duanya dalam sejarah pers nasional.

Buat wartawan-wartawan muda yang bergabung dengan TEMPO pada awal 1971, (bahkan sebelumnya, ketika Goenawan Mohamad masih memimpin majalah berita Ekspres) seperti Harun Musawa, Yusril Djalinus, Herry Komar, sosok Goenawan dipuja seperti “setengah Nabi” dalam pembicaraan santai mereka di belakang sang tokoh. Apa yang dikatakannya – dan dia memang selalu berkata jujur dan benar – amatlah sulit untuk ditampik. Dia adalah personifikasi jurnalisme yang netral. Dengan kepribadian yang terkadang mengesankan angkuh, sulit ditebak. Dan jelas tak mudah untuk dibujuk.

Karena itulah niat Mas Goen (demikian dia selalu dipanggil dengan akrab) untuk “lengser” telah menimbulkan guncangan terhadap biduk yang sedang berlayar laju. Keseimbangan mulai terbuai. Di kalangan para wartawan timbul semacam suasana keputusasaan, karena orang yang begitu mengilhami akan pergi meninggalkan kemudi. “Kalau ini adalah bagian dari strategi, maka orang yang berada di atas seharusnya tidak berdiri di pihak siapa pun. Goenawan adalah orang yang semacam itu. Tetapi, Fikri tidak. Jadi, inilah yang telah menggoyang keseimbangan,” kata Bambang Harymurti. (h. 236).

Bambang, yang sekarang menjadi Pemimpin Redaksi, bergabung dengan majalah tersebut awal 1980-an, sebagai koresponden di Bandung. Dia dikenang bukanlah sebagai wartawan dan penulis yang handal, sekalipun dia selalu punya gagasan berita yang baik. Cerdas, pandai bergaul, dan punya kemampuan manajerial yang memadai, barangkali. Mungkin juga dia dianggap sebagai wartawan muda yang loyal. Walaupun dia sempat bersikap “mendua” ketika 32 wartawan bergabung dalam eksodus besar-besaran untuk mendirikan Editor tahun 1987, dengan tujuan terang-terangan untuk “membunuh” tuannya sendiri: TEMPO. Sikap pemodal yang memang tak pernah adil, ditambah polarisasi kecenderungan politik para wartawannya, telah memicu begitu banyaknya staf majalah tersebut yang mengundurkan diri. Tigapuluh-dua wartawan sekaligus! Belum termasuk staf perusahaan. Mungkin, inilah pengunduran diri paling besar dalam dunia pers nasional, barangkali juga internasional.

Fikri Jufri, seorang penulis masalah ekonomi dan bisnis yang tajam dan memikat, dengan penciuman politik yang peka, adalah kutub yang lain. Dia tak punya pengikut, apalagi pengagum sebagaimana Goenawan Mohamad. Kata-kata bersayap Mas Goen tentang “cita-cita kita yang sama mengenai jurnalistik,” yang dia ucapkan dalam rapat persiapan 15 Januari 1971, kurang dari dua bulan sebelum TEMPO terbit (6 Maret 1971), telah terbang disapu angin lalu. Para wartawan yang dianjurkan melobi kanan-kiri, ternyata telah lupa pulang ke rumah mereka sendiri. Yang menuntun mereka bukan lagi “cita-cita kita yang sama mengenai jurnalistik,” tetapi Paduka Tuan yang menjadi teman dekat sekaligus sumber berita dan gantungan hidup di masa depan yang tidak pasti. Para wartawan terperangkap dalam kutub-kutub lobi mereka sendiri. Keputusasaan berbaur dengan bau ketidakpercayaan antara klik yang satu dengan klik yang lain. Masing-masing wartawan tambah merapat dengan lobi dan tambah mendurhakai tuan mereka sendiri. Fikri Jufri tinggal sendirian di kemudi.
Kapal perang rongsokan

Adapun di luar, laut gonjang-ganjing. Tahun 1988, Soeharto mengganti Jenderal Benny Moerdani sebagai Panglima Angkatan Bersenjata, dan memberinya kedudukan yang kurang berkuasa, sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan. Tahun 1993 jabatan yang kurang penting itu pun malahan dicopot pula dari pundaknya. Walaupun tak terbuka, Benny dikabarkan telah memihak pada suara publik yang berada “di bawah tanah” dan bersikap kritis terhadap Soeharto, dalam kaitannya dengan tingkah-laku semua anak-anak “Bapak Pembangunan” itu dalam praktik bisnis yang kotor.

“Pembangkangan” tokoh militer itu mendorong Soeharto mencari dukungan dari kalangan Muslim, dengan Ketua Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), B.J. Habibie, sebagai perlambang. Karena kedekatan TEMPO dengan Benny Moerdani, maka bagi banyak pendukung ICMI, majalah berita tersebut dimasukkan ke dalam kelompok yang anti terhadap organisasi besar dari kaum terpelajar yang membawa bendera Islam tersebut. Dan buat mereka, membela majalah itu merupakan sikap yang tak terpuji, naif. (h. 238).

Pada tanggal 11 Juni 1994, TEMPO menurunkan laporan utama mengenai pertikaian di dalam pemerintahan seputar pembelian 39 kapal parang bekas dulunya milik Jerman Timur. Laporan berkisar pada harga beli yang dianggap tidak pantas serta konflik antara Menteri Riset dan Teknologi B.J. Habibie dengan Menteri Keuangan Mar’ie Muhammad. Beberapa perwira tinggi, terutama dari Angkatan Laut, tidak menyetujui pembelian armada kapal bekas itu, dan mereka menganggap B.J. Habibie telah menggerogoti wewenang mereka.

Menurut Fikri Jufri kepada penulis resensi buku ini, TEMPO memutuskan laporan itu karena “uang rakyat yang tidak kecil jumlahnya yang telah disalahgunakan.” Semata-mata itulah, katanya, pertimbangan rapat redaksi dalam memilih topik itu, dan bukan karena kemauannya sendiri. Karena apa yang menjadi berita ditentukan secara kolektif, bukan oleh seseorang, sekalipun dia Pemimpin Redaksi. Tetapi, wartawan TEMPO Agus Basri, yang menulis laporan utama mengenai Habibie dan ICMI, beberapa pekan sebelumnya, kepada Janet Steele, menyebutkan dipilihnya laporan tentang kapal perang rongsokan dari Jerman Timur tersebut “punya maksud tertentu.” (h. 240). Agus bahkan menuduh Fikri “bias terhadap Habibie.” Menurut Agus lagi, ketika tersiar kabar salah satu dari kapal perang butut dari Jerman Timur itu tenggelam dalam pelayaran menuju Indonesia, saking senangnya, Fikri Jufri mencak-mencak bersyukur dan berteriak dengan sinis, “Alhamdulillah!” Isma Sawitri, yang sedang mengedit laporan itu, terpengaruh oleh Fikri, dan menjadi salah seorang dalam barisan pembenci Habibie.

Agus Basri, sebagaimana yang lebih lanjut dikutip Janet, memoleskan warna yang buruk pada wajah teman sejawatnya sendiri, dengan menceritakan bahwa Max Wangkar, yang menulis laporan utama, “punya masalah dengan Habibie.” Karena Max, katanya, seorang pemeluk agama Kristen, lulusan sekolah teologi lagi. Dengan “analisa” pandir seperti yang dilansir Agus Basri itu, menurut Janet, “jelaslah bahwa suasana di dalam majalah tersebut” sungguh telah dipenuhi racun dan bisa. (h. 241).

Sebagaimana yang tercatat dengan tinta merah dalam sejarah pers, TEMPO ditutup untuk kedua kalinya di zaman rezim Soeharto tanggal 21 Juni 1994, dan hanya bisa merangkak kembali setelah banjir reformasi, yang dihumbalangkan para mahasiswa dan rakyat dibarengi tekanan internasional, yang melanda negeri ini.

Sebagai penanggungjawab, Fikri Jufri dengan tegas menampik tuduhan bahwa penyebab pemberangusan adalah sikapnya yang bias terhadap putra mahkota Soeharto, Habibie, dan “ada mainnya” dengan Benny Moerdani, sebagaimana yang dituduhkan oleh Agus Basri. (Jauh sebelum pembreidelan, Susanto Pudjomartono sebagai pelobi Benny sudah menjabat sebagai Pemimpin Redaksi The Jakarta Post, harian berbahasa Inggris di mana TEMPO punya andil.) Menurut Fikri, ada rencana jahat di belakang itu semua. “Habibie mendatangi Soeharto,” katanya, sebagai bagian dari rencana busuk untuk membunuh majalah yang dia pimpin. “Karena TEMPO adalah musuh.” (h. 239). Ya, musuh kekuasaan yang harus disingkirkan.

Sebagai seorang profesional, kelihatannya tak ada lagi yang lebih menyakitkan hati Fikri Jufri daripada tuduhan kedekatannya pada Benny Moerdani sebagai penyebab bencana pembreidelan. Menjelang akhir Orde Baru, boleh dikatakan tak ada pejabat pemerintah yang suka pada sosok Fikri, terutama Menteri Penerangan Harmoko, yang terus-menerus menunda pengesahan Fikri Jufri sebagai pemimpin redaksi secara resmi. Di dapur sendiri juga begitu. Teman-teman sejawatnya sudah lupa pada jerih-payah anak Gang Haji Murtado ini ketika mengejar Ali Moertopo sampai ke “ujung dunia” (Bali) untuk mendapatkan nafas TEMPO kembali setelah pemberangusan di tahun 1982.

Penulis yang dia kagumi, kawan seperjuangannya sendiri, Goenawan Mohamad, ikut meningkahi suara gendang yang menggiring Fikri hingga terpojok. Kata Mas Goen, sama seperti Susanto Pudjomartono, Fikri juga tergoda (seduced) oleh Benny, yang digambarkan olehnya sebagai perwira tinggi yang sulit dicari tandingannya. Cerdas. Tangkas. Sangat bersahabat. Tahu segala. Berbicara dalam bahasa Inggris yang fasih. Apalagi. “Dia (bersikap) sangat bersahabat terhadap saya setiap kali kami bertemu. Dan Anda bisa tergoda,” ucap Goenawan kepada Janet. (h. 137)

Goenawan dengan bertalu-talu dikutip oleh Janet Steele, dan dia kelihatannya hanyut oleh sumber cerita utamanya ini, sehingga agaknya lupa bersikap berimbang ketika menyangkut keterangan yang mungkin bisa memberikan citra buruk tentang seseorang. Terutama ketika uraiannya menyangkut hubungan Fikri dan Benny. “Semua halaman berisi hasil wawancara dengan Goenawan. Sedangkan saya, yang dituduh macam-macam, cuman sekali diwawancarai. Hah…, ini benar-benar bias,” kata Fikri kepada penulis artikel ini.

Katanya, ini bukan pertama kali dia diperlakukan secara tidak adil oleh seorang penulis. Majalah PANTAU, yang diterbitkan oleh Institut Studi Arus Informasi (ISAI) dan justeru punya kedekatan dengan Goenawan Mohamad, juga memperlakukannya seperti itu. Dia dicap sebagai orangnya Benny Moerdani. Tanpa sepatah kata tanggapan pun yang dikutip dari dia.

Episode Pramoedya

Dalam WARS WITHIN Mas Goen keluar tanpa cacat. Dan dia barangkali memang tidak pantas untuk setoreh cacat sekalipun. Seorang pemimpin dikagumi bukan bagaimana dia berpesta-pora dengan pasukannya dalam merayakan kemenangan, tetapi bagaimana dia memberikan martabat kepada musuh yang telah dibikinnya bertekuk lutut. Dan Mas Goenawan punya bakat menerima titisan kebijaksanaan seperti itu.

Begini. Ketika Pramoedya Ananta Toer baru saja dibebaskan dari pulau pembuangan Buru akhir 1970-an, Mas Goen menulis satu artikel yang kritis terhadap pengarang paling terkemuka yang berahang liat itu. Goenawan memanggil saya (penulis artikel ini), yang duduk tak jauh dari meja-tulisnya. Disuruhnya saya membaca ulang rancangan tulisan itu. (Seingat saya, ini untuk ketiga kalinya dia menunjukkan tulisannya kepada saya, sebelum diturunkan, mungkin sekedar untuk menguji data yang terkandung di dalam tulisan itu. Dan saya, sampai kini mengenang dengan rasa hormat yang tinggi pada sikapnya yang rendah hati seperti itu.)

Waktu itu, saya usulkan kepadanya untuk meminta Pram membaca tulisan itu lebih dulu. Agak marah, nada suaranya meninggi: “Mengapa harus dia baca dulu…?” Saya jawab dengan spontan, walau sedikit gugup: “Untuk mencek kebenaran fakta, dan memberikan kesempatan kepadanya untuk menjawab. Kalau ditunggu reaksinya setelah terbit, ‘kan dia dilarang menulis?!” Mas Goen diam. Kemudian, dia menyelipkan tulisannya itu ke dalam laci, dan di situ tulisan tadi hanya tinggal menjadi milik waktu untuk selama-lamanya. Begitulah rupanya cara Sang Pemimpin menghargai martabat seorang bekas pesakitan yang dia anggap pernah berperangai sewenang-wenang ketika suatu waktu dulu sempat berada di puncak kejayaan.

Episode itu tak muncul dalam WARS WITHIN. Karena Janet kelihatannya hanya terpikat pada penggalan kedua dan terakhir dari sejarah perjalanan TEMPO. Lagipula, sumbernya, selain Goenawan Mohamad, terlalu terpusat pada Bambang Harymurti, yang sebenarnya baru tampil di babak kedua dari penggalan perjalanan hidup majalah tersebut. Memang, sebelum 1980-an benturan dengan kekuasaan tidak begitu sengit, karena suasana kebebasan pers yang relatif longgar. Tetapi, peperangan melawan birokrasi intern majalah itu sendiri, tak kalah sengit. Raksasa-raksasa seperti Christianto Wibisono dan Usamah (karena manipulasi yang berkaitan dengan pemberitaan dan keuangan) sampai terjungkal. Dan di atas segalanya, orang setangguh sastrawan-wartawan Bur Rasuanto pun tak cukup kuat untuk bertahan.

Edisi pertama majalah tersebut dicetak 12.500. Terjual habis. Terbitan kedua dilipat-duakan. Habis! Pada awal 1980-an tiras majalah tersebut sudah berkisar di angka 160.000. Kemajuan pesat. Tetapi, tidak diikuti dengan manajemen yang baik. Jam terbitnya selalu terlambat. Bur Rasuanto, yang berambisi untuk memimpin majalah tersebut ke dalam, sedangkan Goenawan hanya bertanggungjawab keluar, kelimpungan menghadapi batas waktu cetak yang selalu molor. Berbagai kiat dia lakukan untuk mengatasi keadaan. Pernah disediakan “pool” uang sebesar sebulan gaji. Yang paling produktif menggondol uang itu. Tapi, karena protes dari wartawan yang kalah, maka “pool” itu dianggap “tak aci” dan langsung distop.

Singkat cerita, Bur, yang berdarah Komering itu, sudah tak tahan lagi melihat naskah-naskah yang tetap saja menumpuk tidak dikerjakan tepat waktunya oleh para redaktur dan menjadi biang-keladi keterlambatan. Di kantor cikal-bakal TEMPO, yang terletak di Jalan Senen Raya, di seberang kantor pegadaian sekarang, pada suatu hari yang naas, Bur menyambar naskah yang menganggur belum tersentuh juga di meja seorang redaktur. Dia memang penulis yang cepat. Tulisan yang sudah dia rampungkan sendiri itu lantas dia turunkan. Tak ayal, redaktur yang bersangkutan melapor kepada Mas Goen, bahwa Bur telah menabrak prosedur. Goenawan membenarkan protes itu. Bur jadi naik darah. “Ah, kau juga …,” katanya berang, seraya melayangkan secangkir kopi ke muka Goenawan. Luput, dan cangkir itu pecah membentur dinding. Goenawan tak terpercik barang setetes kopi pun. Ketika berjalan melewati ruangan reporter, entah mau pergi ke mana, Goenawan masih bisa senyum bercanda dan berkata, “Kalian lihat tadi tenaga dalam saya…?” Kelakar itu membuat kami, para reporter, tersenyum getir.

Seminggu setelah peristiwa “secangkir kopi” itu, rapat besar digelar di Gedung Pembangunan Jaya, di Jalan Thamrin, Jakarta. Eric Samola, sebagai Pemimpin Umum menegaskan “tak ada harta milik perusahaan, sekecil apa pun, yang boleh dirusak.” Esoknya, dan untuk selamanya, Bur Rasuanto sudah tidak bersama kami lagi. Tamatlah riwayat dua-serangkai yang sesungguhnya amat ideal itu. Goenawan yang bijak dan Bur yang pekerja keras.

Bendera yang tumbang

Sebagai orang pertama yang diwawancarai Janet Steele, penulis resensi ini, sebagai mantan wartawan TEMPO, mengatakan kepadanya bahwa saya keluar tahun 1984 (bukan 1985 seperti yang dia tulis) karena majalah itu “telah kehilangan idealisme” dan “telah menyimpang dari misi semula.” (h.208).

Ketika itu, Janet datang dengan sikap yang berapi-api memuja Goenawan Mohamad dan timnya. Sekalipun majalah yang dipimpinnya sudah diberangus, katanya, orang tetap mengenangnya, dan malah ikut berjuang untuk mengembalikan hak hidup kepada media berita yang dia kelola. Saya tidak bermaksud mengecilkan peran Goenawan, tetapi kepada Janet, yang datang bersama Melani Budianta ketika itu, saya katakan: “Jangan melupakan faktor lain. Ketika tim Goenawan, yang malahan diperkuat oleh Arief Budiman dan Taufiq Ismail, bekerjasama dengan B.M. Diah, membangun majalah berita Ekspres, namun tim itu tidak berhasil. Jadi Ciputra dan Ali Sadikin, yang kemudian menjadi kawan seperjalanan TEMPO, seharusnya diletakkan juga di meja catur.”

“Idealisme” yang saya katakan telah dipertentangkan secara bertolakbelakang oleh Janet dengan “kemakmuran” material yang sudah diraih majalah itu. Yang saya maksudkan “meninggalkan idealisme,” tak lain adalah bahwa TEMPO sudah meninggalkan “bendera” yang dia kibarkan selama lebih dari satu dasawarsa sebagai majalah berita yang dinanti-nanti publik.

Karena laporan-laporannya sering tidak ditemukan di surat-surat kabar atau media lain. Dia malah sering menjadi sumber berita bagi koran-koran terpandang seperti KOMPAS, Sinar Harapan, The Straits Times Singapura dan lain-lain, juga kantor berita AFP dan Reuters. Puncaknya adalah laporan pembongkaran kebobrokan perusahaan minyak negara Pertamina di bawah pimpinan Ibnu Sutowo, dengan Fikri Jufri sebagai ujung tombak penulisnya. Majalah tersebut juga membuat scoop yang membuat iri para pemburu berita, ketika dia memuat wawancara khusus dengan kroni paling top Soeharto, raja semen dan raja segala raja, Liem Swie Liong.

Melalui satu rapat yang menentukan di Wisma TEMPO di Sirnagalih, dekat Puncak Pass, “bendera” kebanggaan itu diturunkan. Tak sebagaimana biasa, Goenawan membuka rapat dengan naskah di tangan. Intinya, perubahan orientasi, dari majalah yang dinanti karena beritanya yang eksklusif, menjadi majalah yang “mengekor” pada kehangatan berita yang dibawakan media harian.

Fikri Jufri, Lukman Setiawan, dan saya, menentang pembalikan haluan itu. Goenawan berargumentasi dengan mengatakan, “eksklusif” tidak hanya berarti media lain tidak memilikinya. “Eksklusif” juga berarti media lain, katanya, bisa saja memilikinya, tapi TEMPO “eksklusif” karena lebih mendalam. Saya langsung angkat tangan, menolak, dengan mengatakan “kedalaman” takkan bisa dicapai, karena wartawan TEMPO dilarang “mangkal” sebagai bagian dari perang sucinya memberantas “wartawan amplop.” Bagaimana mungkin mendapatkan kedalaman, atau kutipan-kutipan yang spontan, khas, menarik, kalau narasumber tidak mengenal wartawan yang mewawancarainya.

Saya tak habis pikir, mengapa Goenawan tidak mau berterus-terang saja bahwa majalah yang dipimpinnya tidak bisa lagi mengandalkan diri pada individu-individu wartawannya yang memang tangguh, seperti George Aditjondro dan lain-lain. Tapi, harus tunduk pada satu sistem. Untuk mempertahankan kemakmuran, yang diperlukan adalah kesetiaan pada sistem, dan bukan pada kehebatan orang-perorang. Tiga suara menentang, melawan seluruh floor yang mengamini Goenawan, maka tumbanglah sudah “bendera” TEMPO yang berkibar selama ini. Jadinya dia tinggal hanya sedikit lebih berharga dari kliping-kliping koran. Pelanggan memang tak bergeser. Cuma, dalam satu dasawarsa, sampai dia dibungkam tahun 1994, tirasnya hanya naik sekitar 20.000 eksemplar.

Setelah rapat itu, perubahan besar pun terjadi di dalam dapur. Para wartawan tidak lagi mengejar-ngejar berita, sliweran di jalan-jalan, menggali di sana-sini. Ruangan perpustakaan, tempat koran menumpuk, jadi banjir wartawan. Maka, yang diperlukan tidak lagi ketajaman pena, tetapi berapa panjang dan berapa kasatnya lidah untuk berdebat di dalam rapat untuk menentukan berita hangat yang mana yang harus di-follow-up-i. Episode penting ini juga tak terungkap dalam WARS WITHIN.

Sebagai seorang perantau di negeri orang, Janet Steele terkesan kurang ketat dalam memverifikasi keterangan narasumbernya. Mungkin, memang ada yang sudah lupa pada peristiwa yang terjadi lebih 30 tahun lalu. Seperti Salim Said, yang mengaku ketika majalah tersebut baru berumur sejagung, dialah katanya yang bertanggungjawab dalam program pendidikan dan pelatihan untuk tenaga wartawan baru. Jabatan yang dia pegang itu bukan di TEMPO, tapi barangkali di Angkatan Bersenjata, di mana dia pernah bekerja. Sejawatnya juga kemungkinan bisa ternganga ketika dia mengaku bahwa dialah yang berkeliling dengan mengendarai scooter bersama Syahrir Wahab mencari surat izin terbit untuk TEMPO, dan bukan Fikri Jufri! Mungkin Salim Said tidak lupa. Melainkan Janet yang salah salin dari catatannya. Nama redaktur internasional itu tumpang tindih dengan nama Nadjib Salim, reporter yang kemudian dipindahkan ke bagian pendidikan.

Janet juga kurang awas dengan tabiat sehari-hari narasumbernya. Dia tak tahu bahwa di Deli, misalnya, “membual” bukanlah perbuatan dosa. Dia justeru dicari sebagai hiburan, malah. Karena, tujuannya bukan untuk mencari keuntungan materiil, tetapi untuk mencari efek lucu, yang kalau diceritakan kembali di kedai kopi, siapa-siapa saja yang jadi “korban” penipuan dalam gaya ini, maka orang se-kedai pun akan tertawa, terhibur.

Maka, adalah orang Medan, Amarzan namanya. Nasib yang buruk telah menyebabkannya terbuang ke Buru. Menurut kisah Janet Steele, Amarzan yang baru pulang sebagai “orang rantai” pada tahun 1979, mendatangi Susanto Pudjomartono, dan menawarkan laporan tentang suasana gelombang pembebasan terakhir dari pulau pembuangan itu. Sedapnya pula adalah bahwa Susanto tidak punya kesempatan membantah bualan itu. Karena dia tentu tahu, Amarzan berkenalan dengan TEMPO, karena majalah itu akan menulis satu laporan utama untuk menyambut pembebasan Tapol yang sangat bersejarah tersebut. Di dalam rapat, muncul pertanyaan, bagaimana menceritakan keadaan Buru ketika akan dikosongkan? Seorang peserta rapat perencanaan menjanjikan bahwa bakal ada seorang penulis yang memang berbakat, yang jadi Tapol dan dibuang ke Buru, yang boleh jadi bersedia menuliskan catatan. Maka, Amarzan pun dicarilah. Dan dia bersedia menuliskan satu laporan.

Menurut cerita Janet, “Tak lama kemudian, Amarzan menemukan surat di bawah pintunya. Surat itu berasal dari Susanto yang menyatakan keinginan untuk mengajaknya bergabung dalam proyek ‘Apa & Siapa’ TEMPO.” Wah! Menemukan surat di bawah pintu, tak tahu siapa yang membawanya? Amboi makjang…! Ini adalah gaya Medan, bagaimana membuat diri supaya kelihatan “tinggi sebenang.” Dan setelah membaca “bual” yang dia letupkan itu, tentulah Amarzan tersipu-sipu, terhibur… Dasar!

Mungkin masih ada saja kesalahan-kesalahan yang kurang berarti dalam satu kisah tentang satu penerbitan pers yang begitu penting dan sudah berusia 30 tahun lebih. Seperti menyebutkan Zulkifly Lubis sebagai salah seorang pendiri TEMPO, mentang-mentang anak Medan yang “luwes” ini sekarang duduk sebagi salah seorang direktur. Bagaimanapun, Janet Steele telah menyelesaikan pekerjaan besar dalam menyusun satu dokumen penting tentang sepenggal sejarah pers dari satu negeri yang jauh, di mana kebebasan pers masih merupakan angan-angan yang musykil. Dan dia telah menulisnya dengan empati dari hati wanitanya yang dalam, sebelum orang lokal, terutama orang TEMPO sendiri, belum sempat berpikir untuk menuliskan riwayatnya sendiri yang begitu kaya.
***

Martin Aleida Sastrawan, mantan wartawan TEMPO

No comments: