15 December 2008

Menari di Atas Minyak

Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono tak ubahnya sedang menari di atas minyak. Ini bukan sekadar tarian kebijakan, tapi juga tarian politik. Setelah menaikkan harga bahan bakar minyak pertengahan tahun ini, menjelang tutup tahun 2008, SBY malah menurunkan harga kembali.

Berbeda dengan saat menaikkan harga, kebijakan menurunkan harga ini cenderung berjalan cepat, mulus, dan tanpa perdebatan. Bahkan, SBY sendiri yang mengumumkan penurunan harga itu.

Berbeda saat pengumuman kenaikan, yang dilakukan Menteri ESDM. Absah jadinya, jika kemudian orang memandang bahwa 'tarian di atas minyak' hanya untuk mendongkrak popularitas SBY menjelang Pemilu 2009.

Mau bagaimana lagi? Urusan minyak di Indonesia sebenarnya memang urusan politik. Semua presiden di Indonesia pernah menaikkan harga minyak kecuali di era Presiden BJ Habibie. Kenaikan harga BBM sejak zaman Soekarno hingga SBY sudah 37 kali.

Kenaikan dan penurunan harga BBM didasarkan fluktuasi harga minyak dunia. Sang juru bicara SBY, Andi Mallarangeng menulis di Harian Jurnal Nasional, "Harga BBM bisa turun dan turun lagi, tetapi kalau harga BBM dunia kembali naik... maka rakyat tetap terlindungi dengan adanya batas harga atas (plafon) itu." Plafon itu adalah Rp 6.000 per liter untuk premium, Rp 5.500 per liter untuk solar, dan Rp 2.500 per liter untuk minyak tanah.

Mallarangeng boleh saja menganggap pemerintah sudah berbuat adil, karena saat harga minyak dunia naik, pemerintah menaikkan harga BBM dalam negeri, dan saat turun, ikut pula menurunkan.

Namun, sejatinya, pola pandang tersebut menunjukkan betapa pemerintah SBY kadang seolah menyederhanakan persoalan. Cara pandang dalam penurunan minyak sama sederhananya dengan cara pandang dalam menaikkan harga.

Saat menaikkan harga minyak, pemerintah SBY menegaskan, sudah tak ada jalan lain, karena subsidi BBM membebani negara. Saat itu dilontarkan alasan, yang ironisnya diamini cendekiawan dan sejumlah media massa nasional bahwa subsidi BBM adalah subsidi salah sasaran.

Penikmat harga BBM murah adalah mereka kelas menengah yang memiliki kendaraan. Padahal, mereka yang menentang kenaikan harga drastis punya alasan masuk akal: kenaikan harga BBM akan memicu kenaikan harga di tengah menurunnya daya beli masyarakat.

Efek domino ini dari tahun ke tahun selalu gagal ditangani pemerintahan siapapun di Indonesia. Efek domino ini adalah kuasa pasar, kuasa 'tangan-tangan yang tak tampak'.

Efek domino ini yang pernah membuat Iwan Fals berteriak dalam lagu Galang Rambu Anarki di era 1980-an, saat pemerintah menaikkan harga BBM pula, "BBM naik tinggi, susu tak terbeli. Orang pintar cabut subsidi, anak kami kurang gizi."

Pemerintah SBY memang berjanji mengalihkan subsidi BBM untuk program yang lebih menyentuh kebutuhan masyarakat. Namun program pemerintah seperti bantuan langsung tunai (BLT) hanya membuat jutaan orang di Indonesia antre menjadi pengemis di kantor-kantor desa.

Dana operasional sekolah yang juga menjadi andalan tak cukup handal, karena kenyataannya sekolah-sekolah masih melakukan banyak pungutan. Sekolah selamanya bisa disalahkan, karena kebutuhan pendidikan pasca kenaikan BBM melonjak melebihi nominal bantuan pemerintah.

Kini, saat menurunkan harga BBM, pemerintah seolah melupakan logika sederhana yang pernah dikemukakannya sendiri. Ikut memakai logika pemerintah, maka sebenarnya yang menikmati penurunan harga BBM adalah kelas menengah yang punya kendaraan bermotor, dan jangan lupa, para pemilik kapital atau produsen.

Sementara itu, sama seperti efek domino kenaikan harga, pemerintah tak bisa mengendalikan agar harga komoditas di pasaran ikut turun. Pemerintah hanya berasumsi bahwa jika harga BBM turun, maka harga barang sedikit banyak akan ikut turun. Hal ini dikarenakan BBM merupakan salah satu komponen produksi.

Pemerintah agaknya lupa, di tengah krisis ekonomi global seperti ini, pengusaha juga harus banyak berhitung soal harga. BBM bukan satu-satunya komponen, karena ada komponen lain yang tak bisa dikendalikan. Oleh sebab itu, sejumlah kalangan pengusaha angkutan umum, misalnya, menolak jika tarif harus diturunkan pula, dengan alasan harga suku cadang tidak ikut turun.

Maka, masih ditunggu, apakah tarian SBY di atas minyak ini akan bisa berlanjut menjadi tarian kemenangan dalam pemilihan presiden. Menurunkan harga BBM tidak akan memberikan keuntungan politik signifikan kepada SBY, jika pemerintah gagal menangani sejumlah problem lain, seperti kelangkaan pupuk dan kelangkaan elpiji di tengah program konversi minyak tanah.

Apalagi jika ternyata krisis semakin berlanjut, harga tak juga turun, dan jumlah tenaga kerja yang dipecat semakin banyak, maka 'tarian' penurunan harga BBM akan dilupakan orang. Awas terpeleset, SBY! [bj2]

Tulisan ini pernah dimuat di SOROTAN beritajatim.com

No comments: