02 May 2008

Etika Memberitakan Selebaran Gelap

Sebuah selebaran tanpa kejelasan pembuat atau pembawanya. Bagaimana seorang jurnalis memberitakannya? Saya berbeda pandangan dengan beberapa kawan.

Awalnya adalah setumpuk kertas selebaran setebal dua halaman yang diletakkan di meja makan kedai Bu Yuyun. Kedai ini berada di depan kantor Departemen Agama Jember, dan biasa menjadi tempat kongko para wartawan. Dua lembar kertas selebaran ditempelkan di dinding.

Tidak ada yang tahu siapa pembawa kertas-kertas itu. Tidak wartawan, tidak juga Bu Yuyun, si pemilik kedai. Kertas-kertas itu tergeletak begitu saja di atas meja. Cukup banyak. Si pembawa yang mungkin juga si pembuat agaknya ingin semua wartawan kebagian.

Saya baru tahu adanya selebaran itu saat Sri Wahyunik, seorang reporter harian Surya, datang ke Lembaga Pemasyarakatan membawanya. Ia menyodorkan beberapa lembar ke seorang kawan, dan mengantongi satu lembar untuk dirinya.

“Nggak tahu. Ada di meja,” kata Wahyunik saat ditanya.

Sejumlah reporter yang tengah meliput aksi istigosah pendukung ketua DPRD Jember Madini Farouq bergantian membacanya. Selebaran itu diberi kepala tulisan Info Internal. Di akhir tulisan ada nama Afton Ilman Huda, seorang mantan anggota DPRD Jember yang disebut sebagai koordinator Sekretariat Bersama Perjuangan Rakyat. Ini sekretariat yang didirikan para pendukung Muhammad Zainal Abidin Djalal saat pemilihan kepala daerah tahun 2005.

Isi selebaran itu harus diakui mengasyikkan. Bahasanya provokatif, namun tertata dan runtut. Secara garis besar isinya mengenai strategi dan taktik untuk membebaskan Madini Farouq yang kini tengah ditahan karena tersangkut perkara korupsi Rp 1,1 miliar, dan memberinya citra positif dalam pemberitaan media massa.

Selebaran itu mengingatkan bahwa Madini adalah salah satu pendukung Bupati Djalal saat pilkada. Disebut-sebut, Djalal akan berupaya membebaskan Madini dengan segala cara, termasuk dengan main sogok. Lalu, ada pembagian tugas di semua lini, mulai dari tokoh agama, akademisi, hingga wartawan untuk membersihkan citra Madini.

Semuanya gamblang. Vulgar. Transparan.

Afton Ilman Huda, saat saya konfirmasi, menampik dikatakan sebagai pembuat selebaran itu. “Saya malah tidak tahu isinya,” katanya.

Tak diragukan lagi, selebaran gelap ini menjadi salah satu variasi berita bagi peristiwa penahanan dua pimpinan DPRD Jember karena kasus korupsi. Siapakah yang membuat? Benarkah apa yang tertuang dalam selebaran itu adalah betul-betul cara membebaskan Madini? Ataukah ini hanya permainan salah satu musuh Madini atau bahkan pemerintahan Djalal untuk menjatuhkan nama mereka?

Pertanyaan bertebaran. Namun, saya tidak tertarik menjawab semua pertanyaan itu. Saya justru lebih terpusat pada perdebatan etika dan cara memberitakan sebuah selebaran gelap.

Keesokan harinya, Radar Jember (sebuah media massa lokal terbesar) mencetak selebaran itu lengkap. Selebaran itu di-scanning dan ditampilkan utuh.

Salah satu kawan wartawan bermaksud menuliskan secara terang apa yang tertulis dalam selebaran itu. Saya dengan tegas menyatakan tidak akan menulis secara detil isi selebaran itu. Saya katakan, hanya akan menulis peristiwanya: bahwa ada selebaran gelap mengatasnamakan Afton Ilman Huda, isinya secara garis besar bla bla bla, dan pernyataan Afton.

Kawan saya itu dengan nada menyergah, “Terus apa kepentinganmu?”

Saya memahami pertanyaan itu. Dalam situasi politik yang panas di Jember, seseorang bisa dengan mudah dituduh berpihak kepada kubu A, kubu B, kubu X, atau kubu Z.

Namun, kepentingan saya adalah tidak memberikan ruang kepada orang yang tak bertanggungjawab dan pengecut memanfaatkan media massa dan ruang publik, untuk menyampaikan sesuatu yang tak bisa diverifikasi.

Di mata saya, menulis secara detil dan gamblang sebuah selebaran gelap lebih tidak beretika dan berbahaya ketimbang menulis pernyataan bohong seorang narasumber anonim.

Bill Kovach, jurnalis senior Amerika Serikat, selalu menekankan untuk berhati-hati dalam mengutip sumber anonim. Seseorang yang tak ingin disebut namanya dalam media mempunyai dua kemungkinan: nyawanya memang benar-benar terancam jika menyampaikan keterangan kepada pers atau dia seorang pengecut yang ingin memanfaatkan pers untuk memburuk-burukkan pihak lain.

Maka, sebelum mencetak kata-kata sang sumber anonim, seorang reporter selalu ditekankan untuk melakukan verifikasi terhadap sumber-sumber lain secara independen. Minimal ada dua sumber independen yang mengatakan hal serupa dengan sang sumber anonim.

Seorang reporter diingatkan bahwa dengan menulis sumber tanpa nama, maka publik tidak bisa mengukur tingkat kepercayaan terhadap sumber tersebut. Lebih gawat lagi, tanggungjawab terhadap tingkat kebenaran pernyataan sang sumber anonim dibebankan kepada reporter yang menulis.

Ketika sumber berbohong dan itu tercetak di atas media, maka reputasi reporter dan media tersebut akan anjlok. Seorang wartawan The New York Times terpaksa meminta maaf, karena dimanfaatkan oleh sumbernya untuk menyiarkan alasan penyerangan atas Irak. Belakangan diketahui sang sumber sengaja berbohong.

Lebih cilakak tiga belas lagi, jika di kemudian hari sumber anonim tersebut menyangkal telah memberi keterangan bohong itu kepada sang reporter. Tanpa bukti, tanpa saksi, gugatan dari pihak yang merasa dirugikan akan langsung diarahkan ke jantung sang reporter.

Seorang kawan saya sempat dibuat bingung selama berhari-hari, karena harus melacak keberadaan seorang narasumber yang diberi atribut anonim olehnya. Ceritanya, kawan saya tersebut bertemu dengan sang sumber di warung dan bercakap-cakap mengenai pemberian tilang bagi pengendara sepeda motor yang tidak memasang bendera merah putih di kendaraan.

Sumber tersebut mengaku juga kena tilang saat berkendara sepeda pancal tanpa bendera merah putih di setang sepeda.

Ini berita menarik. Kawan saya itu dengan antusias menulisnya dan memberikan nama samaran kepada sumber tersebut, yang sialnya, dia sendiri tidak menanyakan lengkap identitas sejati sang sumber. Ia juga tidak melakukan verifikasi lebih lanjut.

Di tingkat editor, tulisan kawan saya itu lolos dan menjadi headline keesokan harinya. (Sesuatu yang tak saya pahami, mengingat editor sebagai palang pintu terakhir seharusnya jeli dan melakukan pengecekan fakta kepada si penulis.)

Jember heboh. Polisi marah besar, merasa disudutkan. Selama ini polisi lalu lintas sudah cukup menderita dianggap sebagai tukang palak jalanan. Kini, berita soal polisi menilang seorang pengendara sepeda pancal, membuat wajah mereka lebih buruk dan tak manusiawi.

Lalu berjalanlah hukum alam itu: objek berita memprotes editor, editor menekan reporter. Polisi minta nama sesungguhnya sumber tersebut. Sang editor yang lalai itu tak bisa memberikan nama, dan memerintahkan kawan saya untuk segera mencari dan kembali mewawancarai sumber tersebut.

Betapa malangnya kawan saya. Ia kebingungan. Berhari-hari, ia menunggu di warung tempat pertemuannya dengan sang sumber. Berharap ada peruntungan bakal ada pertemuan kembali. Namun nasib tak berpihak. Sang sumber hilang meninggalkan kehebohan belaka. Intelijen kepolisian yang konon juga mencari-cari si sumber tak menuai sukses.

Editor kawan saya itu lantas menuliskan permintaan maaf secara terbuka yang dimuat di halaman belakang. Tulisan itu tidak menuduh kawan saya pembohong (saya juga percaya dia bukan pembohong). Namun tulisan itu secara halus menimpakan kesalahan kepada sang reporter. Dan kenyataannya, memang tiada sanksi bagi editor yang lalai sebagai penjaga terakhir gerbang informasi.

Nah, jika sumber anonim saja sulit dipertanggungjawabkan, bagaimana pula dengan sebuah selebaran gelap. Bagi saya, sebuah selebaran gelap hanya berisi satu kemungkinan: dibuat oleh seorang pengecut.

Sebuah selebaran gelap bukan dokumen resmi yang bisa diverifikasi. Seorang reporter penerima selebaran gelap harus meningkatkan kewaspadaan seribu kali lipat sebelum menuliskan isinya.

Ini berbeda dengan cerita seorang jurnalis acara investigatif 60 Minutes di jaringan televisi CBS yang menerima satu kardus dokumen soal produksi rokok di Amerika Serikat dari seseorang tak dikenal. Ia tak butuh dengan sosok sang pengantar, karena inti persoalan ada pada dokumen tersebut. The point is the message not the messenger.

Saya memandang memberitakan secara detil isi selebaran gelap hanya membawa satu konsekuensi: menyediakan ruang bagi orang tak bertanggung jawab menyerang pihak lain, tanpa memberi kesempatan kita melakukan verifikasi ulang kepada sang pembuat selebaran dan mereka yang diserang.

Sebuah selebaran selalu menyisakan fakta sumir, untuk tidak mengatakan ini adalah fiksi yang dibuat seolah-olah fakta.

Memang, bisa jadi apa yang ditulis dalam selebaran itu benar. Namun seorang reporter harus bersikap kritis lebih lanjut: jika memang benar, kenapa pula sang pembuat tak berani membuat perjanjian wawancara anonim dengan wartawan. Jika memang benar pula, bisakah fakta-fakta yang tertulis dalam selebaran itu diverifikasi.

Maka intinya adalah: verifikasi dan pertanggungjawaban personal.

Saya berpendapat, sudah saatnya kita tidak memberi ruang bagi informasi yang tak bisa dipertanggungjawabkan. Ini juga bagian dari pendidikan terhadap pembaca. (*)

1 comment:

Eko Rusdianto said...

Selebaran gelap ya...

Puisi ya..,

Hehehehee..............,