26 November 2008

Tujuh Pembunuh Media Massa

Era bredel yang dilakukan pemerintah otoriter sudah berakhir. Kini ada tujuh pembunuh yang mengintai dan bisa mematikan media massa.

Pembunuh pertama adalah premanisme. Aksi kekerasan terus-menerus yang dilakukan terhadap media massa yang dipicu pemberitaan, bisa memunculkan rasa tak aman. Tak semua media massa bisa tangguh menghadapi tekanan yang dilakukan organisasi massa.

Pembunuh kedua adalah partai politik. Partai politik bisa mengebiri media massa, dengan jalan menyumbat iklan politik yang menjadi salah satu 'darah' media. Partai politik yang menganggap sebuah media tak bersikap adil, bisa saja meminta kepada simpatisan dan penopang modal untuk menghentikan iklan bagi media bersangkutan.

Pembunuh ketiga adalah praktik pengadilan yang buruk. "Praktik pengadilan yang buruk hampir saja membunuh Tempo. Para hakim tak menggunakan undang-undang Pers," kata Tjuk Swasono, aktivis Lembaga Konsumen Media (LKM), dalam sebuah diskusi di Hotel Panorama, Rabu (26/11/2008).

Pemimpin redaksi atau wartawan yang dipenjara dijerat pasal pidana gara-gara berita, menurut Tjuk, boleh jadi gagah. Namun akan berbeda jika yang dijeratkan pasal perdata. Tuntutan imaterial terhadap media massa jumlahnya terserah si penuntut. Jika hakim tak cermat, maka putusannya bisa membuat media massa terbredel karena bangkrut.

Pembunuh lainnya adalah pemilik modal. Pemilik modal bisa saja mematikan media massa jika mau. Jika perusahaan media massa sudah terbuka atau go public, maka pembunuh kelima mengintai, yakni bursa saham. "Kalau pemilik saham mayoritas memutuskan menjual sahamnya semua?" kata Tjuk.

Negara pun bisa menjadi pembunuh dalam bentuknya yang lain. Inilah pembunuh keenam: undang-undang dan peraturan. Tjuk menyebut undang-undang intelijen, undang-undang konsumen, atau undang-undang pemilu berpotensi mematikan media massa.

Sebut saja UU Pemilu yang mengatur masalah iklan politik. Pemasangan Iklan politik menjadi pembicaraan, terutama saat disangkutpautkan dengan aspek keadilan.

Pembunuh ketujuh adalah konsumen sendiri. Konsumen bisa saja mematikan media massa tertentu, jika memutuskan untuk tidak lagi membelinya. "Konsumen yang punya uang. Jadi bisa memutuskan," kata Tjuk.

Namun, Tjuk memandang, dimatikan oleh konsumen masih terhormat. "Itu mati syahid," katanya. [wir/kun]

No comments: