05 December 2007

Wawancara dengan Bondan Winarno
Karya Saya Tidak Diakui Lembaga Pers Indonesia

Sejak lama saya penasaran dengan karya Bondan Winarno berjudul Bre-X: Sebungkah Emas di Kaki Pelangi. Buku itu disebut-sebut sebagai buku babon jurnalisme investigatif wartawan Indonesia. Bondan bahkan sempat diundang Pantau – sebuah yayasan yang mengurusi jurnalisme – untuk bercerita soal bukunya. Andreas Harsono, wartawan investigatif asal Jember juga menyebut-nyebut Bondan dan bukunya dalam tulisannya.

Apa istimewanya ini buku sih? Saya penasaran. Tanya sana-sini, tidak ada yang punya. Buku ini terbit tahun 1997, dan kemudian tak tahu rimbanya. Lalu saya mencoba untuk menanyakan sendiri kepada Bondan. Saya mendapat alamat emailnya dari kawan baik saya, Hartin Rozaline. “Pak Bondan orangnya ramah,” kata Lin, sapaan akrab Hartin.

Saya pun nekat melayangkan surat elektronik kepadanya. Isinya: minta dikirimi buku soal Bre-X itu. Jawaban dari Bondan membuat hati seperti terguyur es. Ia setuju, dan menganggap kiriman itu sebagai solidaritas sesama wartawan. Saya pun mengganti ongkos kirim sekadarnya.

Begitu buku itu datang, saya pun langsung melalap habis. Saya terpesona. Saya terhanyut. Menurut saya, buku Bondan seperti menggabungkan jurnalisme investigatif dengan gaya naratif yang memikat. Ada suspense.

Lalu saya memutuskan untuk mewawancarai Bondan via surat elektronik. Saya ingat, Juli 2007 bertepatan dengan 10 tahun terbitnya buku itu. Saya ingin memperingatinya dengan cara sendiri: menuliskan resensi panjang dan bernas untuk Bre-X. Ini sebagai penghormatan saya kepada Bondan.

Ternyata, Bondan menjawab semua pertanyaan saya. Dari hasil wawancara ini, saya kemudian mengembangkannya dalam tulisan panjang untuk situs jurnalisme Pantau dan versi pendeknya untuk beritajatim.com, tempat saya bekerja.

Versi asli (unedited version) yang saya kirimkan untuk Pantau bisa dibaca di blog ini pula. Begitu pula versi berita yang muncul di situs www.beritajatim.com. Berikut wawancara saya dengan Bondan selengkapnya.


10 Tahun silam Buku anda Bre – X: Sebungkah Emas di Kaki Pelangi terbit. Saat itu apa yang melandasi terbitnya buku itu?
Saya terpicu menulis setelah mendengar berita bahwa Michael de Guzman terjun bunuh diri dari helikopter. Menurut saya hal itu sangat tidak mungkin. Tiga hari kemudian saya dengar berita bahwa mayatnya ditemukan. Ini merupakan probability yang sangat jarang.
Ada pesawat hilang di Kalimantan yang oleh para penerbang dijuluki sebagai broccoli forest saking rapatnya pepohonan, dan sampai sekarang pesawat itu tidak ditemukan. Kok tiba-tiba jenazah yang begitu kecil dapat ditemukan dalam waktu singkat? Kondisi tubuh yang dideskripsikan dalam berita itu juga tidak cocok dengan kondisi tubuh seseorang yang jatuh dari ketinggian 800 feet.
Dari sepotong info ini saya membuat satu kesimpulan berdasar professional skepticisme bahwa semua cerita ini adalah palsu. Karena itu saya sangat berminat melakukan investigasi.
Waktu itu saya bekerja sebagai presiden direktur di sebuah perusahaan yang sedang mengalami saat sepi bisnis. Lalu, saya putuskan menggunakan dana pribadi untuk melakukan investigasi. Boleh dikata: sebuah keisengan mumpung tidak sibuk.

Anda butuh waktu berapa lama untuk melakukan investigasi?
Seingat saya, total waktu investigasi sekitar 4 minggu. Naskah sudah selesai saya tulis 8 minggu setelah mulai investigasi, dan dicetak dalam waktu 2 minggu.

Berapa narasumber yang harus Anda tembus untuk menulis buku itu?
Saya lupa jumlah persisnya. Sekitar 30 orang, baik di Jakarta, Samarinda, Balikpapan, Busang, Manila, Toronto, Calgary. Yang jelas, saya dua kali ke Busang, sekali ke Manila, dan sekali ke Toronto dan Calgary di Canada.

Kesulitan apa yang anda hadapi saat melakukan reportase dan menulis buku ini?
Terutama karena saya waktu itu tidak terikat dengan media mana pun, sehingga sulit menembus beberapa narasumber yang selalu minta keterangan resmi dari media pers. Tetapi, saya menggunakan sopan santun dan kerendahan hati dalam melakukan investigasi, sehingga banyak pihak yang bersedia bicara.
Terus terang, munculnya artikel saya di The Asian Wall Street Journal tentang kasus ini membuat banyak pintu terbuka. Mereka menduga saya ahli tambang, karena tulisan itu memang cukup komprehensif.

Buku Anda sudah dianggap sebagai buku babon investigasi Indonesia dan dianggap berharga karena sudah tak ada di pasaran. Apakah tidak ada keinginan menerbitkan lagi?
Ada trauma dalam diri saya. Seperti Anda ketahui, sesaat setelah buku terbit, saya dituntut Rp 2 triliun oleh mantan Mentamben I.B. Sudjana yang menuduh saya mencemarkan nama baiknya. Dia hanya berani menuntut saya karena tidak berkaitan dengan media mainstream.
Padahal, di pengadilan saya buktikan betapa media mainstream (termasuk KOMPAS dan TEMPO) memakai bahasa caci maki yang cukup keras di media mereka. Buku saya memakai bahasa yang lebih santun. Saya kalah dalam dua pengadilan – pidana dan perdata – dan diputus untuk memuat iklan pernyataan maaf sebesar 1 halaman di 16 koran nasional.
Tetapi, yang paling membuat saya terpukul adalah adanya tuduhan bahwa saya menulis buku itu karena dibayar oleh Kuntoro Mangkusubroto yang kemudian menjadi Mentamben.
Saya sakit hati. Banyak pejabat yang menduga wartawan itu kere dan tidak punya duwit, karena itu tidak mungkin seorang wartawan membiayai sendiri investigasi sekaliber itu. Tuduhan ini sangat meyakitkan.
Saya juga sudah menerjemahkan naskah itu ke bahasa Inggris dan sudah disunting oleh Wendy Thomas (Canada). Tetapi saya urungkan penerbitannya karena tidak bersedia menghadapi lembaga peradilan yang korup di Indonesia. Untuk masalah buku ini saya sudah hilang banyak uang.

Apakah Anda tidak berniat membuat sekuel buku itu, seperti John Hersey dengan Hiroshima: Aftermath?
Tidak. Saya merasa tidak ada gunanya. Ketika saya disidang untuk buku ini, saya tidak dapat dukungan dari media Indonesia. Teman-teman saya di Bank Dunia saja ketika itu mau mengumpulkan uang untuk membiayai ongkos perkara, tetapi saya menolaknya. Saya khawatir dituduh yang bukan-bukan lagi.
Padahal, ketika TEMPO bermasalah dengan Tomy Winata, saya jadi ketua untuk gerakan Pers Melawan Premanisme. Karya saya tidak diakui oleh lembaga pers Indonesia. Buat apa?

Jika anda membuat sekuel buku itu, kira-kira apa yang hendak anda gali kembali? Mengapa?Kalau saya benar-benar menganggur dan tidak punya urusan lain, saya akan mencari Michael de Guzman. Saya punya beberapa lead menuju ke sana. Michael telah menyengsarakan begitu banyak orang (khususnya pensiunan) di Canada karena memakai semua tabungan mereka untuk membeli saham Bre-X.

Setelah 10 tahun buku Anda yang monumental dalam jurnalisme investigatif, bagaimana Anda melihat perkembangan jurnalisme investigatif di Indonesia?
Saya tidak menganggap buku saya itu monumental. Mungkin saja yang baik/kompeten di antara yang belum ada. Ukurannya terlalu nisbi. Pembandingnya tidak ada. Plis deh, jangan bikin saya besar kepala.

Mengapa anda memandang demikian?
Terus terang hanya TEMPO yang saya anggap punya kemampuan melakukan investigasi, dan menggarapnya secara apik pula. Yang lain masih belum menunjukkan gigi mereka. Kalau kita mandeg ketika yang lain maju, secara realitas sebetulnya kita mundur.

Saat ini anda lebih dikenal sebagai pakar kuliner. Apakah tidak ingin menanggalkan dunia kuliner dulu untuk terjun lagi ke reportase investigatif?
Saya selalu tertantang untuk menjadi the best. Maaf bila ini terdengar sombong atau arogan. Dulu saya dianggap the best dalam tulisan manajemen. Tetapi, ketika mulai bermunculan penulis-penulis manajemen lain, saya undur diri.
Sekarang saya anggap telah mencapai the best dalam tulisan kuliner (dan show kuliner). Pada saatnya – cepat atau lambat – saya juga akan undur diri dari dunia kuliner. Entah apa yang akan saya kerjakan nanti. Saya toh sudah pensiun dan hanya mencari kegiatan demi kehidupan kedua yang berbeda dengan masa sebelumnya.

Saran anda untuk wartawan Indonesia, terutama reporter atau koresponden di daerah, yang ingin menekuni jurnalisme investigatif?
Dedikasi, dedikasi, dedikasi. Seorang wartawan jangan bercita-cita jadi kaya. Saya tidak menjadi kaya karena kewartawanan saya, melainkan karena hal-hal lain yang saya kerjakan dalam koridor etika dan kejujuran.
Seorang wartawan investigasi memikul beban yang lebih berat. Bukan saja karena pekerjaan ini penuh risiko, tetapi juga menuntut kecerdasan di atas rata-rata. (*)

4 comments:

Anonymous said...

Saya suka pertanyaan dan pernyataan di akhir. Mantaps! Viva jurnalis lokal... ;-)

Anonymous said...

Saat mengajar, saya selalu merekomendasikan mahasiswa saya untuk membaca karya Pak Bondan ini.

Bagi saya, karir Pak Bondan begitu sempurna. Setelah menyusun buku yang hebat ini, dia sekarang menikmati hidup dengan jalan2 dan menyantap makanan enak. Benar2 mak nyusss....

Salam hormat saya untuk Pak Bondan

Anonymous said...

hai hai hai... apa kau mengingatku brother kaka' tingkat? huehue...

yo opo kabarmu ndesz? masih di tanah aer tumpah darah jember tercinta sepertinya...


herry dwipa, bandung

Anonymous said...

tetap sehat, tetap sehat dan tetaplah sehat...