04 December 2008


Mewawancarai Tim Weiner


Buku Tim Weiner berjudul Legacy of Ashes memunculkan kontroversi di Indonesia. Penyebutan nama mantan Wakil Presiden Adam Malik sebagai bagian dari operasi CIA membuat berang keluarga besarnya dan sebagian rakyat Indonesia. Sayangnya, hanya dua media massa yang mewawancarai Weiner: Beritajatim.com dan majalah Tempo.

Selama sepekan terakhir, kita dihebohkan oleh buku Legacy of Ashes: History of CIA karya Tim Weiner, yang telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi Membongkar Kegagalan CIA.

Pangkal kehebohan adalah isi buku yang menerangkan bahwa Adam Malik direkrut oleh perwira CIA Clyde McAvoy, sebagai bagian dari operasi tahun 1965. Penjelasan tentang peran Adam Malik diperkuat oleh telegram Duta Besar Amerika Serikat saat itu, Marshall Green.

Buku karya Weiner ini sebenarnya sudah diterbitkan Gramedia sejak September 2008. Namun praktis kehebohan baru terjadi paruh terakhir November, setelah resensi tentang buku ini terbit di harian Kompas. Mendadak semua orang, mulai dari sejarawan, pengamat politik, hingga wakil presiden angkat bicara dan ramai-ramai menolak isi buku Weiner itu.

Keluarga Adam Malik menuntut permintaan maaf dan revisi isi buku. Kejaksaan Agung mempelajari Legacy of Ashes, dan tak tertutup kemungkinan bisa menerbitkan keputusan untuk memberangus buku tersebut. Seorang sejarawan bahkan mengusulkan agar buku tak dilarang, namun bagian tentang Adam Malik dihitamkan alias disensor.

Dalam kasus Adam Malik ini, sebagian besar media massa Indonesia gagal melakukan cover both sides, karena tidak ada yang memuat tanggapan dari Tim Weiner. Jawa Pos melansir di alinea akhir salah satu tulisannya, mencoba mewawancarai Weiner tapi gagal. Jawa Pos menghubungi Random House, penerbit Legacy of Ashes. Namun Random House memberitahukan bahwa Weiner tengah berlibur, dan akan menghubungi secepatnya.

Saya sudah mencoba mewawancarai Weiner sejak Oktober lalu, setelah membeli buku itu di Gramedia. Saya punya kebiasaan, membuat resensi dengan jalan mewawancarai sang penulis. Melalui jalan itu, saya mengenal Mark Bowden (wartawan Philly Inquirer), Bondan Winarno (penulis buku Bre-X), dan Richard Llyod Parry (wartawan The Times).

Saya mulanya juga kesulitan mewawancarai Weiner, karena tidak memperoleh alamat surat elektroniknya di internet. Sama seperti Jawa Pos, saya juga meninggalkan pesan di Random House. Saya juga memperoleh jawaban yang sama.

Saya mencoba berkorespondensi dengan The New York Times, hasilnya tak memuaskan. Saya juga meninggalkan pesan di website New York Observer. Observer memuat tulisan tentang buku Weiner, dan pembaca bisa meninggalkan pesan.

Nihil.

Di sinilah lantas saya teringat tiga orang: Janet Steele, Mark Bowden, dan Bill Kovach. Janet adalah pengampu kelas jurnalisme sastrawi di Pantau. Saya memang beberapa kali berkomunikasi dengan dia.

Saya pernah mewawancarai Bowden tentang proses penulisan buku Finders Keepers: The Story of a Man Who Found $1 Million yang sudah diterjemahkan ke Indonesia. Bowden juga dikenal sebagai penulis buku Black Hawk Down yang dipuji karena detail narasinya. Black Hawk Down kemudian difilmkan oleh Hollywood.

Sementara, Bill Kovach adalah penulis buku Sembilan Elemen Jurnalisme. Pemikiran Kovach diperkenalkan kepada saya oleh Andreas Harsono, jurnalis di Pantau. Dari dua nama terakhir inilah saya mendapat alamat email Tim Weiner.

Saya mengirimkan surat ke Tim Weiner, Jumat (28/11/2008). Tidak menunggu lama. Sabtu (29/11/2008), saya sudah menerima surat balasan dari Weiner.

Dalam suratnya kepada saya, Weiner menulis, "I mean no harm to Adam Malik's family. I wish them well." (Saya tidak bermaksud melukai keluarga Adam Malik. Aku harap mereka baik-baik saja).

Saya bersemangat sekali mendapat jawaban dari Weiner. Saya meminta izin menayangkannya online kepada Pak Air, redaktur beritajatim.com. Beritajatim.com menjadi media massa pertama di Indonesia yang menayangkan tanggapan Weiner soal kontroversi bukunya.

Tulisan dari hasil wawancara dengan Tim Weiner memicu reaksi. Teddy, redaktur beritajatim.com, dihubungi wartawan di Surabaya. Si wartawan ini bilang ke Teddy, "Apa buktinya beritajatim.com mewawancarai Tim Weiner?" Si wartawan ini meminta agar beritajatim.com menayangkan visual surat elektronik dari Weiner.

Saya tertawa. Saya tidak memandang ketidakpercayaan itu sebagai penghinaan, namun keterkejutan. Boleh jadi ia terkejut, media kecil macam beritajatim.com mewawancarai Tim Weiner. Mungkin, media kecil identik dengan berita yang localized atau begitu-begitu saja.

Saya sendiri terus terang puas bisa mewawancarai Tim Weiner. Sesuatu yang tidak dilakukan media-media besar. Beberapa hari kemudian saya membeli Tempo, dan ternyata majalah ini juga memuat wawancara dengan Tim Weiner.


Pelajaran dari Weiner

Bagaimana menanggapi Weiner?

Reaksi masyarakat muncul karena Adam Malik adalah pahlawan dan mantan wakil presiden Indonesia. Namun reaksi itu menunjukkan betapa kita ternyata masih reaktif dan mudah 'berang' oleh hal-hal yang dipaparkan secara rasional sekalipun. Kita ternyata bangsa yang gamang dalam menghadapi sebuah kemungkinan kebenaran.

Buku Weiner memang pahit. Di situ dijelaskan, tak hanya Adam Malik yang menerima duit CIA. Tapi juga Masyumi, Majelis Syuro Muslimin Indonesia, partai tempat pahlawan kita Mohammad Natsir bernaung. Bagi warga eks Masyumi, atau partai yang mengaku sebagai pewaris Masyumi, ini jelas penghinaan.

Namun, sepahit-pahitnya fakta yang disodorkan Weiner tak seharusnya membuat kita jadi gelap mata, dan berniat menyensor atau membredelnya. Apalagi Legacy of Ashes bisa dipertanggungjawabkan. Weiner, sang wartawan The New York Times itu, sudah menjalankan prosedur jurnalisme yang paling penting: verifikasi.

Bahkan, Weiner tak mengutip sumber anonim atau tanpa identitas. Ini suatu hal yang langka bagi karya jurnalisme sekelas Legacy of Ashes. Weiner seolah mengajarkan kepada kita, bahwa karya investigatif tak selamanya didasarkan keterangan sumber anonim yang kadang bisa memicu persoalan dan gugatan terhadap wartawan.

Weiner memang tidak mewawancarai Adam Malik, karena sang tokoh sudah meninggal dunia. Namun, ia mengecek keterangan McAvoy kembali dengan dokumen CIA yang sudah dideklasifikasi. Satu hal lagi, Weiner tidak menuduh Adam Malik menjadi mata-mata CIA. Ia hanya memaparkan fakta sejarah dari perspektif CIA, badan intelijen Amerika Serikat yang memang suka ikut campur urusan dalam negeri orang lain.

Kami justru memandang karya Weiner bisa memperkaya pengetahuan sejarah tentang Peristiwa 1965 yang hingga saat ini masih kontroversial. Tak perlu marah-marah, karena boleh jadi apa yang ditulis Weiner justru benar. Tak perlu berang, karena bisa saja Weiner memang keliru. Siapa yang bisa menjamin kebenaran mutlak sebuah reportase? Weiner sendiri menyatakan berusaha keras agar karyanya mendekati kebenaran, bukan menjadi kebenaran.

Karya Weiner harus diperlakukan sama dengan karya-karya lain intelektual lainnya. Masih terbuka peluang apa yang ditulisnya dibantah oleh karya lain dengan didukung data dan fakta yang lebih kuat dan akurat.

Persoalannya, mampukah kita melakukannya?

Terus terang, selama ini, pengetahuan dan acuan kita tentang peristiwa 1965 lebih didasarkan pada sumber dan hasil kajian ilmuwan luar negeri. Sebut saja Cornell Paper yang begitu 'diagung-agungkan'.

Kita kesulitan menulis sejarah dari perspektif sendiri karena sulitnya data orisinal dari dalam negeri. Kita tak seberuntung warga Amerika Serikat, di mana dokumen negara secara berkala bisa dideklasifikasi dan dibuka untuk publik. Kita hanya bisa menyusun sejarah berdasarkan versi orang per orang. Akhirnya sejarah kita sebatas sejarah oral, dan jarang didukung dengan data dokumen yang kuat.

Jadi, seperti kata Tim Weiner dalam suratnya kepada reporter beritajatim.com, publik perlu diberi kesempatan untuk membaca buku yang tidak didasarkan pada sumber anonim dan didasarkan pada dokumen. Saat ini, itu yang paling mungkin kita lakukan untuk menunjukkan bahwa kita masih merdeka belajar dari siapapun. (*)

No comments: