27 December 2008

Lima Tahun Pernikahan

Hari ini lima tahun pernikahan saya dengan Heni Agustini. Heni adalah adik kelas saya saat kuliah di Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Jember. Usia kami terpaut empat tahun. Saya Jawa, dia Madura. Saya dibesarkan dalam kultur Islam modernis, dia dalam kultur Nahdliyyin.

Kata orang, lima tahun adalah fase pertama membuktikan cinta. Saya tidak tahu apakah pernyataan itu benar. Yang jelas, lima tahun pernikahan kami adalah lima tahun yang luar biasa. Kami banyak belajar menghadapi hidup bersama-sama.

Saya menikah, begitu Heni lulus kuliah. Saya sudah mengontrak rumah, namun saya belum punya cukup uang untuk merenovasinya, sehingga layak ditempati. Lalu April 2004, datanglah badai pertama dalam hidup kami.

Setelah sejak tahun 2002 meliput berita politik di Jember, saya dipindahkan ke Biro Bondowoso. Bondowoso sebuah kota kecil, 30 kilometer dari Jember. Sebuah kota yang tenang. Kota pensiun.

Banyak yang menganggap pemindahan ini adalah pembuangan. Itu benar. Saya dipindahkan setelah menulis berita tentang kontroversi penggunaan komputer dan sarana informasi teknologi milik Komisi Pemilihan Umum oleh Desk Pemilu Pemerintah Kabupaten Jember. Itu terungkap dalam rapat redaksi kilat yang dipimpin Andung Kurniawan, General Manager Radar Jember.

Di Bondowoso, karir saya tak berkembang. Bondowoso terlalu tenang. Pemindahan saya ke Bondowoso membuat semua rencana kami berantakan. Kami pernah hanya memiliki uang 5.000 perak di saku dalam sehari. Tapi kami bertahan, dan hidup bersama keluarga Suroso, pegawai iklan Radar Jember, yang tinggal di kantor Biro Radar Jember.

Puncak badai itu terjadi Juli 2004. Belum lagi sebulan aku merayakan resepsi pernikahan, saya sudah dipaksa hengkang dari Ahmad Yani 99. Karir pertama saya di dunia jurnalistik dibunuh dengan alasan aku tidak masuk kerja tanpa izin. Sebuah alasan yang dibuat-buat, karena izin cuti dengan alasan resepsi pernikahan, saya utarakan sendiri di hadapan Andung Kurniawan.

Saya keluar dengan uang gaji Rp 270 ribu. Tapi saya keluar dengan kepala tegak. Saya yakin orang-orang yang menzalimi saya akan menuai badai di kelak kemudian hari (pada akhirnya, Andung memang dilengserkan dari posisi GM Radar dan menjadi redaktur biasa di Radar Surabaya, dan beberapa pegawai Radar dikeluarkan dengan tidak hormat oleh Jawa Pos).

Saya tak punya pekerjaan. Kami tinggal di sebuah rumah kos, dengan kamar yang gelap. Suram. Rumah kami masih harus direnovasi. Selain menghabiskan uang tabungan, saya harus meminjam uang dari orang tua dan mertua.

Syukurlah, saya diterima menjadi wartawan di Harian Suara Indonesia yang dipimpin Dhimam Abror Djuraid. Saya dua tahun bekerja sebagai reporter di Jember, dan merasakan bagaimana sebuah koran yang menhdapai sakratul maut. Saya sempat tidak menerima gaji selama berbulan-bulan, karena koran ini dililit hutang di penerbitan.

April - Mei 2006, saya bekerja untuk dua media, Harian Jatim Mandiri dan Beritajatim.com. Inilah pertama kali saya merasakan bagaimana tahun-tahun awal sebuah media dotkom. Hingga saat ini, saya masih bertahan di Beritajatim. Namun saya diberhentikan dari Jatim Mandiri dengan alasan yang tak pernah diberikan secara resmi: tidak bisa mencari iklan.

Dulu, sewaktu masih belum memiliki anak, kami selalu berkhayal, dua anak kami akan bermain bersama-sama di alun-alun Jember. Kini kami dianugerahi dua anak, Neo dan Marvel. Mereka anugerah terindah dalam hidup kami. Hari-hari kami tak pernah sepi.

Lima tahun pernikahan, kami memang pernah bertengkar. Kami pernah berselisih paham. Tapi itu tak membuat kami terpisah. Pertengkaran dan perselisihan bukanlah penyebab kami harus saling berjarak.

Suatu pagi sebelum saya berangkat kerja, Heni mencium bibir saya: 'Terima kasih telah menjadi suami yang baik bagi seorang istri yang cerewet'. Saya rasa saya juga harus berterima kasih bagi lima tahun yang luar biasa kepada istri dan anak-anak saya. Saya belum bisaq memberikan banyak untuk mereka. (*)

2 comments:

Eko Rusdianto said...

ini cerita menarik mas. saya juga punya niat menulis hal seperti ini tapi belum punya istri, hahahaha.

semangat. sekarang kegiatan apa mas. eh, ternyata bekerja diharian cukup merepotkan. apa yang dipelajari di pantau, sepertinya diabaikan.

semangat lagi dah..salam pada Neo dan Marvel. dan tentu istri tercintanya mas.

hidup adalah perjuangan, tapi hidup bukan perubahan..seperti sutrisno bachir.

andreasharsono said...

Salam untuk Heni. Terima kasih untuk undangan kalian tempo hari di Jember. Eh topi kamu masih ketinggalan di rumah keluargaku. Urusan arisan, tampaknya, diselesaikan diam-diam oleh para don di Jember. Rumahnya dijadikan jaminan hingga utang klenteng dibayar.