01 January 2010

Kengerian Jurnalis Asing Meliput Indonesia
Ditawari Sate Daging Manusia di Kalimantan

Awalnya adalah sebuah foto di tahun 1997. Seorang reporter jaringan internasional baru saja kembali dari Kalimantan, dan ia membawa sebuah foto kepala terpenggal. Hari itu, tak ada satu pun media massa Indonesia yang memuat foto seperti itu.

Richard Lloyd Parry, jurnalis surat kabar Inggris, Times, menggambarkan perasaannya dalam buku In The Time of Madness (2005), saat melihat foto itu: "Kepala itu tergeletak di tanah...Lebih terasa absurd daripada kejam."

Parry memilih terbang ke Kalimantan, meninggalkan keriuhan kampanye pemilu. Di sana, perburuan manusia dalam arti sebenarnya tengah terjadi: orang-orang Dayak memburu kepala orang-orang Madura, tak peduli laki-laki, perempuan, dewasa, atau anak-anak. Parry menuju Pontianak, Kalimantan Barat, tempat pemukiman warga Madura dibumihanguskan.

Di Pontianak, Parry bertemu dengan dua pendeta: Anselmus dan Andreas. "Mereka penonton yang tak berdaya," kata Parry kepada saya, dalam sebuah wawancara melalui surat elektronik. Mereka memang selalu mengajarkan kedamaian dan larangan Tuhan untuk membunuh. Namun dalam sebuah konflik yang berskala luas, ajaran damai itu tak lagi didengar.

Meledaknya perseteruan Dayak melawan Madura lebih banyak disebabkan oleh kabar-kabar tak jelas. Tanggal 29 Januari 1997, beredar kabar dua pria Madura mendobrak masuk tempat dua gadis Dayak, yang tengah berbaring di tempat tidur di tepi kota Pontianak. Kedua gadis itu dianiaya dan pakaian tidur mereka dikoyak dengan arit. Sejak saat itu, peperangan pun dimulai.

Kendati orang-orang Dayak menyerang warga Madura dan rumah-rumah mereka, mereka tidak membakar masjid dan kantor milik pemerintah. Mengutip keterangan salah satu narasumbernya, Parry menulis dalam bukunya, warga Dayak tak ingin pergolakan antaretnis itu berubah menjadi perang antar pemeluk agama Islam dan Kristen. Mayoritas warga Dayak beragama Nasrani. Mereka juga tak mau berhadapan dengan pemerintah, gara-gara merusak fasilitas negara.

Mereka juga tidak menjarah barang. "Mereka bukan orang kaya. Tapi kalau mereka menemukan mobil atau perabotan bagus, mereka membakarnya," tulis Parry dalam In The Time of Madness. Buku ini tiga tahun kemudian diterbitkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Zaman Edan.

Parry juga mengungkapkan adanya ilmu hitam dalam konflik itu. Mengutip Romo Kristoff, seorang pendeta, orang Dayak yang kesurupan roh perang Kamang Tariu akan kebal tubuhnya. Orang Dayak itu juga tak mengenal capek. Namun, "ia harus makan darah."

Kepada saya, Parry mengatakan, tidak suka menggunakan kata 'evil' (jahat) untuk menjelaskan fenomena di Kalimantan itu. "Kekerasan terjadi karena ketidakadilan yang terjadi selama berdasawarsa-dasawarsa oleh pemerintah Indonesia terhadap orang Dayak," katanya. Ini menyebabkan orang Dayak merasa pilihan mereka satu-satunya adalah kekerasan. Tuduhan adanya provokator di balik terjadinya kekerasan itu hanya digunakan oleh orang yang tidak berani menghadapi alasan kekerasan sebenarnya.

Dari hasil reportasenya di Kalimantan, Parry menulis artikel berjudul What Young Men Do, dimuat di koran Times dan di Majalah Granta. Ia dihujani surat kecaman dari berbagai organisasi hak asasi manusia, yang tak percaya telah terjadi pembantaian warga Madura oleh warga Dayak di Kalimantan.

Tahun 1999, Parry kembali mendatangi Kalimantan. Kali ini ia meliput konflik yang melibatkan etnis Madura, Dayak, dan Melayu. "Saya kembali ke Kalimantan Barat, dan nyaris menjadi seorang kanibal pula," tulis Parry dalam bukunya.

Parry datang tepat pada waktunya, saat konflik memanas. Parry menulis: 'Situasinya sudah sangat buruk. Semua bersiap melakukan pembantaian. Sepanjang jalan pantai... orang Melayu sedang bergerak...menyisir perkampungan orang Madura. Di pedalaman, pasukan perang Dayak juga berkumpul. Dan terjebak di tengahnya adalah puluhan ribu orang Madura'.

Di sebuah desa Madura, Suka Ramai, Parry merasakan tubuhnya bergidik. Sepetak jalan lengket oleh darah. Seorang bocah memamerkan sepotong lengan yang terluka di bagian siku. Lengan manusia. Seluruh jari di potongan lengan itu telah terlepas. Tulang dan otot mencuat.

Bau rumah terbakar membubung di udara. Di desa itu ada sebuah warung sate, dengan arang yang membara di tempat pembakaran daging sate. Di tengah-tengah tempat pembakaran sate itu, sebatang tulang paha manusia terpanggang.

Seorang pria berikat kepala kuning mendekati Parry. Jari-jemarinya yang berminyak memegang setusuk sate daging berserat setengah matang. "Silakan," ia menawarkan sate itu kepada Parry.

Budi, warga lokal pemandu Parry, dengan panik mengajak Parry segera pergi. "Enak seperti ayam," kata pria yang memaksa Parry untuk memakan sate itu.

Si tukang sate Melayu menarik baju Parry. Parry berjuang keras untuk menampik tawaran itu. "Seberapa dekatkah saya dengan seorang Kanibal," pikiran itu sempat terbetik di benak Parry.

Sopir berhasil menyalakan mesin jip yang ditumpangi Parry. Orang-orang itu masih saja berteriak menawarkan sate daging manusia kepada Parry. Namun jip segera melaju, meninggalkan mereka.

Beberapa tahun kemudian, setelah In The Time of Madness terbit, saya melayangkan surat elektronik kepada Parry. Saya menanyakan perasaannya sebagai jurnalis saat itu, menyaksikan kepala-kepala yang terpenggal.

"Saya merasa takjub, grogi (kendati secara pribadi tidak pernah merasa terancam), terpesona -- dan merasa malu dengan keterpesonaan itu. Jujur saja, saya merasa istimewa berada di sana," kata Parry.

Bersimpati kepada korban? "Tentu saja saya merasa bersedih, kendati saya tak pernah bertemu mereka saat hidup atau melihat mereka menderita, sulit untuk menjelaskannya sebagai rasa simpati personal," kata Parry kepada saya.

Parry mencoba meliput peristiwa itu dan menuliskannya secara adil. Namun ia tidak percaya seorang manusia bisa bersikap objektif, kendati sudah berupaya keras untuk itu. "Tujuan saya adalah mendeskripsikan apa yang terjadi, dan juga mendeskripsikan bagaimana rasanya berada di sana," katanya. [wir]

1 comment:

Nathalia said...

ih serem :(