30 April 2008

Persebaya: Misi Juara, Visi Pecundang

Jelaslah sudah. Persebaya memang dikelola tanpa visi yang jelas. Misi: juara. Visi: nol besar. Melihat perjalanan Persebaya Surabaya di awal musim ini, saya percaya tim ini hanya akan menyisakan nama besar.

Saya adalah salah satu dari sekian banyak orang yang berharap Persebaya akan menjadi tim profesional dan tidak lagi bergantung dari APBD. Saya percaya, kepeloporan Persebaya dinanti banyak orang, baik lawan maupun kawan. Pendukung maupun bukan.

Persebaya punya semua syarat untuk bisa menjadi tim profesional. Nama besar. Tradisi juara. Suporter yang luar biasa. Dan ini yang penting: berada di kota terbesar kedua di Indonesia.

Saya salah satu orang yang meyakini bahwa Persebaya akan bisa menggaet sponsor dalam jumlah besar. Saya bahkan hakkul yakin, bakal ada orang yang bisa membeli delapan puluh persen saham kepemilikan Persebaya, layaknya Liverpool yang dimiliki duet Amerika atau Chelsea yang dimiliki Abramovich.

Hati saya berbunga-bunga, saat mendengar Ketua Umum Persebaya Arif Affandi berhasil menggaet pengusaha besar. Jauh sebelum media massa memberitakannya, saya sudah mendapat kabar bahwa Arifin Panigoro adalah calon investor itu. Persebaya akan memasuki fajar baru.

Ketika saya membocorkan nama Arifin Panigoro dan Medco Oil Company kepada sejumlah kawan saya yang dikenal sebagai Bonekcyber, sambutan gembira langsung dikumandangkan. Para Bonek intelektualis itu langsung saling berkhayal komposisi tim musim depan.

Namun saya terlampau optimis. Rupanya menjadikan Persebaya tim profesional tak segampang makan pisang goreng. Hambatan terbesar justru berasal dari internal Persebaya. Klub-klub anggota berteriak, dan menggugat dengan alasan historis.

"Kami mau dikemanakan?"

"Ingat lho, klub adalah pemilik Persebaya."

Saya muak mendengar alasan historis yang dikemukakan. Persebaya bukan milik klub, tapi milik masyarakat Surabaya. Milik mereka, para suporter sejati yang berdarah-darah setiap musim hanya untuk mendukung kesebelasan ini.

Saya semakin panas hati saat tahu bahwa semua pertengkaran itu tak lebih persoalan 'jatah'. Arif Affandi, sang ketua umum, direcoki dengan alasan klub tak diajak bicara. Klub minta penjelasan.

Lalu damai. Di koran, sejumlah bos klub dan Arif bersalaman. Investor siap diperkenalkan. Konon, sudah delapan puluh persen.

Namun damai tak lama. Klub ribut lagi. Urusan masuk gedung DPRD Surabaya. Jadilah ini persoalan politik. Arif tak betah, dan ia menyatakan mundur dari jabatan ketua umum Persebaya.

Klub-klub terkejut. Terhenyak. Entah pura-pura atau sungguh-sungguh.

Saya mendapat cerita dari kawan saya di Surabaya, bahwa konflik di Persebaya tak lepas dari urusan politik. Lebih jelasnya persaingan menuju pemilihan walikota mendatang. Agaknya ada yang tak senang jika Arif berhasil merebut hati masyarakat dengan membuat Persebaya profesional.

Benar juga. Lagi-lagi urusan politik. Saya mulai kecut melihat nasib Persebaya.

Lalu klub memilih Saleh Ismail Mukadar sebagai orang nomor satu di Persebaya. Dia politisi ulung dari partai banteng moncong putih. Walikota Bambang Dwi Hartono yang separtai dengan Mukadar tersenyum senang.

Saya mencoba bersabar dan berharap baik kepada Mukadar. Kendati sejujurnya saya ragu. Apa yang bisa diharapkan dari seorang politisi?

Benar saja. Mukadar bekerja tanpa visi. Rencana menjadikan Persebaya perseroan terbatas menjadi kacau balau. Alasan: dia tak mau terburu-buru.

Lebih payah lagi, investor malas datang. Mukadar lagi-lagi mengulang lagu lama: minta pengusaha urunan setiap bulan untuk Persebaya. Malam pencarian dana digelar. Saya lebih suka menyebutnya Malam Pengemisan Dana.

Pengusaha diundang. Banyak yang tak datang.

Pertanda buruk.

Hasilnya: Rp 1,6 miliar. Alamak! (Anggaran Persebaya musim lalu Rp 17,5 miliar)

Namun Mukadar tak hilang akal. Ambil kuda-kuda, dan dengan percaya diri dia mempersoalkan larangan klub mendapat bantuan dari APBD.

Nah lo...lagu lama diulang lagi!

Hancur sudah hati saya. Beberapa Bonek Cyber sempat menanyakan pendapat saya soal Persebaya. Saya katakan dengan berat hati: saya sudah nggak minat ngomong Persebaya. Saya jengkel melihat Mukadar yang belum beres mengurus Persebaya sudah teriak-teriak meminta Nurdin Halid diganti. Mungkin di dekatnya tidak ada cermin.

Sejumlah kawan sempat senang karena Persebaya bisa mendatangkan Freddy Mulli sebagai pelatih dan beberapa pemain jempol. Mereka mulai optimis. Tapi tidak dengan saya. Saya terbiasa melihat sesuatu dalam jangka panjang. Persebaya boleh saja berani merekrut pemain. Namun kompetisi adalah perjalanan panjang. Klub ini butuh duit banyak untuk bisa maju terus.

Tanda-tanda Persebaya berada dalam bencana sudah tampak saat duit menipis untuk kontrak pemain. Hati saya meremang. Sedih.

Hari ini saya baca di media massa, manajemen Persebaya mulai berharap dari papan reklame di pinggir lapangan dan mendekati perusahaan biskuit. Dari papan reklame setahun diharapkan bisa mendapat Rp 1,5 miliar, dari perusahaan biskuit berharap Rp 900 juta satu musim.

Saya ikut senang. Namun hati ini tetap miris, karena langkah manajemen Persebaya terkesan sporadis dan tidak tertata.

Saya berdoa Persebaya melewati musim ini dengan selamat dan menjadi juara, lalu naik Superliga. Tapi saya lebih berdoa: tidak ada lagi politisasi di Persebaya. (*)

1 comment:

Eko Rusdianto said...

Saya termasuk orang yang senang nonton bola. Entah bola basket, bola voli, bola sepak, bola tenis, sampai bola-bolaan (penendang dan penjaga gawang dalam kamar, wwwwhahahahhhahaaa...).

Tapi selama saya tahu nonton bola, menontonnya masih bisa dihitung jari. Nonton di stadion baru sekali, itu pun untuk lihat bagaimana orang-orang berkelahi dalam jumlah banyak.

Tapi itu untuk liga silat (Liga Indonesia), kalau Liga Eropa pasti saya doyan nonton. Tim pavoritku MU dan Juventus.

Nah, sekarang untuk Mas Oryza yang bonek abis, berusaha berubah itu baik. Saranku jangan nonton Liga Indonesia, jangan pavoritkan salah satu tim. Saya dari Makassar tapi tidak suka PSM.