03 January 2010

Alami Post-Traumatic Stress Disorder Setelah Meliput di Timtim

"East Timor was the hardest place because it was the most dangerous." Timor Timur adalah tempat reportase tersusah, karena itu tempat yang paling berbahaya.

Pernyaan ini meluncur dari Richard Lloyd Parry, jurnalis The Times London, yang menulis buku In The Time of Madness. Buku ini terbit tahun 2005, dan baru diterjemahkan dengan judul Zaman Edan oleh penerbit Serambi tiga tahun setelahnya.

In The Time of Madness berisi reportase perjalanan (travelog) Parry di Kalimantan, Jawa, dan Timor Timur. Saya pernah mewawancarainya via surat elektronik seputar bukunya tersebut. Saat film Balibo yang bercerita tentang tewasnya enam wartawan Australia dan Inggris saat invasi Indonesia di Timor Timur diputar, saya mendadak teringat petualangan Parry.

Parry menjelaskan dalam suratnya kepada saya dengan gamblang, betapa menegangkan petualangannya di Timor Timur. Dibandingkan dengan saat meliput perang etnis di Borneo dan reformasi 1998 di Jawa, ia merasa jiwanya lebih terancam saat meliput proses referendum Timor Timur tahun 1999.

"Timor Timur dalam keadaan rusuh tak pasti saat saya pertama ke sana... Soeharto telah tumbang lima bulan silam,... atmosfer di Dili telah berubah secara dramatis," tulis Parry dalam bukunya.

Parry terobsesi bertemu dan mewawancarai para pejuang Falintil, Tentara Nasional Pembebasan Timor Timur. Masuk ke Dili, ia menyebutkan identitas pekerjaan sebagai guru yang tengah berlibur kepada petugas di bandara. Ia menginap di Hotel Turismo, hotel yang juga ditempati wartawan Australia yang terbunuh tahun 1975, Roger East. East adalah wartawan senior Australia yang melacak keberadaan lima jurnalis muda televisi. Dalam Balibo yang disutradarai Robert Connolly, East digambarkan tewas ditembak tentara Indonesia di dermaga.

Bersama Jose, seorang pejuang Falintil, Parry masuk hutan untuk menemui para serdadu Falintil yang diisukan telah terkalahkan oleh pemerintah Indonesia. Mulanya, ia takut. Namun setelah bertemu dengan seorang komandan Falintil di hutan, ia menjadi lebih berani. "Jika kami semua terbunuh, maka Anda pun akan terbunuh," kata seorang gerilyawan. "Tapi, selama Commandante masih hidup, senhor akan hidup. Silakan bertanya."

Setelah Presiden Baharuddin Jusuf Habibie menyetujui adanya referendum, suasana di Timor Timur memanas. Anggota milisi pro Indonesia menyerang warga sipil. Para dokter dan guru-guru Indonesia mulai angkat kaki.

Parry tidak ragu-ragu menunjukkan simpatinya kepada kelompok pro kemerdekaan dan antipatinya kepada kelompok pro Indonesia. "Pendukung otonomi (pro Indonesia) tampil memuakkan... Rambut panjang berminyak, lengan atas terbuka, dan dikelilingi tato-tato misterius... Mereka kumal, norak, dan bau, serta mendapatkan banyak uang dari suatu tempat," tulisnya.

Mereka membenci orang asing berkulit putih. "Pulanglah, Inggris," teriak salah satu anggota milisi kepada Parry, saat bertemu di jalan.

Di Timor Timur, wartawan asing bisa menjadi sasaran sewaktu-waktu. Dalam sebuah perjalanan menuju markas Unamet, sebuah otoritas di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mengawasi referendum, sejumlah wartawan, termasuk Parry, terjebak dalam serangan pasukan milisi. Seorang koresponden The Washington Post kena sabet golok. Mereka dikepung tembakan-tembakan.

Pendukung kemerdekaan menang akhirnya. Hasil referendum menyatakan, 78,5 persen rakyat Timor Timur menentang opsi otonomi khusus dan lebih memilih merdeka. Situasi tegang. Sepanjang sore suara tembakan terdengar di Dili. Evakuasi mulai dilakukan. Sebagian wartawan dan orang sipil asing mulai diungsikan ke Australia.

Redaktur Times di London menyarankan Parry segera meninggalkan Dili. Parry mulai merasa tak pasti. Berkali-kali ia menuliskan dan menghapus namanya dari daftar orang-orang yang ingin dievakuasi. Berlindung di markas Unamet bukan jaminan keselamatan. Milisi bisa menyerang sewaktu-waktu.

Parry akhirnya memilih mengungsi ke Darwin, Australia. "Saya telah menjadi pengecut dan melarikan diri. Saya sudah lari karena takut terbunuh, atau lebih tepatnya, mati ketakutan," tulisnya dalam buku In The Time.

Ketakutan ini sangat manusiawi. Sebelum meninggal tahun 1975, Roger East sempat memaksa Jose Ramos Horta untuk ke Balibo, mencari lima wartawan muda yang diduga tewas di sana. Namun, East akhirnya memilih 'balik kucing' karena ketakutan setelah diguyur pelor oleh helikopter Indonesia. Ia memilih kembali mencari, setelah ada pergolakan batin dalam dirinya.

Parry menghabiskan waktu dua pekan di Darwin. Kisah-kisah kekejaman pasca referendum mulai menyebar: pembunuhan pendeta, ratusan ribu orang mengungsi ke gunung, pembumihangusan rumah-rumah warga. Dan, Parry mengakui, ia tidak cukup berani berada di tengah-tengah itu semua.

Parry kembali ke Timor Timur setelah pasukan asing ditambah untuk menjaga keamanan. Namun Timor Timur tetap berbahaya bagi seorang jurnalis. Sander Thoenes dari koran Christian Science Monitor, Amerika Serikat, menjadi wartawan asing ketujuh yang tewas di negara itu. Pengadilan Timtim menjatuhkan vonis bersalah kepada seorang mayor Indonesia yang didakwa membunuh Thoenes. Namun, vonis itu adalah vonis kosong, dan sang mayor tetap bebas.

Parry terjatuh dalam kesedihan setelah meliput kekerasan di Timor Timur. Ia menyebut dirinya menderita post-traumatic stress disorder ringan. "Ini sembuh bersama dengan waktu, salah satunya karena saya menulis buku ini (In The Time of Madness)," katanya kepada saya. [wir]

No comments: