14 April 2008

Kritik Andreas, Pujian Linda

Andreas Harsono menelponku, Rabu siang. Ia agaknya sudah membaca artikel Peruntungan Joey, Kesialan Joey yang dimuat di www.pantau.or.id. Dengan terang-terangan, ia menyatakan tidak sreg dengan artikel itu.

“Kamu tidak kritis terhadap Mark Bowden,” kecamnya.

Kritik Andreas lumayan menyengat. Aku garuk-garuk kepala.

“Kamu sudah baca buku dia soal interogasi tawanan?” Andreas mengatakan, Bowden memperbolehkan penggunaan kekerasan dalam menginterogasi tawanan yang diduga teroris.

“Bukan buku, Mas. Itu artikel. The Dark Art of Interrogation,” kataku.

“Ah, ya benar. Artikel majalah Atlantic Monthly.”

Aku menjelaskan bahwa artikelku adalah resensi buku Finders Keepers. Buku itu adalah buku pertama Bowden yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Buku itu juga buku yang berbeda dengan buku Bowden lain yang berisi politik, perang, dan perang terhadap kejahatan.

Namun Andreas bersikukuh, seharusnya aku lebih kritis. Tidak mudah jadi wartawan. Kami berbicara agak lama di telpon. Andreas juga menyinggung soal kekerasan yang dilakukan Israel terhadap warga Palestina.

“Saya tidak keberatan dengan negara Israel. Tapi cara dia menduduki tanah milik Palestina, itu menjadi suatu masalah buat saya,” demikian kira-kira Andreas.

Kritik Andreas bagiku menyenangkan. Selalu menyenangkan jika sebuah artikel mengundang reaksi pembaca: positif atau negatif, kritik atau pujian.

Seingatku, Peruntungan Joey, Kesialan Joey adalah artikelku di Pantau yang mendapat respons dari Andreas maupun Linda Christanty, editor utama Pantau. Ada juga respons dari Eko Rusdiato, kolegaku di Pantau Jakarta.

Eko mengirim pesan pendek: “Ampun saya. Seperti menjadi Bowden. Luar biasa. Salut, tulisan mas cakep sekali. Angkat tanga saya, seperti FK yang sederhana…”

Sementara Linda melalui surat elektronik mengucapkan selamat atas kesabaranku menanti jawaban surat dari Bowden.

“Oryza yang baik, selamat ya, Oryza sudah berhasil memperoleh jawaban Bowden dan itu juga merupakan hasil dari kesabaran Oryza. Kesabaran, seperti halnya ketelitian, adalah hal yang amat penting bagi wartawan.”

“Ibaratkan juru kamera yang mengabadikan perkembangan kepompong jadi kupu-kupu untuk saluran tentang alam di televisi, wartawan juga harus punya sikap dan stamina yang sama. Tapi bagaimana dengan wartawan yang bekerja di harian? Selain sabar, harus juga cepat kali ya? Hahahahaha....”

“Mungkin analoginya yang tepat adalah wartawan harus seperti elang, sabar dalam mengintai sasaran dan begitu saatnya, langsung menyambar dengan cepat. Hahahahaha....”

Wartawan harus seperti elang yang siap menyambar. Saya suka analogi itu. (*)

1 comment:

Anonymous said...

saya juga membacanya. hah, gila, panjang kaliii...