15 January 2016

Teror? Teror Apa?

Aksi teror kembali terjadi di Indonesia. Kali ini di Jakarta, Kamis (14/1/2016).

Kali ini bukan aksi bom berdaya ledak besar layaknya bom Bali. Namun kali ini ada aksi baku tembak di ruang publik, layaknya film-film Hollywood (sesuatu yang nyaris tak pernah dilakukan para teroris dan tukang bom di Indonesia sebelumnya, kecuali jika hendak ditangkap).

Jika Anda membayangkan Tom Cruise yang berperan sebagai Ethan Hunt nan tampan dalam film Mission Impossible tengah melepaskan pelor ke arah musuh, drama teror di Jakarta kemarin menghadirkan sosok polisi ganteng bernama Teuku Arsya Khadafi. Namanya mendadak tenar dan dibicarakan mbak-mbak maupun emak-emak di media sosial.

Mendadak kita semua merasakan betapa heroiknya perlawanan terhadap teror. Berbeda dengan Prancis yang terkesan mengiba-iba dengan tagar 'doa' sebagai pengikat solidaritas, bangsa kita diikat dengan keberanian. #KamiTidakTakut. demikian tagar itu diletupkan di jagat dunia maya, melebihi kecepatan peluru penebar kengerian.

Tukang sate yang tetap berjualan dan mengipasi sate dengan kalem. Orang-orang yang berkerumun di sekitar arena pertempuran antara polisi dan teroris. Semuanya menjadi simbol bahwa bangsa ini adalah bangsa pemberani. Teror? Teror apa?

Namun spekulasi tetap saja berhamburan di media sosial. Tentu saja ada nalar konspiratif di sana. Curiga.

"Ini ulah gerombolan ISIS (Negara Islam Irak-Suriah)."

"Ah, bukan. Ini hanya pengalihan isu terkait urusan saham Freeport."

"Tidak, tidak mungkin. Ini pasti ada kaitannya sama penghapusan isu penangkapan politisi terduga korup."

"Ah, jangan ngawur. Ini pasti..."

"Ini pasti..."

"Ini..."

"Pasti..."

Seorang cendekiawan-ekonom Indonesia pernah mengatakan dalam sebuah esai, kira-kira seperti ini: mereka yang berpikir konspiratif adalah orang-orang yang lebih suka mencari pembenaran dengan menyederhanakan masalah.

Mungkin cendekiawan ini benar. Namun kecurigaan dan nalar konspiratif selalu ada di mana-mana, karena ini sesuatu yang purba. Ini bagian dari insting manusia untuk selalu bertanya-tanya, bahwa ada sesuatu yang lebih besar di balik suatu peristiwa.

Insting ini, apa boleh buat, selain membuat manusia saling bunuh, juga membuat manusia bisa bertahan melewati zaman di bawah ancaman.

Lagi pula, jika memang persekongkolan tak ada, buat apa setiap negara mendirikan badan intelijen?

Sejarah juga mengajarkan bahwa apa yang awalnya dianggap demikian adanya, ternyata ada sesuatu di baliknya. Kita baru tahu tahu (dengan data kongrit sebagaimana dalam buku Legacy of Ashes karya jurnalis Tim Weiner), jika ada campur tangan Amerika Serikat dalam Gerakan 30 September 1965.

Kita juga baru 'ngeh', jika rezim pembangunan Orde Baru yang dirancang kaum cendekiawan terhormat ternyata melibatkan persekongkolan gelap dengan industrialis Amerika, sebagaimana dalam buku Economists with Guns karya Bradley Simpson.

Terakhir, kita melongo setelah Ken Conboy dalam buku 'Intel: Inside Indonesia's Intelligence Service' mengungkapkan bahwa Komando Jihad ternyata bukan urusan berjuang di jalan Tuhan. Intelijen bermain di sana pula.

Semua itu terungkap puluhan tahun kemudian dari waktu kejadian.

Persekongkolan? Konspirasi? Biarkan waktu yang bicara. Semua pengungkapan dan pembuktian konspirasi butuh waktu lama dan kerja keras. Tim Weiner, Bradley Simpson, Ken Conboy, adalah contoh para pekerja keras itu.

Mereka bergerak, menggali-gali informasi dan data, setelah asap tebal di sekeliling kejadian mulai hilang atau bahkan sirna sama sekali, sehingga semua bisa melihat dengan jernih.

Memperdebatkan apakah aksi teror itu adalah bagian dari suatu konspirasi hanya menghabiskan energi untuk sesuatu yang tidak perlu. Lebih baik kita melihat sisi baik dari peristiwa di Jalan MH Thamrin, Jakarta, kemarin: bangsa kita menjadi lebih bersatu menghadapi rasa takut.

Persatuan yang mahal, yang menunjukkan bahwa kita bukan bangsa penakut. Sesuatu yang kita yakini namun hilang itu kini telah kembali. Itu yang penting. [wir]

No comments: