10 December 2008

Pemilu, Parpol, dan Benih Korupsi

Tanggal 9 Desember 2008 diperingati sebagai Hari Anti Korupsi Sedunia. Bagi negara yang masih dililit persoalan korupsi, seperti Indonesia, peringatan Hari Anti Korupsi memiliki makna penting. Inilah saatnya kita sebagai bangsa lebih memperkuat komitmen bersama untuk menjadikan perilaku dan budaya koruptif sebagai musuh.

Kita gembira, selama masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), pemberantasan kasus-kasus korupsi cukup gencar. Terlepas dari kasus-kasus yang digarap bukanlah kasus utama atau masih ada nuansa tebang pilih, gebrakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan penegak hukum lainnya patut diapresiasi. Korupsi di negeri ini sudah begitu mengakar kuat. Tentu perlawanan harus dimulai dari kasus manapun.

Di tengah gencarnya gerakan pemberantasan korupsi tersebut, kami ingin mengingatkan agar semua pihak mewaspadai pemilihan umum sebagai media penumbuhkembangan korupsi. Sebagai hajatan politik terbesar yang menentukan nasib bangsa ini, pemilu memiliki banyak sisi rawan.

Di tengah keterbukaan saat ini, partai politik justru menjadi lembaga yang tertutup dalam urusan pengelolaan keuangan. Kita kesulitan mengontrol asal-muasal biaya politik yang dikeluarkan partai dan politisi yang bertarung dalam pemilu. Batasan-batasan yang tercantum dalam undang-undang ternyata masih mudah disiasati.

Dengan ketidakjelasan tersebut, politik transaksional mudah terjadi. Para politisi dan partai mendekati sumber-sumber kapital dan terjadilah kesepakatan-kesepakatan yang ujung-ujungnya menguntungkan sumber kapital itu sebagai kompensasi.

Ini sangat menakutkan. Kita memang takut, perilaku koruptif bakal tetap terjadi karena para politisi yang telanjur mengeluarkan ongkos selangit agar bisa duduk di parlemen, bakal mencari 'uang kembalian' dengan menggangsir uang negara saat yang bersangkutan punya kewenangan.

Namun, yang lebih menakutkan bukanlah itu. Politik transaksional antara sumber-sumber kapital dengan politisi atau partai akan yang memicu 'korupsi kebijakan', itulah yang justru sangat kita takutkan.

Kami percaya, modus kasar main gangsir atau main sogok sebagaimana yang terjadi saat ini di DPR RI atau DPRD lama-kelamaan tak akan laku. Semakin ketat dan represifnya aparat keamanan, terutama KPK, akan membuat para politisi yang main kasar semakin mudah dilibas.

'Korupsi kebijakan' justru lebih halus dan sulit diendus. Kompensasi 'korupsi kebijakan' tidak perlu dalam bentuk uang tunai atau cek-cek perjalanan yang mudah terlacak. Kompensasi justru bisa berupa keistimewaan jangka panjang bagi pihak tertentu yang memodali politisi yang kelak berkuasa di parlemen.

Melalui kebijakan yang diabsahkan melalui prosedur yang benar, maka laku menyimpang tidak akan disalahkan atau diteriaki 'maling'. Namun di lain pihak, rakyat semakin menderita akibat kebijakan yang menguntungkan satu pihak itu.

Salah satu 'korupsi kebijakan' yang harus diwaspadai sejak saat ini adalah upaya untuk memangkas peran KPK. Kita tahu, KPK berjalan dengan dasar undang-undang yang disahkan DPR, salah satu lembaga yang disebut terkorup. Bisa dibayangkan, bagaimana jika para sumber kapital yang merasa terganggu dengan tindakan KPK, melakukan upaya 'korupsi' dengan menggunting dalam lipatan melalui 'agen-agennya' di parlemen.

'Korupsi kebijakan' lain adalah kebijakan yang menguntungkan pengusaha luar negeri dengan menjual aset-aset negara, atau membuat perjanjian-perjanjian yang hanya menguntungkan kapitalis asing namun menjajah rakyat sendiri.

Dengan ancaman yang begitu besar ini, maka tidak bisa tidak, perang terhadap 'korupsi kebijakan' harus dilakukan rakyat. Tidak cukup rakyat mengandalkan KPK, Kejaksaan, atau Kepolisian yang dibatasi undang-undang.

Rakyat harus menolak untuk memilih partai politik atau politisi yang tak mau transparan membuka sumber-sumber dananya. Rakyat juga harus menolak partai atau politisi yang jelas-jelas didanai oleh sumber kapital yang selama ini merugikan rakyat.

Ada pelajaran dari Barack Obama. Saat pemilu Amerika Serikat lalu, karisma seorang Obama mampu membuat rakyat Amerika menyumbangkan barang satu dua dolar untuk membiayai kampanye sang kandidat.

Prinsip 'sedikit-sedikit menjadi bukit' berlaku. Sumbangan dari jutaan warga Amerika membuat Obama mengumpulkan dana kampanye besar melebihi rivalnya.

Hikmahnya, Obama tak lagi perlu tergantung dari bantuan para pengusaha kaya raya, sehingga ia tak berutang apapun kepada mereka. Obama hanya berutang kepada rakyat yang rela menyisihkan sedikit dari hasil kerja keras mereka demi kepentingan kampanyenya. Ia tak perlu melakukan 'korupsi kebijakan' sebagaimana yang dilakukan George W. Bush, yang menelurkan kebijakan yang menguntungkan perusahaan-perusahaan minyak raksasa.

Di Indonesia, kita butuh sosok seperti Obama yang mampu menggerakkan rakyat memberikan sumbangsih walau sedikit, untuk mengusir kepentingan hitam pemilik kapital raksasa. Adakah? [bj2]

Tulisan ini pernah dimuat di rubrik Sorotan di www.beritajatim.com

2 comments:

Eko Rusdianto said...

ehmmmm, saya senang dengan tulisan ini, istilah keren "korupsi kebijakan"

apa kabarji...

Dayu Pratiwi said...

Hmmmmmm saya belum baca tulisan ini. Cuma mau ngasih tau kalo saya udah agak langsingan. HEHEHEHEHE