06 January 2017

Persebaya, Bonek, dan Sejarah Perlawanan

“Apa yang menjadi misi kita? Apa?" "Membalikkan sejarah!" (Pertanyaan Manajer Persebaya Agil Haji Ali yang dijawab para pemain Persebaya, jelang final kompetisi perserikatan 1987-1988 di Jakarta)

“Cak, aku budal.”

Sebuah pesan via BlackBerry Messenger mampir ke ponsel saya dari Muche Muhammad, salah satu Bonek dari Kabupaten Jember. Dia bersama enam orang kawannya bertolak ke Bandung untuk memantau jalannya kongres PSSI, 8 Januari 2017.

“Aku berangkat sama arek-arek Simo dari Surabaya, Cak. Setahuku dari Jember ada 15 orang yang estafetan,” kata Muche. Estafetan adalah kosakata khas Bonek, yang mengacu pada aktivitas berangkat ke sebuah kota dengan berganti-ganti tumpangan truk. Bonek ‘estafetan’ ini biasanya mencegat truk di tepi jalan hingga satu titik tertentu dan nebeng di bak belakang. Kalau beruntung, mereka bisa mendapatkan truk yang satu tujuan.

Saiful Antoni, dirijen di tribun utara stadion, memperkirakan ada tiga ribu orang Bonek yang mengalir ke ibu kota Jawa Barat. Semuanya satu tujuan: memastikan Persebaya diakui PSSI setelah selama bertahun-tahun ditekan dan menjadi eksil dalam sepak bola Indonesia.

Ketua Umum PSSI Edy Rahmayadi memang telah berjanji akan memutihkan nama Persebaya. Namun dia tak memberikan jaminan dan kepastian, karena semua diserahkan kepada pemilik suara (voter). Alih-alih kasih kepastian, Edy malah menunjukkan tabiat lama penguasa sepak bola: mengancam akan mencoret Persebaya bola jika Bonek berunjuk rasa di Bandung.

Namun Bonek tak beringsut. “Kami di sana mendukung kongres, bukan rusuh,” kata Andi Peci, juru bicara Bonek.

Bonek enggan dikibuli. Saat berunjuk rasa di Jakarta, Agustus 2016 silam, Bonek ditemui salah satu anggota Komite Eksekutif PSSI Toni Apriliani yang berjanji akan mengesahkan Persebaya dalam kongres pada November 2016. Namun ternyata, dalam kongres tersebut, mayoritas pemilik suara menghendaki nasib Persebaya dan enam klub yang bermasalah dibahas dalam kongres di Bandung.

Bonek berang. Tak ada alasan bagi PSSI untuk tidak mengakui Persebaya. Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia sudah memberikan hak nama dan logo kepada PT Persebaya Indonesia pada medio September 2015. Persebaya juga memenangkan gugatan melawan PT Mitra Muda Inti Berlian pada Juni 2016.

Bonek dan Persebaya memang layak mendapat bab tersendiri dalam buku sejarah panjang sepak bola Indonesia. Kini mereka identik dengan kisah heroik yang menegaskan betapa pentingnya sepak bola di negeri ini.

Berdiri pada 18 Juni 1927, klub ini adalah salah satu pendiri Persatuan Sepak Bola Indonesia pada 1930. Namun Persebaya pula yang jadi satu-satunya klub yang hendak dihapuskan dalam sejarah yang dibangunnya.

Awalnya adalah sebuah pertandingan sepak bola di Stadion Brawijaya, Kediri, medio Agustus 2010. Ini pertandingan yang menentukan antara Persik Kota Kediri melawan Persebaya Surabaya dalam kompetisi Liga Super Indonesia musim 2009-2010. Juara sudah ditahbiskan: Arema Indonesia. Jadi pertandingan ini hanya pertandingan sisa yang tak dilirik banyak orang. Namun takdir menentukan, inilah pertandingan yang akhirnya mengubah wajah sepak bola Indonesia hari ini.

Persebaya tinggal butuh hasil imbang untuk mengamankan satu tiket play-off agar terhindar dari degradasi ke Divisi Utama. Sementara Persik harus menang telak, setidaknya selisih lima gol agar bisa mendapat tiket play-off. Sesuatu nyaris mustahil. Pelita Jaya menanti hasil dua tim itu. Persebaya kalah dengan skor berapapun, klub milik keluarga Bakrie itu yang melenggang ke play-off berhadapan dengan peringkat keempat Divisi Utama, Persiram Raja Ampat untuk merebut satu tiket Liga Super.

Ribuan Bonek, suporter Persebaya Surabaya, mengalir ke Kediri. Pertandingan mendadak dibatalkan. Panitia pelaksana tidak mendapat izin keramaian dari kepolisian. Regulasi Badan Liga Indonesia menyatakan, kegagalan menggelar laga kandang berimplikasi pada sanksi terhadap tuan rumah. Tim tamu dinyatakan menang 3-0. Hal ini pernah dialami Persija Jakarta yang gagal menggelar laga melawan Persiwa Wamena.

Namun tunggu dulu, sesuatu yang ganjil terjadi. PSSI tidak memberikan kemenangan otomatis kepada Persebaya. Federasi masih memberikan kesempatan kepada Persik untuk menggelar laga kandang. Kali ini, laga kandang dipindahkan ke Jogjakarta. Namun lagi-lagi panitia pelaksana gagal menggelarnya. Sanksi tak langsung dijatuhkan. Persik diberi kesempatan menggelar lagi pertandingan itu. Kali ini Stadion Brawijaya kembali jadi alternatif.

Beberapa hari sebelum pertandingan itu, tersebar pesan berantai melalui BlackBerry dan media sosial. Isinya singkat tapi heroik: ‘kosongkan Surabaya, hijaukan Kediri’. Maka ribuan Bonek mengalir dari berbagai kota di Jawa Timur menuju Stadion Brawijaya. Mereka memprotes PSSI dan tak ingin pertandingan digelar, karena seharusnya Persebaya berhak mendapat tiga angka gratis. Di sana, pertandingan ternyata kembali batal digelar.

PSSI mengambil keputusan: pertandingan ulang digelar di Palembang. Kali ini Persebaya menolak hadir. “Kami lelah dizalimi,” kata Manajer Persebaya Gede Widiade saat itu. Tim berjuluk Bajul Ijo itu pun dinyatakan kalah 0-3 dan terdegradasi. Pelita Jaya bertahan di Liga Super.

Perlawanan pun pecah. Persebaya memilih menyeberang ke Liga Primer Indonesia yang merupakan breakaway league bersama klub Liga Super lainnya, yakni Semen Padang, PSM Makassar, Arema Indonesia, Persema Malang, dan Persibo Bojonegoro. Belakangan semua klub itu dijatuhi sanksi. Namun hanya Persebaya yang terang-terangan direplikasi atas restu PSSI yang diketuai Nurdin Halid.

Persebaya versi PSSI diketuai Wisnu Wardana, seorang politisi. Klub ini bermain di Divisi Utama, selevel lebih rendah dibandingkan Liga Super. Para pemainnya diambilkan dari klub Persikubar Kutai Barat.

Dualisme ini membuat Persebaya kesulitan memperoleh izin menggelar pertandingan Liga Primer tahun 2011. Dengan alasan keamanan, Kepolisian Daerah Jawa Timur mensyaratkan kepada PT Persebaya Indonesia yang menaungi Persebaya agar mengubah nama. Manajemen pun memilih nama Persebaya 1927 tanpa mengubah nama ‘Persebaya’ di akta notaris. Sementara nama Persebaya tanpa embel-embel apapun digunakan tim replika yang direstui Nurdin.

Bonek menunjukkan cara sendiri untuk melawan. Mereka menolak menonton langsung Persebaya versi PSSI di stadion Gelora 10 Nopember dan memilih memadati pertandingan Persebaya 1927. Alhasil, pertandingan Persebaya versi PSSI selalu sepi, bahkan saat tiketnya digratiskan sekalipun.

Terpilihnya Djohar Arifin menjadi Ketua Umum PSSI pada 2011 mengubah peta. Kini kompetisi Liga Primer yang diikuti Persebaya 1927 diakui. Bonek berharap PSSI segera memberikan pengakuan. Namun ternyata rezim Djohar justru meminta agar ada merger antara Persebaya dengan klub tandingan versi Wisnu. Gagal. Persebaya tandingan justru memilih bergabung dengan klub-klub Liga Super dalam naungan federasi tandingan bernama Komite Penyelamat Sepak Bola Indonesia (KPSI). Belakangan Persebaya tandingan ini dikelola PT Mitra Muda Inti Berlian.

Persebaya sempat menjadi runner-up kompetisi Liga Primer Indonesia musim 2011-2012. Namun rezim Djohar tak bertahan lama. Tahun 2013, islah yang dimotori FIFA membuat orang-orang KPSI kembali menguasai federasi. FIFA mengamanatkan rekonsiliasi. Namun setelah Liga Primer dihentikan di tengah jalan, PSSI tidak melibatkan Persebaya dalam proses unifikasi liga. PSSI lebih mengakui Persebaya tandingan versi PT MMIB daripada Persebaya yang dimiliki PT Persebaya Indonesia.

PSSI memutuskan sepuluh klub Liga Primer berhak ikut play-off untuk memperoleh tempat dalam Liga Super Indonesia. Sementara Persebaya 1927, Persibo Bojonegoro, Persema Malang, dan Arema Indonesia tidak diikusertakan.

Sejak saat itu, Persebaya 1927 menjadi tim antah-berantah dalam sepak bola Indonesia. Bajul Ijo dilarang berkompetisi dan mengikuti turnamen sepak bola nasional. Sejak itu pula ribuan Bonek mengosongkan stadion, melipat spanduk dan syal, mengikuti ‘kematian suri’ klub kebanggaan mereka. Persebaya versi PSSI masih berkompetisi dan naik kasta ke Liga Super. Namun mereka gagal menarik Bonek untuk memadati stadion.

Absen nonton sepak bola di stadion, Bonek justru melakukan konsolidasi dan bergerak di jalanan. Aksi protes terhadap PSSI tak hanya dilakukan di tanah air, tapi juga di luar negeri. Brian de Almas bersama tiga kawannya warga Indonesia membentangkan spanduk bertuliskan bahasa Inggris dan Jerman dengan dibubuhi kalimat Save Persebaya 1927. Spanduk berisi permintaan agar PSSI dibersihkan dari mafia itu dibentangkan di luar Stadion Wembley jelang laga final Liga Champions antara Bayern Muenchen melawan Borussia Dortmund, 25 Mei 2013.

“Selama PSSI tidak memperhatikan Persebaya yang asli, aksi akan terus berlangsung. Akan ada aksi lanjutan,” kata Brian saat itu. Spanduk itu dikirimkan ke Swiss.

Beberapa Bonek dengan dibantu pendukung sepak bola setempat berunjuk rasa di depan kantor Konfederasi Sepak Bola Asia (AFC) di Kuala Lumpur, Malaysia, 11 November 2013. Mereka menuntut berbicara dengan pejabat AFC dan memberikan selembar Manifesto 10 November. Salah satu isi manifesto itu adalah tuntutan agar legalitas Persebaya, Arema Indonesia, Persibo, dan Persema diakui dan tidak dicoret dari proses unifikasi liga.

Budiono, Bonek yang tinggal di Swiss, juga membagikan lembaran-lembaran Manifesto 10 November kepada sejumlah undangan Ballon d’Or di Zurich sebelum mereka memasuki ruangan, 13 Januari 2014. Sebelumnya, pada 23 Desember 2013, ia pernah mengajak istrinya mengenakan topeng Guy Fawkes, tokoh revolusi di Inggris, untuk membentangkan spanduk yang dibawa Brian di London.

Perjuangan Bonek juga berdarah-darah. Andi Peci sempat dibacok orang tak dikenal. Beberapa Bonek juga sempat menjadi korban pengeroyokan sekelompok orang. Namun semua aksi kekerasan itu tak membuat Bonek mundur. Aksi unjuk rasa Bonek kian hari kian masif. Tidak ada pemimpin formal sebagaimana kelompok-kelompok suporter sepak bola di Indonesia. Bahkan Andi hanya berani menyebut kepemimpinan di Bonek berbentuk presidium. “Itu pun hanya untuk kepentingan formal seperti menyampaikan pemberitahuan aksi ke aparat kepolisian atau berkirim surat ke lembaga resmi lainnya,” katanya suatu kali.

Aksi-aksi massa Bonek di jalanan kontradiktif dengan citra mereka sebagai kelompok supporter yang berangasan. Aksi ribuan massa di Surabaya dan Jakarta senantiasa clean sheet alias tak berujung pada kerusuhan besar-besaran. Aksi paling berpotensi rusuh tentu saja aksi pada 18 April 2015, saat Kongres Luar Biasa PSSI digelar di Hotel JW Marriot, Surabaya. Orasi mereka keras dan kasar. Yel-yel mereka provokatif. Tapi semua berakhir damai.

"Saya sulit menjelaskannya. Tapi saya melihat teman-teman menangkap esensi, bahwa memperjuangkan aspirasi dengan kekerasan, hanya akan merugikan perjuangan itu sendiri," kata Andi Peci.

Aksi perlawanan selama sekian tahun agkanya sedikit-banyak mengubah perilaku Bonek. Generasi baru Bonek lebih teratur. Saat parade Bela Persebaya, akhir Desember 2016, bunga-bunga dan tanaman di taman kota dan jalur hijau Surabaya tak rusak sedikit pun, kendati hari itu ada ribuan orang Bonek berjalan kaki meneriakkan harapan untuk klub mereka. Mereka tetap menggunakan kereta api sebagai alat transportasi utama antarkota. Namun kali ini dengan membayar tiket dan tidak menjadi penumpang liar.

Komando gerakan dipusatkan di Wisma Persebaya, di Jalan Karanggayam Nomor 1, Surabaya. Markas Persebaya itu tak pernah sepi dari Bonek. Sementara itu konsolidasi dan penyebaran informasi aksi melalui jaringan media sosial seperti Facebook dan Twitter. Tagar yang sempat populer di media sosial adalah #SoerabaiaMelawan dan #BelaPersebaya.

Medio Agustus 2015, mereka mulai memanfaatkan radio streaming untuk menyebarkan pesan-pesan perjuangan. Andi mengatakan, ide pembuatan radio sudah lama dibahas bersama. Mahalnya ongkos untuk memiliki stasiun radio dengan kanal frekuensi resmi mengurungkan niat itu. Mereka akhirnya memilih radio streaming yang berbasis internet karena lebih murah dan efektif. “Lagipula hari ini sebagian besar Bonek sudah punya gadget,” jelasnya.

Tembok-tembok di jalanan menjadi alat untuk menyebarkan propaganda. Jika Anda memasuki Surabaya, mudah sekali menemukan mural bertuliskan ‘Persebaya’, kalimat-kalimat heroik dalam bahasa Indonesia atau Inggris, atau makian terhadap PSSI. Belakangan, spanduk dan baliho tuntuan pengakuan terhadap Persebaya itu tersebar di berbagai sudut kota dan kampung-kampung. Sebagian baliho dan spanduk justru dibikin dengan bantuan dari pemerintah tingkat kecamatan. Di sejumlah kota di Jawa Timur seperti Pasuruan, Sidoarjo, dan Mojokerto, spanduk dukungan untuk kebangkitan Persebaya juga muncul.

Aksi perlawanan Bonek sebenarnya semula diabaikan dan diremehkan. Dalam perdebatan di Forum Diskusi Sepak Bola Indonesia (FDSI), sebuah laman Facebook khusus sepak bola, tak sedikit yang percaya perlawanan itu tak akan bertahan lama. Mana ada suporter sepak bola yang kuat tak ke stadion selama bertahun-tahun. Namun Bonek membuktikan, bahwa sepak bola bukan sekadar urusan nonton dan mendukung dari tribun stadion.

“Kalau belum bisa seperti Bonek, lebih baik tidak usah sok-sokan melawan PSSI, daripada klub kita diperlakukan seperti Persebaya,” kata Helmi Atmaja, seorang suporter PSIS Semarang dan salah satu pendiri FDSI, saat kami bertemu di Jember beberapa waktu silam.

Perjuangan selama bertahun-tahun ini tak ubahnya resonansi yang membangkitkan simpati kelompok suporter lain yang bahkan berseberangan dengan Bonek. Spanduk-spanduk dukungan untuk Persebaya terpampang di Stadion Agus Salim di Padang, Manahan di Solo, Mattoangin di Makassar, dan sejumlah kota lainnya.

Aksi ‘Geruduk Jakarta’ tahun lalu menjadi momentum solidaritas tersebut. Para Bonek yang berangkat ke Jakarta dengan model estafet, yakni berpindah tumpangan dari satu truk ke truk lain, diterima dengan tangan terbuka di Lamongan, Semarang, dan beberapa kota lainnya. Mereka dijamu dengan makanan ala kadarnya, sehingga tak kelaparan di jalan. Di Jakarta, suporter Persija Jakmania yang secara tradisional bermusuhan dengan Bonek justru ikut membantu dan tak mengusik mereka.

Bandung menjadi rute perjuangan selanjutnya. Tujuannya jelas: ‘Mari, Bung, rebut (Persebaya) kembali’. Atau seperti kata almarhum Agil: ‘membalikkan sejarah’.

Kronologi Perjuangan Persebaya

Tahun 2009 PT Badan Liga Indonesia mengesahkan Persebaya Surabaya di bawah PT Persebaya Indonesia menjadi peserta kompetisi Liga Super Indonesia musim 2009-2010.

2010

- Pertandingan Persik Kediri melawan Persebaya tiga kali gagal digelar, dan pada kesempatan keempat Persebaya dinyatakan kalah WO 0-3 karena menolak hadir di Palembang.

- Persebaya terdegradasi ke Divisi Utama dan menyeberang ke kompetisi breakaway Liga Primer Indonesia yang diprakarsai Arifin Panigoro.

- PSSI yang diketui Nurdin Halid merestui pembentukan Persebaya tandingan yang diketuai Wisnu Wardana untuk berlaga di Divisi Utama.

2011

- Persebaya Persebaya berubah nama jadi Persebaya 1927 untuk menyiasati perizinan laga LPI dari kepolisian.

- Djohar Arifin terpilih menjadi ketua umum PSSI. LPI disahkan menjadi kompetisi resmi dan diputar dari nol.

- Bukannya mengesahkan dan mengembalikan hak keanggotaan Persebaya versi PT Persebaya Indonesia, Djohar malah meminta klub tersebut bergabung atau merger dengan Persebaya tandingan versi Wisnu Wardana.

- Sebagian pengurus PSSI dan klub-klub sepak bola menolak LPI dan membentuk Komite Penyelamat Sepak Bola Indonesia (KPSI). Mereka tetap memutar Liga Super.

- Persebaya tandingan bergabung dengan KPSI.

2012

- Persebaya menjadi runner-up kompetisi LPI musim 2011-2012.

- Persebaya tandingan berlaga di Divisi Utama KPSI dan dikelola PT Mitra Muda Inti Berlian.

2013

- Kongres PSSI kembali digelar untuk menyatukan kubu yang bertikai dengan disupervisi FIFA dan AFC.

- Kompetisi LPI terhenti separuh musim

- Kongres PSSI tidak mengakui Persebaya versi PT Persebaya Indonesia.

- Unifikasi liga tidak melibatkan Persebaya versi PT Persebaya Indonesia.

2014

- Aksi unjuk rasa Bonek mulai membesar dan melibatkan ribuan orang. Salah satunya aksi protes yang berlangsung damai di depan Hotel Shangri-la, Surabaya, tempat penyelenggaraan kongres tahunan PSSI.

2015 - La Nyalla Mataliti terpilih menjadi ketua umum PSSI

- PT Persebaya Indonesia menggugat Persebaya tandingan versi PT Mitra Muda Inti Berlian secara hukum di Pengadilan Negeri Surabaya pada bulan Maret.

- Badan Olahraga Profesional Indonesia (BOPI) menolak keikutsertaan Persebaya PT MMIB dalam Piala Presiden karena masih berstatus sengketa.

- PT MMIB menggugat putusan BOPI di Pengadilan Tata Usaha Negara dan kalah.

- Menpora membekukan PSSI karena masih ngotot menyertakan Persebaya tandingan dan Arema dalam kompetisi walau sudah dilarang ikut serta karena secara legalitas dianggap lemah.

- PT MMIB mengubah Persebaya menjadi Persebaya United dan mengalami empat kali pergantian nama selama Piala Presiden. Terakhir, nama berubah menjadi Bhayangkara Surabaya United dan dikelola Kepolisian RI.

- Kementerian Hukum dan HAM memberikan hak nama dan logo Persebaya kepada PT Persebaya Indonesia.

2016:

- PT Persebaya Indonesia memenangkan gugatan di Pengadilan Negeri Surabaya pada bulan Juni.

- Pssi menggelar kongres di Ancol, Jakarta, pada bulan Agustus. Ribuan Bonek menggeruduk Jakarta dan menuntut pengakuan terhadap Persebaya.

- Toni Apriliani, salah satu Komite Eksekutif PSSI, berjanji mengesahkan persebaya pada kongres berikutnya yang digelar pada November.

- Kongres 10 November mengesahkan Edi Rahmayadi sebagai ketua umum PSSI. Namun, PSSI menunda pembahasan nasib Persebaya hingga Januari 2017 dalam kongres tahunan di Bandung.

- Edi Rahmayadi datang ke Surabaya dan bertemu Bonek dan manajemen Persebaya, pada Desember.

2017

- Bonek berangkat ke Bandung memastikan nasib Persebaya dalam kongres tahun tanggal 7 Januari. [oryza a. wirawan]

No comments: