31 October 2008

Caleg Eks Terpidana

Sejumlah calon anggota legislatif daerah pernah menjalani pidana penjara. Kejahatan mereka beragam, mulai dari penipuan, pemerasan, hingga korupsi.

Undang-Undang nomor 10 tahun 2008 mengatur bahwa orang yang pernah menjalani hukuman pidana berkekuatan hukum tetap dengan ancaman penjara minimal lima tahun tidak diperbolehkan mencalonkan diri sebagai anggota parlemen di semua tingkatan.

Atas dasar itulah, semua bakal caleg diharuskan melampirkan surat keterangan catatan kepolisian (SKCK) atau surat keterangan dari pengadilan. Dengan dasar surat ini, Komisi Pemilihan Umum bisa menentukan apakah caleg bersangkutan memenuhi syarat.

Sepintas aturan ini tampak mulia. Substansinya: rakyat harus dilindungi dari caleg yang bermoral bejat. Diasumsikan, seorang caleg haruslah bersih sejarah hidupnya, sehingga kelak gedung parlemen dipenuhi wakil rakyat berhati baik dan bijak bestari.

Namun asumsi di balik aturan ini mengandung kelemahan dan bertentangan dengan hakikat demokrasi yang melindungi hak politik setiap orang. Jika kita sepakat bahwa politik adalah upaya bagi semua orang untuk mencapai konsensus agar hidup berbangsa tertata, maka sudah seharusnya aturan yang melandasinya tidak memborgol hak asasi setiap orang.

Setiap orang yang sudah menjalani hukuman negara sebagai konsekuensi pelanggaran maupun kejahatan, seharusnya tidak lagi dibebani 'dosa ikutan'. Artinya, ketika seseorang sudah menjalani hukuman, maka dengan begitu, ia sudah menjalani proses normalisasi sebagaimana hakekat dari sebuah hukuman. Hak dan kewajibannya sudah harus disamakan dengan hak dan kewajiban warga negara lain yang tak pernah dihukum.

Jika kemudian, si mantan terpidana masih dihukum dengan kehilangan hak politik untuk mencalonkan diri, maka negara telah melakukan kesewenang-wenangan. Aturan yang melarang seseorang yang terancam hukuman pidana lima tahun untuk mencalonkan diri di parlemen, secara tak langsung menganggap bahwa orang tersebut memiliki cacat moral yang tak bisa diperbaiki. Pertobatan tak ada gunanya.

Dalam hal ini, negara melampaui Tuhan dalam menilai dosa dan kesalahan seseorang. Negara bertindak diskriminatif dan melanggar Undang-Undang Dasar. Pandangan kritis ini yang dimiliki Komisi Pemilihan Umum Daerah Jember, sehingga perlu repot-repot berkonsultais ke Mahkamah Konstitusi.

Padahal, tidak ada jaminan seorang bekas terpidana akan mengulangi kejahatannya saat masuk parlemen. Sama dengan tidak adanya jaminan seorang yang tak pernah dipidana tidak akan melakukan korupsi saat menjadi wakil rakyat yang terhormat.

Kalau memang negara ingin menyelamatkan rakyat dari caleg-caleg tercela, maka KPU harus mempublikasikan secara transparan setiap laporan resmi masyarakat yang masuk soal caleg. Jangan ditutup-tutupi dengan dalih apapun.

Jadi, kami mendukung penuh upaya Komisi Pemilihan Umum Daerah Jember yang akan berkonsultasi dengan Mahkamah Konstitusi, terkait dengan nasib sejumlah caleg mantan terpidana. Aturan diskriminatif memang harus dipertanyakan oleh siapapun, termasuk oleh penyelenggara pemilu sendiri. (Dimuat dalam rubrik Sorotan di beritajatim.com)

No comments: