04 April 2008

Nyai Sadi’ah

Nyai Sadi’ah meninggal dunia di Senin sore, jam setengah tiga, pengujung Maret lalu. Tak ada yang tahu persis usianya. Delapan puluh. Sembilan puluh. Konon, hampir seratus tahun. Panggilan nyai adalah panggilan hormat dalam kultur Madura bagi orang yang dituakan.

Hidup Nyai Sadi’ah berwarna. Sejarah hidupnya adalah sejarah orang tertindas. Heni Agustini, istriku dan cucu Nyai Sadi’ah, bercerita soal ini kepadaku. Nyai Sadi’ah pernah dirampas haknya atas tanah waris oleh kerabatnya sendiri. Ia ditipu. Tak berdaya. Tak bisa melawan.

Namun, Nyai Sadi’ah tidak mau menyerah. Ia berjanji tidak akan meninggal sebelum melihat semua musuhnya mati lebih dulu. Ia menyimpan sakit hati itu.

Ia memenuhi janjinya. Semua orang yang pernah melukainya mati satu per satu. Alamiah memang. Namun Nyai Sadi’ah punya waktu untuk melihat bahwa apa yang dirampas darinya tidak membawa sejahtera bagi sang perampas.

Terakhir, ada satu kerabat yang melukainya sempat meminta maaf kepada Nyai Sadi’ah. Saya tidak tahu apakah Nyai Sadi’ah memaafkan. Kerabat yang bersalah itu meninggal. Seorang anak generasi yang lebih muda tidak mau memanfaatkan tanah yang dirampas dari Sadi’ah. Ia tahu tanah itu dikuasai keluarganya melalui sekian tipu culas.

Nyai Sadi’ah punya lima anak. Namun ia memilih lebih banyak tinggal di rumah Sadi, putri bungsunya di Situbondo, sebuah kabupaten yang tak jauh dari Jember. Ia hidup bersama dua cucunya, Heni Agustini dan Dewi Agustini.

Suatu kali Heni pernah berkata kepada Nyai Sadi’ah: “Nyi, jangan keburu meninggal dulu. Tunggu aku menikah.”

Nyai Sadi’ah tak menjawab. Namun, ia memang tidak meninggal dulu, dan melihat Heni menikah denganku, medio 2003.

Aku senang melihat Nyai Sadi’ah. Ia mengingatkanku dengan Eyang Putri, nenekku yang sudah meninggal. Gigi Nyai Sadi’ah sudah meranggas. Saat tersenyum, ia memamerkan kempot pipi. Aku selalu senang dengan senyum yang selalu menyambut kedatanganku ke Situbondo. Tulus.

Dewi menjadi cucu kesayangan Nyai Sadi’ah. Nyai Sadi’ah seperti seorang advokat saat Dewi dimarahi ibu dan bapak. “Anak masih kecil kok dimarahi,” katanya.

Sejak lebaran, aku tak pernah bertemu Nyai Sadi’ah. Ia kini lebih banyak tinggal di desa Silo, di rumah salah satu anaknya. Istriku bersama anakku, Neo, ke sana satu atau dua kali. Nyai Sadi’ah sakit. Matanya berkatarak. Namun sebelum matanya rabun betul, ia masih sempat melihat Neo, dan tersenyum.

Heni bahagia melihat Nyai Sadi’ah bisa bertemu Neo. Ia percaya, hari tua Nyai Sadi’ah lebih bahagia karena bisa bertemu dengan cucu dan cicitnya.

Kami biasanya membawakan Nyai Sadi’ah buah anggur saat menjenguk ke Silo. Tradisi itu tetap kami jaga, hingga suatu hari ia dalam kondisi kritis. Napasnya kembang kempis. Orang-orang sudah membacakan ayat-ayat suci Al quran, mengelilinginya. Lalu kondisinya lebih membaik.

“Nyai mendingan, setelah diberi minum dari orang-orang yang ngaji,” kata Heni.

Namun nyawa pada tubuh manusia punya perilaku tak ubahnya baterai yang hendak kehabisan energi. Sebuah baterai ketika hendak kehabisan energi biasanya justru menunjukkan energi yang bisa membuat kita mengira baterai itu belum habis. Saat dipasang di radio, nyala radio sesaat lebih kuat daripada sebelumnya Tapi setelah itu sunyi. Energi baterai habis. Radio itu mati.

Nyai Sadi’ah meninggal. Aku dan Heni bergegas ke Silo Senin sore itu juga dengan taksi. Saat kami tiba, jasadnya tengah dimandikan. Aku tidak melihat tangis. Anak-anak kecil, cicit-cicitnya, bermain-main.

Neo mulanya agak rewel. Namun beberapa saat kemudian, ia sudah bisa beradaptasi dan bermain dengan sepupu-sepupunya. Ia berlari ke sana kemari. Mengejar ayam-ayam yang kebingungan menjelang senja. Menjerit-jerit.

Prosesi pemakaman dilaksanakan sebelum isya. Aku tidak bisa menghitung berapa orang yang mengantarkan jenasah Nyai Sadi’ah. Tapi lumayan banyak juga. Kami berjalan sekitar 200 – 300 meter, melewati jalan desa yang belum diaspal. Hujan baru turun, lumpur di sana-sini. Mulut kami membacakan doa.

Lubang kubur Nyai Sadi’ah berada di naungan pepohonan, terutama bambu. Saat jasadnya yang terbungkus kafan diturunkan ke dalam lubang itu, aku mendengar isak tangis. Ada kerabatku yang menangis. Tapi Dewi mengisak paling keras, walau tak intens.

Aku beberapa kali mengikuti acara pemakaman. Pemakaman memang selalu mengharukan. Ada getar, bahwa kelak kita semua mati juga. Tapi bagi kerabat, getar yang sesungguhnya adalah kenangan. Kita menangis karena mengenang yang mati, bukan karena takut terhadap mati.

Butuh kurang lebih 25 menit, hingga semua prosesi pemakaman usai. Prosesi ditutup dengan doa, setelah semua pengantar jenasah mengamini bahwa Nyai Sadi’ah adalah orang baik.

Dalam tradisi masyarakat, doa dan tahlil akan dilakukan selama tujuh hari berturut-turut. Heni meminta izin untuk mengambil sejumlah uang di tabungan, untuk membantu pelaksanaan tahlil.

“Yang datang biasanya banyak, Say. Kalau yang datang jauh-jauh, biasanya diberi jajanan, makannya lauk daging (sapi),” kata Heni.

Aku setuju.

Aku membayangkan, berapa banyak uang yang dikeluarkan untuk menggelar doa dan tahlil. Bagi keluargaku yang dikaruniai rezeki berkecukupan oleh Tuhan, mungkin beban tak terlalu berat. Namun bagi kerabatku di Silo, aku tak bisa membayangkan. Mereka bukan orang yang mampu. Ada beberapa di antara mereka secara ekonomi lebih mampu dari yang lain. Namun itu bukan berarti masuk kategori sangat mampu.

Lalu aku teringat Suherman Rosyidi, pamanku. Orang yang tak begitu mengenalnya pasti mencapnya fundamentalis. Aku pernah mendapat cerita, ia pernah menolak dengan terang-terangan makanan dari keluarga yang berduka. Aku tak tahu persis alasannya. Namun, aku menduga, ia tak mau membebani keluarga yang tengah berduka. (*)

No comments: