14 January 2016

Seribu Wajah Radikalisme Islam

Gerakan Islam radikal adalah wajah yang selalu berubah dalam setiap zaman. Tak selamanya keras, tapi juga tak selalu menampakkan wajahnya yang ramah. Namun represi negara memiliki peran untuk mentransformasi wajah itu menjadi lebih beragam, lebih jamak.

Di negara ini, sejak mula, Islam selalu menjadi api perlawanan terhadap apa yang disebut sebagai penindasan. Kita tahu di awal 1900-an, Islam menjadi perekat gerakan kebangsaan melalui Sarekat Dagang Islam yang kemudian menjadi Sarekat Islam. Budi Utomo boleh saja digadang-gadang oleh sejarah versi Orde Baru sebagai gerakan kebangsaan pertama. Namun, tidak bisa ditolak, SI adalah akar gerakan kebangsaan dan perlawanan terhadap penjajah Belanda.

Awalnya adalah Kampung Peneleh di Surabaya. Zaman Bergerak karya Takashi Shiraishi menunjukkan dengan terang benderang, bagaimana SI menjadi rahim bagi gerakan yang lebih radikal. Hadji Oemar Said Tjokroaminoto, Bapak SI, memiliki tiga murid yang berguru di rumahnya di sebuah gang di Peneleh yang kelak menjadi tokoh tiga gerakan ideologis: Soekarno (nasionalisme), Semaoen (komunisme), Sekarmadji Maridjan Kartosuwiryo (Islamisme).

Kelak, ketiganya dalam buku sejarah Orde Baru dikenal sebagai orang-orang yang tragis. Soekarno turun secara tak terhormat dari kursi kepresidenan pasca Gerakan 30 September. Semaoen dicap dengan stempel hitam sebagai dedengkot Partai Komunis Indonesia yang diharamkan. Dan Kartosuwiryo akan selalu dikenang sebagai penganjur negara Islam yang melakukan perlawanan terhadap pemerintah melalui gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia.

Hari ini, nama Kartosuwiryo terdengar lebih nyaring, setelah gerakan-gerakan Islam yang menginginkan pendirian negara Islam tumbuh subur. Sebagian gerakan melakukan aksi teror. Ada kalanya kita dengan salah kaprah menganggap gerakan-gerakan ini sebagai 'anak keturunan' gerakan Kartosuwiryo.

Kartosuwiryo memproklamasikan Negara Islam Indonesia saat Indonesia masih berusia muda. Awalnya adalah kekecewaan terhadap Perjanjian Renville 17 Januari 1948, yang memaksa tentara dan pasukan perjuangan rakyat mundur di belakang garis Van Mook. Pengusul bentuk negara Islam ini sebenarnya bukan Kartosuwiryo, melainkan Kasman, Komandan Teritorial Sabilillah, laskar milisi yang dibentuk Masyumi.

Maka meletuslah perlawanan itu. Kontak pertama antara Tentara Islam Indonesia dengan tentara republik terjadi pada 25 Januari 1949. Gerakan Kartosuwiryo ini memang hanya terlokalisasi di Jawa Barat. Namun, di kemudian hari, NII Kartosuwiryo berhasil merangkul Daud Beureueh di Aceh dan Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan. Keduanya dikecewakan oleh janji pemerintahan Sukarno yang tak tertunai.

Kartosuwiryo tewas ditembus peluru pada September 1962 di Teluk Jakarta. Gerakan Darul Islam dan NII pun tercerai berai. Ia berubah menjadi 'organisasi hantu'.

Orde Lama tutup buku, Orde Baru datang. Komunisme gulung tikar, dan Rezim Suharto menjadikan Islam politik sebagai musuh baru. Tokoh-tokoh Masyumi dilarang berpartai, sehingga M. Natsir dan kawan-kawan melanjutkan perjuangannya dengan mendirikan Dewan Dakwah Islam Indonesia. Partai Islam dibonsai menjadi Partai Persatuan Pembangunan, dan dimandulkan saat berhadapan dengan Golkar.

Pada masa yang, meminjam istilah Bung Karno, 'vivere pericoloso' alias nyerempet-nyerempet bahaya ini, gerakan Islam ideologis bertransformasi. Gerakan Islam ideologis ini tak terkait dengan gerakan Kartosuwiryo. Jika Kartosuwiryo tumbuh dari kalangan non santri dan tidak dipengaruhi gerakan Islam di Timur Tengah, gerakan Islam ideologis baru yang tumbuh di kalangan anak muda kampus ini lebih berkiblat ke Mesir dan Arab Saudi.

Anak-anak muda ini memusatkan gerakan di masjid-masjid kampus. Mereka tidak selalu dari keluarga santri atau Nahdliyin. Sebagian malah dari keluarga sekuler, dan gerakan ini awalnya dipelopori oleh aktivis-aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). HMI dikenal sebagai organisasi mahasiswa Islam modernis, yang pada masa Orde Lama disebut-sebut memiliki kecenderungan dekat dengan Masyumi. Mereka membaca buku-buku intelektual Islam dari Iran dan Mesir macam Murtadha Muthahari, Ali Syariati, Hasan Al Banna, Sayd Quthb, atau Muhammad Quthb.

Orde Baru sepertinya tak terlalu menganggap gerakan dakwah di masjid-masjid kampus ini sebagai cikal bakal bahaya. Gerakan intelijen Operasi Khusus yang dipimpin Ali Murtopo sepertinya masih lebih suka memperhatikan dan bahkan bermain api dengan sisa-sisa gerakan Darul Islam.

Operasi Khusus menyusup ke dalam Komando Jihad, sebuah gerakan yang dipimpin Dodo Mohammad Darda bin Kartosuwiryo, anak Kartosuwiryo. Opsus melihat Komando Jihad bisa dimanfaatkan untuk mendukung Golkar, partai pemerintah, pada pemilu 1971. Namun kedekatan Opsus dengan Komando Jihad berseberangan dengan Leonardus Benny Moerdani, Wakil Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin) saat itu.

Sementara pemerintah bermain-main dengan Komando Jihad, gerakan dakwah kampus semakin meradikal. Anak-anak HMI yang masih menguasai jaringan kampus melakukan perlawanan terhadap penerapan asas tunggal. Nama seperti Toni Ardi, ustadz yang kritis dan keras, lahir dari rahim HMI. Abu Bakar Ba'asyir yang disebut-sebut ulama radikal juga alumnus HMI.

Namun pada perkembangannya, para aktivis HMI tergusur oleh gerakan yang lebih ideologis trans-nasional. Aktivis HMI dianggap masih terlalu 'nasionalis', karena tak melepaskan konsep ke-Indonesiaan. Masih kuatnya citra ke-Indonesiaan pada HMI bisa disimak dari surat-menyurat antara Nurcholish Madjid, Ketua Umum HMI era 1970-an, dengan Mohammad Roem, tokoh Masyumi tua. Nurcholish saat itu dengan tegas menyatakan: tidak ada negara Islam.

Pengaruh HMI dalam gerakan masjid semakin luntur secara kultural dan struktural, setelah sebagian elemen organisasi mahasiswa Islam terbesar ini mau menerima Pancasila sebagai asas tunggal. Sementara anak-anak HMI masih tertarik dengan pergulatan politik dalam negeri, anak-anak muda berideologi Islam trans-nasional tak tertarik dengan politik dalam negeri, dan lebih memusatkan perhatian pada isu-isu solidaritas Islam internasional.

Mereka belajar banyak dari gerakan Islam ideologis politik di Timur Tengah, seperti Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, atau Salafiyah. Mereka mengidamkan negara Islam, tapi kini tak lagi berada dalam wadah Indonesia seperti yang diimpikan Kartosuwiryo, melainkan trans-nasional dalam bentuk khilafah Islamiyah. Acuannya, adalah khilafah di masa Khulafaur Rasyidin atau pemerintahan di masa empat sahabat Nabi Muhammad.

Wajah gerakan dakwah Islam di masjid-masjid kampus ini tak seragam. Sebagian memasang wajah ramah dan toleran, dan sebagian lagi cenderung kaku. Namun, arus mayoritas tak mau terlibat dalam gerakan kekerasan atas nama agama.

Tapi tidak bisa dipungkiri, selama masa Orde Baru, Darul Islam masih hidup dan terpecah. Perpecahan mazhab ini salah satunya kelak melahirkan organisasi bawah tanah Jamaah Islamiyah. Sebagian dari mereka lari ke Malaysia, dan ada pula yang ikut berperang di Afghanistan. Represi Orde Baru yang menganggap kelompok Islam sebagai musuh justru membuat gerakan kelompok radikal yang cenderung memperbolehkan kekerasan menjadi solid. Kelompok radikal yang mengijinkan kekerasan ini menjadikan kampus sebagai salah satu target kaderisasi.

Era Reformasi membuat Indonesia rentan. Kelompok-kelompok Islam yang tadinya bergerak di bawah tanah mulai berani muncul di publik. Kelompok tarbiyah yang meneladani Ikhwanul Muslimin mendirikan Partai Keadilan, dan ikut dalam pemilu. Hizbut Tahrir, sebuah kelompok politik Timur Tengah, mendirikan cabang di sini pula.

Hizbut Tahrir Indonesia dengan terang-terangan mempromosikan khilafah Islamiyah. Partai Keadilan (Sejahtera) tak mau disebut mempromosikan negara Islam. Namun dalam praktiknya partai ini mendukung setiap regulasi yang berbau syariat formal Islam di Indonesia. Kendati begitu, kedua organisasi ini tak mengizinkan penggunaan jalur kekerasan untuk memperjuangkan ideologi Islam.

Jalur kekerasan justru muncul dari organisasi baru macam Front Pembela Islam. FPI tak mendeklarasikan negara Islam. Tapi organisasi ini menginginkan aturan syariat ditegakkan di Indonesia. FPI lebih dikenal sebagai organisasi radikal yang tak segan-segan menghancurkan tempat-tempat hiburan maksiat. FPI juga bentrok fisik dengan kelompok yang menyuarakan kebebasan beragama dalam kasus pelarangan Ahmadiyah.

Sementara itu, konflik-konflik antar agama dan etnis di luar Jawa menjadi ajang konsolidasi kelompok Islam radikal. Gerry Van Klinken menyebut konflik di Ambon dan Poso sebagai small town wars (perang di kota kecil). Dari Jawa, kelompok Salafiyah yang berkiblat pada Arab Saudi mengirimkan bala pasukan Laskar Jihad. Sementara itu, alumnus-alumnus Afghanistan dan kamp pelatihan Moro Filipina turun langsung dalam pertempuran di kota kecil itu.

Situasi dunia berubah drastis, ketika menara kembar World Trade Center di New York runtuh pada 11 September 2001. Amerika Serikat menyerukan perang global melawan terorisme. "Kalau Anda tidak berada di sisi kami, berarti Anda melawan kami," demikian seru Presiden Cap Hawkish (presiden yang suka perang), George W. Bush.

Al Qaeda yang dipimpin Osama bin Laden menjadi target utama perang global. Dan dengan cepat pula, sejumlah gerakan kekerasan Islam radikal di Indonesia dikaitkan dengan Al Qaeda. Jamaah Islamiyah adalah bagian jaringan Osama di Asia Tenggara. Indonesia adalah target penguasaan, dan dalam waktu tak lama beberapa tahun belakangan, negara ini diguncang aksi teror bom. Sesuatu yang jarang ditemui pada masa Orba.

Belakangan muncul gerakan ISIS (Iraq Syiria Islamic State). Gerakan ini sebenarnya lebih merepresentasikan konflik Timur Tengah. Namun mau tak mau, demam konflik ini menular ke Indonesia. Detasemen Khusus 88 mulai mengarahkan pandangan ke jaringan radikal yang mendukung ISIS.

Kehadiran ISIS semakin mengukuhkan betapa kuatnya pengaruh ideologi trans nasional. Kelompok Islam radikal yang menghalalkan aksi teror menjadikan penindasan terhadap umat muslim yang terjadi di Palestina dan belahan negara Islam lainnya, sebagai alasan pembenar untuk menghancurkan fasilitas Amerika Serikat dan apapun yang berbau Barat di Indonesia. Bahkan Indonesia pun dicap negara toghut, negara penyembah berhala.

Penutup

Kelompok Islam tekstual atau formalis tak semuanya radikal dan menghalalkan kekerasan. Penampilan mereka boleh jadi sama, namun karakter gerakan berbeda. Ini yang patut diselami pemerintah dan aparat kepolisian, sehingga tak salah tangkap. Kita tahu beberapa waktu lalu polisi sempat menangkap anggota Jamaah Tabligh, dan bahkan ada ketakutan terhadap orang berjenggot dan berpenampilan khas Islam garis keras. Padahal Jamaah Tabligh adalah kelompok Islam formalis yang sangat dikenal apolitis dan cinta damai.

Yang terang, semua kelompok Islam tekstual dan formalis menuding Amerika Serikat sebagai musuh bersama. Namun pengertian musuh pun meluas dengan menjadikan pemerintah Indonesia sebagai target. Keberanian kelompok yang diduga teroris menghantam aparat kepolisian menunjukkan hal ini. Tindakan aparat kepolisian menangkap dan membunuh sejumlah tokoh kunci jaringan teror agaknya dianggap sebagai tantangan perang. Alasan berperang pun semakin nyata, karena negara dianggap terlalu lunak dan bersahabat dengan Amerika Serikat, musuh bersama itu. [wir]

No comments: