03 November 2008

Eksekusi Mati Teroris

Ketegangan merayap di Nusakambangan. Hari eksekusi tiga terpidana mati bom Bali, Imam Samudera, Amrozi, dan Ali Ghufron, semakin dekat. Penjagaan di sejumlah instalasi penting ditingkatkan, menyusul kemungkinan serangan kawanan tiga teroris tersebut.

Eksekusi mati terhadap tiga terpidana tersebut merupakan keharusan, jika pemerintah ingin menjalankan undang-undang dan menjunjung tinggi keputusan hukum. Mengulur-ulur waktu eksekusi justru memunculkan efek kontraproduktif.

Kalau mau jujur, sebenarnya hukuman mati untuk tiga terpidana itu bukanlah keputusan mudah. Kasat mata, dari sisi kekejaman mereka melakukan teror, tidak ada kata lain, trio bomber itu harus dihukum mati.

Namun, dalam sejarah manapun di dunia, tidak ada cerita hukuman mati akan menyurutkan gerakan kelompok Islam garis keras. Di Palestina, sebut saja, semakin banyak pimpinan gerakan perjuangan Hamas dibunuh Israel, semakin kuatlah perlawanan mereka.

Boleh jadi, kematian satu atau dua orang yang dianggap tokoh kunci akan sedikit menggoyahkan gerakan mereka. Namun, pada dasarnya, kematian justru tak akan memadamkan gerakan mereka. Kematian adalah bensin yang menyiram semangat jihad mereka.

Dalam konteks yang berbeda, apa yang diyakini kelompok pejuang Islam Hamas yang melawan pemerintah zionis Israel, juga diyakini oleh kelompok Amrozi. Kematian yang dramatis (di ujung bedil pemerintah) justru akan menjadikan mereka ikon perjuangan.

Pencitraan Amrozi dan kawan-kawan sebagai ikon gerakan radikal semakin kuat, karena liputan media massa yang dilakukan begitu intensif dan massif. Sempat molornya jadwal eksekusi dalam waktu lama, memberikan kesempatan kepada Amrozi dan kawan-kawan mencitrakan diri di media.

Senyum mereka, keinginan untuk nikah lagi, bagi sebagian orang mungkin memuakkan. Namun bagi sebagian yang lain boleh jadi akan memunculkan persepsi tentang kekukuhan hati mereka memegang keyakinan dan prinsip. Apapun yang kukuh dan gigih selalu mempesona.

Namun palu hakim sudah diketuk. Tiga sekawan itu harus mati. Maka eksekusi wajib dilaksanakan sesegera mungkin. Berikutnya adalah bagaimana upaya pemerintah meredam gerakan radikalisme ini agar tak subur dan ngawur.

Radikalisme terkait dengan ketidakadilan. Selama ketidakadilan terhadap umat Islam di bagian lain di bumi ini dilakukan, maka radikalisme takkan kunjung padam.

Pemerintah Indonesia jelas kesulitan, bahkan mustahil, mencegah ketidakadilan yang terjadi di Palestina, umpamanya. Namun, pemerintah setidaknya bisa bersikap tegas dan menunjukkan simpati yang kuat terhadap umat Islam di belahan bumi lain yang ditindas.

Sikap tegas dan simpati kuat ini akan menjadi pesan bagi gerakan-gerakan Islam radikal di manapun, bahwa pemerintah Indonesia masih berada di garda depan gerakan perlawanan terhadap kolonialisme modern. Dengan demikian, gerakan Islam garis keras yang mengutamakan metode teror tidak akan menjadikan Indonesia sebagai sasaran empuk.

Sikap tegas ini tentu butuh keberanian seorang kepala negara. Sikap tegas, katakanlah terhadap kekejaman Israel dan kesewenangan Amerika Serikat yang dianggap setan besar oleh kelompok garis keras, tentu memunculkan konsekuensi: Indonesia akan menjadi sasaran empuk Negeri Paman Sam.

Namun, jika dulu seorang Soekarno bisa mengatakan tidak kepada Amerika Serikat dan tak mau diperbudak Moskow, kenapa sekarang tidak?

Satu modal penting untuk melunakkan gerakan garis keras sudah di depan mata. Indonesia menjadi mediator konflik antara Thailand dengan kelompok muslim di wilayah selatan negara itu. Keberhasilan proses mediasi ini bisa menjadi kampanye bagus, bahwa pemerintah Indonesia tidak memusuhi gerakan garis keras. Musuh Indonesia adalah ketidakadilan. (Dimuat dalam rubrik Sorotan di beritajatim.com)

3 comments:

Anonymous said...

Bgm dgn tertawanya amrozy?

Anonymous said...

betapa sulitnya menterjemahkan tertawa amrozy dalam kata-kata

Eko Rusdianto said...

saya bilang sama temanku, jika melihat trio beomber itu di telivisi angkatlah jempolmu.

Alasannya, idealisme, pemikiran, keyakinan itu harus konsisten.

Harapan: Semoga pemikiran mereka bisa ditiru wartawan, bekerja, dan menulis tanpa takut. Jika itu memang benar.

Catatan, saya tak setuju dengan pembom. Apa lagi teroris, plis deh.