07 April 2008

Surat dari S di Kota K

Kawanku, apa kabarmu? Lama kita tak jumpa. Apakah kau masih setia dengan jurnalisme? Setia dengan nilai-nilai yang hendak kita perjuangkan, agar semua orang mendapatkan hak untuk mengakses informasi?

Kawan, ternyata tak mudah untuk setia kepada jurnalisme. Di kota ini, memperjuangkan jalan jurnalisme seperti berjalan di atas api. Kami bekerja di sebuah perusahaan media massa dengan gaji kecil. Jika kau hanya mengandalkan gaji sebagai jurnalis dari perusahaan, maka hampir bisa dipastikan kau kesulitan.

Maka pilihan lain, jurnalis di kota ini harus memiliki kerja sampingan, mulai dari yang hitam, abu-abu, hingga putih. Di sini, kamu bisa menjadi tukang peras para pejabat, menjadi tim sukses bagi politisi, atau kerja sampingan menjadi tukang ojek, tukang jual koran, atau pegawai negara. Setiap pekerjaan memiliki konsekuensi berbeda. Satu hal yang sama: ketika jurnalisme diduakan, maka jurnalisme telah separuh gagal.

Tapi kami tak berdaya, setidaknya aku tak berdaya, kawan. Siapa yang sanggup memperbaiki kondisi ini? Kamu dulu pernah berkata untuk berharap dari organisasi jurnalis. Tapi di kota ini, organisasi jurnalis lebih sibuk bersaing dan mencemburui rekannya ketimbang bertindak nyata, dan hanya mengandalkan slogan.

Ada yang mengatakan, gaji kecil sebagai jurnalis adalah risiko. Kalau tidak mau menanggung risiko itu, maka tidak usah bekerja sebagai jurnalis.

Saya tidak tahu apakah harus tertawa atau menangis mendengar perkataan ini. Seorang tentara yang mati di medan perang: itu risiko. Seorang petualang seks mati kena AIDS: itu risiko. Seorang jurnalis diteror karena tulisannya: itu baru risiko.

Gaji tak layak bukan risiko. Gaji adalah masalah hak yang harus dipenuhi, tak terkait dengan risiko. Seorang yang berkata gaji kecil adalah risiko kerja jurnalis, terdengar seperti kepanjangan lidah kapitalis yang pelit. Kapitalis yang selalu berdalih seribu macam untuk menghindari hak pekerja.

Kawan, di kota ini, aku juga harus menghadapi kenyataan bahwa perusahaan media massa di sini lebih mendahulukan warna bendera daripada profesionalisme. Ada dikotomi biner: kami dan mereka. Jika kau bukan orang kami, maka kau adalah mereka. Jika kau tak sewarna dengan kami, maka kau bukan kami.

Ada perusahaan yang mengganti jurnalis yang keluar hanya dengan jurnalis lain yang sewarna dengan jurnalis pertama. Jurnalis yang dianggap berwarna lain haram masuk. Andai kamu jurnalis tak becus, kamu masih bisa masuk asalkan sewarna ketimbang jurnalis becus tapi berbeda.

Maka, kawan, izinkan aku bertanya: jurnalisme model apa yang ditegakkan di atas sektarianisme?

Kota ini juga menghadirkan jurnalis yang lebih mencintai intrik daripada pekerjaannya. Aku tidak tahu, apakah aku yang terlampau lugu. Namun, di kota K, jurnalis yang bekerja dengan baik tak selamanya selamat.

Di sini, jurnalis yang bekerja lebih baik diharuskan mengalah kepada jurnalis lain atas nama kebersamaan.

Jika kau jurnalis yang bekerja lebih baik dan mendapatkan penghargaan lebih besar karena profesionalismemu, maka kau harus bersedia membagikan penghargaan itu kepada jurnalis lain yang kadang tak becus bekerja. Semua atas nama kebersamaan.

Jika kamu berhasil mencapai sesuatu yang lebih baik, maka kamu harus bersiap mendengarkan rumor jurnalis lain yang menudingmu menempuh jalur tak halal. Mereka bisa juga menjatuhkanmu. Kadang aku bertanya: mereka ini jurnalis atau politisi.

Jurnalis di sini lebih banyak bicara ketimbang bekerja. Lebih banyak main intrik ketimbang menulis.

Kadang, kawan, aku tak yakin jurnalisme bisa berjalan baik di kota K. Namun di saat itu juga aku selalu mengingat katamu: jurnalisme memang sulit, tapi ia harus ada karena ia adalah suluh di tengah malam yang berangin.

Salam hormatku untukmu dariku,

S

1 comment:

Anonymous said...

Assalaamu'alaikum (bila anda Muslim...)

Saya salut dengan perjuangan S, mempertahankan ideologinya sebagai jurnalis (mudah-mudahn akan selalu terpelihara kemurniannya)

Tapi, ada satu pelajaran yang pernah saya baca di sebuah artikel.

Apabila ideologi itu akan mencekik leher kita, anak-anak kita, istri-istri kita dan keluarga kita yang lain, selama itu tidak menentang aturan Alloh, apa salahnya mundur satu langkah untuk kembali melanjutkan 1000 langkah ke depan.

Bukan berarti saya mengajak sampean untuk meninggalkan dunia jurnalis, tapi di Indonesia ini masih banyak kota selain kota K. Bila semua kota di Indonesia ini sudah pernah sampeyan explore dunia jurnalisme-nya, itu beda cerita.

Yang penting menurut saya, pure pengabdian kepada Alloh, itu yang patut diperjuangkan. Karena Dia yang menghidupi kita dan semua yang ada. Baik yang dicintai maupun yang dibenci.

Wassalam (bila anda muslim...)
andri