31 December 2009

Gus

Gus, saya ingat hari itu: saat Sampeyan harus meninggalkan istana dengan 'penuh luka'. Parlemen menggulingkan Sampeyan. Ditemani sanak kerabat dan kawan-kawan dekat, Sampeyan bercelana pendek menemui para pendukung. Orang-orang menangis. Bangsa ini tak pernah menghargai proses, dan tak pernah belajar menghargai apa yang sudah di tangan. Kita menginginkan lebih, dan seorang seperti Sampeyan, ketika dirasa tak cukup untuk memuaskan hasrat itu, juga dipaksa untuk minggir.

Orang bilang, Sampeyan ini gampang berubah-ubah sikap. Isuk dele, sore tempe (pagi bilang kedelai, sore bilang tempe). Orang bilang, Sampeyan tidak konsisten. Namun, terus terang saja, saya kini menjadi ragu manakah yang sebenarnya gampang mengubah sikap dan pendapat: Sampeyan atau bangsa ini.

Saya ragu, jangan-jangan bangsa ini yang sebenarnya gampang terkena amnesia sejarah, dan Sampeyan hanyalah satu dari sedikit parrhesias: orang yang berani mengungkapkan apapun dalam pikirannya dan tak menyembunyikan apapun kecuali kebenaran dan keinginan untuk mengingatkan. Keterbukaan dalam ucapan memang kadang menyakitkan, terutama di tengah masyarakat yang sekian lama hidup dalam ketakterusterangan dan pasemon.

Saat Sampeyan menunjukkan keberpihakan kepada kaum minoritas, sampeyan dituduh tidak membela kaum sendiri dan menjadi corong kaum minoritas. Keberpihakan sampeyan, Gus, selalu dibenamkan dalam asap teori konspirasi yang bikin bingung. Kita seperti lupa, bahwa hari ini kita bisa tetap menjadi Indonesia karena adanya penghormatan terhadap liyan, sesuatu yang dipandang minor. Sampeyan cuma mengingatkan kembali, namun rupanya bangsa ini sulit untuk diingatkan tentang sesuatu yang benar.

Ketika Sampeyan mengusulkan pencabutan TAP MPRS Nomor 25 tahun 1966 tetang larangan penyebaran komunisme-leninisme-marxisme, orang ramai-ramai berteriak lantang. Sampeyan dianggap sudah keterlaluan, karena membangunkan 'hantu lama' Karl Marx. Orang agaknya lupa, komunisme sudah lama bangkrut, dan kelaparan maupun kemiskinan sudah tak ada urusan lagi dengan ideologi. Bangsa ini mungkin lupa pula, bahwa kita butuh rekonsiliasi, dan tak menumpuk kesumat hingga tulang sumsum.

Sampeyan adalah orang yang percaya, bangsa ini harus didewasakan dengan jalan menerima perbedaan pendapat apapun, termasuk soal ideologi. Namun Sampeyan juga orang percaya bahwa Pancasila adalah asas yang tepat untuk mengikat bangsa ini, bukan yang lain. Sampeyan memperkenalkan 'pribumisasi Islam', sesuatu yang dihujat pula oleh orang-orang yang merasa jalan ber-Islam adalah jalan tunggal. Orang-orang itu, Gus, menolak pernyataan seorang parrhesias seperti Sampeyan yang mengingatkan: seorang muslim berhak hidup dengan banyak predikat, termasuk hak untuk menjadi Jawa dan bukan Arab, menjadi Batak dan bukan Arab, menjadi Madura dan bukan Arab, menjadi Indonesia dan bukan Arab.

Di saat orang mulai pesimis dengan pemerintahan Suharto dulu, sampeyan justru mendekat dan bersalaman. Orang mencibir, dan lagi-lagi lupa, bahwa Sampeyan memang harus mendekat kepada pemerintah karena 'seribu hari hidup dengan pemimpin yang lalim masih jauh lebih baik daripada hidup sehari di sebuah negara tanpa pemimpin'.

Gus, saya gembira, setelah Habibie, Sampeyan menjadi orang yang mendesakralisasi istana dan jabatan presiden. Menjadi presiden seolah bukanlah apa-apa, dan tak ubahnya ketika seseorang menjadi petani, pedagang pracangan, atau pengamen di tepi jalan. Sampeyan memang perlu pengamanan protokoler, tapi Sampeyan tak pernah merengek-rengek tentang kemungkinan Sampeyan dibunuh, oleh kelompok Muslim garis keras yang menuduh Sampeyan bersekongkol dengan Israel. Sampeyan jalani hidup sebagai Presiden tanpa harus was-was bakal kena bom sewaktu-waktu, atau jadi target tukang bedil jitu.

Namun, Orang lantas marah-marah, saat Sampeyan mengatakan kebenaran bahwa DPR tak ubahnya taman kanak-kanak. Orang bilang Sampeyan adalah presiden yang tak mengeri etika. Orang seperti lupa, bahwa hanya anak-anak yang berebut sesuatu tanpa etika dan aturan. Menurunnya angka partisipasi pemilih yang antre di bilik-bilik suara saat pemilu menunjukkan bahwa orang pun kini tak percaya dengan 'taman kanak-kanak' itu.

Sampeyan memang akhirnya digulingkan, dipinggirkan. Nasib sampeyan persis seperti nasib Plato yang mengingatkan Dionysius. Seperti kata Michel Foucault, seorang parrhesias mengambil risiko untuk dihukum, diasingkan, dan dibunuh, karena keberaniannya mengatakan sesuatu yang benar.

Gus, hari ini sampeyan mewariskan Partai Kebangkitan Bangsa dan menitipkan Nadhlatul Ulama kepada bangsa ini. Orang mulai pesimis tentang masa depan PKB, dan siapa yang bakal menjadi orang seperti Sampeyan di NU. Tapi bagi saya, bukan itu yang terpenting. Saya, sebagaimana mungkin banyak orang, hari ini berharap: pemikiran Sampeyan tentang pluralisme, kebangsaan, dan demokrasi, tak akan tertelan hasrat Machiavellian yang menjadikan kedua organisasi itu sebagai 'pasar sapi'.

Terakhir, saya tengadahkan tangan ke langit dan berharap Tuhan akan memandikanmu dengan air salju dan embun pagi. Membersihkanmu dari segala kesalahan, sebagaimana Tuhan membersihkan baju yang putih dari kotoran. semoga Tuhan menjaga tidur panjangmu, Gus. [wir]

No comments: