27 November 2008

Konsumen vs Media Massa

Sepuluh tahun menuai kebebasannya, kami berpendapat, pers menghadapi persoalan baru. Media massa kini lebih banyak disibukkan dengan persoalan internal yang berpotensi menjadi ancaman, seperti masalah pendanaan dan kualitas sumber daya manusia.

Kita tahu, di awal masa reformasi, banyak media tumbuh. Namun banyak juga yang mati, karena terlibas hukum pasar. Pada akhirnya, ada dua jenis media massa yang bisa bertahan: media massa yang tergabung dalam korporasi besar, seperti media yang tergabung dalam Jawa Pos Group, kelompok Kompas, Media Nusantara Citra, atau kelompok besar Media Indonesia.

Kedua, media medioker yang mengandalkan pangsa pasar tertentu, misalkan media massa lokal dengan pangsa lokal, media massa dengan ikatan ideologi tertentu atau partisan, dan media yang menyajikan berita tentang hiburan, hobi dan olahraga.

Dari sisi sumber daya manusia, wartawan merupakan salah satu jenis profesi yang paling longgar dalam hal kriteria. Profesi longgar lainnya adalah musisi. Tidak seperti profesi dokter atau advokat, tidak perlu mendapat pendidikan formal ilmu jurnalistik untuk bisa jadi wartawan. Seorang lulusan ilmu komunikasi maupun ilmu pertanian memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi seorang jurnalis handal.

Di satu sisi, kelonggaran dan keterbukaan ini sejalan dengan karakter demokratis yang disuarakan media massa. Kredonya: Anda bisa menjadi jurnalis asalkan Anda memiliki kemampuan melakukan prosedur jurnalisme dan kredibilitas. Bisnis media massa adalah bisnis kepercayaan. Sekali Anda ketahuan berbohong atau punya niat jelek dalam menulis berita, silakan keluar dari bisnis ini.

Namun di sisi lain, kelonggaran ini dimanfaatkan oleh banyak orang untuk mengeduk keuntungan pribadi dari praktik jurnalisme. Saat ini siapapun bisa mengaku sebagai wartawan, siapapun bisa mendirikan media massa. Hanya berbekal kartu pers, tanpa diimbangi kemampuan dan kredibilitas, wartawan-wartawan ini beredar ke mana-mana dan sebagian besar menciptakan keresahan, dengan memeras narasumber dan mengancam.

Di media massa arus utama, persoalan kredibilitas dan kemampuan menjalani prosedur jurnalistik juga tak jarang menjadi persoalan. Bahkan, persoalan ini bisa memicu protes dari publik sebagai konsumen media massa. Protes ini bisa hanya muncul dalam bentuk surat pembaca, somasi, gugatan hukum, hingga yang terpahit melalui jalan kekerasan.

Sementara, dalam menanggapi protes dari publik, awak media massa kadang tidak bijaksana. Hal ini yang dikritik oleh Tjuk Swasono dari Lembaga Konsumen Media (LKM).

Ia mengatakan media massa sulit menerima kritik. "Wartawan tidak cukup legowo. Kami berpendapat media massa dan konsumen harus hidup berdampingan," jelas Tjuk, dalam sebuah diskusi di Jember, Rabu (26/11/2008)

"Kami memberi pencerahan kepada seluruh elemen masyarakat agar lebih baik berperkara di pengadilan daripada melakukan aksi-aksi kekerasan terhadap media massa," kata Tjuk.

LKM mencoba memediasi konsumen yang merasa dirugikan media massa. Artinya, LKM mempunyai tugas ganda: mengawasi dan memberikan pendewasaan terhadap pelaku media massa, sekaligus mendidik konsumen media.

Dalam posisi ini, kami mendukung kehadiran lembaga konsumen atau pemantau media massa, tak hanya di perkotaan, namun juga di daerah-daerah. Bagi kami, lebih baik bersama-sama mengedukasi publik dalam berhadapan dengan media, daripada melakukannya sendirian.

Sayang, selama ini, jangkauan lembaga konsumen atau pemantau media massa hanya terbatas pada kota-kota besar, dan memantau media mainstream. Padahal, media massa lokal yang menjadi bagian dari korporasi besar kadang membutuhkan koreksi yang edukatif. Selama ini pertumbuhan media-media lokal yang menjadi bagian dari korporasi besar jarang diikuti peningkatan kualitas sumber daya manusia yang intensif.

Media massa lokal hanya dijadikan mesin pengeruk keuntungan bagi korporasi media. Padahal awak media massa lokal di berbagai daerah paling rawan berhadapan dengan konsumen tak terdidik yang berpotensi melakukan kekerasan. (*)

Tulisan ini pernah dimuat di rubrik Sorotan di Beritajatim.com

2 comments:

Anonymous said...

He..He..
Lantas pertanyaanya bagaimana dengan media berita jatim.com—tempat anda bekerja—. Apakah itu bukan semacam media massa lokal (chauvinistic mass-media, bahasa saya)? Walaupun media massa tersebut bisa diunduh di dunia internet.
Bos jangan lupa, bolog saya masukkan juga ke link anda…OK.

Eko Rusdianto said...

Lama juga tak meninggalkan jejak di bilik cantik ini. Salam Mas...