02 November 2015

Pesan Terakhir



Saya bukan perokok. Sejak muda, saya sama sekali tidak pernah mencobanya sekalipun. Saya juga adalah salah satu orang yang tidak suka dengan perilaku perokok yang antiroleransi, menyedot dan membuang asap rokok di antara banyak orang yang bukan perokok, di antara anak-anak dan kaum wanita. Saya menaati pesan ayah yang pernah melakukan operasi jantung: jangan merokok.

Namun ketidaksukaan tak seharusnya membuat seseorang benci membabibuta. Saya tidak suka rokok adalah sebuah preferensi hidup. Namun membenci rokok tak lagi sebuah pilihan biasa, namun ada nilai-nilai ofensif: karena saya membenci rokok, maka saya harus memusnahkan rokok. Maaf, saya tidak bisa dipaksa seperti itu, sekalipun saya tak menyukai perilaku sebagian (besar) 'ahlul hisap' yang tidak toleran.

Membenci berbeda dengan tidak menyukai. Saat kita membenci, maka ada nalar yang dimatikan. Kita tidak menerima fakta dan lebih menyukai eksklusi terhadap hal-hal untuk mendukung kebencian kita. Salah satu kematian nalar yang sedang berjalan dari para pembenci rokok adalah isu soal kepemilikan perusahaan nasional: Djarum, Sampoerna, Gudang Garam sudah dikuasai asing.

Isu itu memposisikan diri sebagai kontra-wacana bahwa mempertahankan industri rokok (terutama kretek) adalah bagian dari menampik intervensi asing melalui rokok putih. Industri rokok kretek adalah benteng terakhir kedaulatan. Jadi jika memakai logika isu ini: bagaimana mau bilang mempertahankan benteng terakhir kedaulatan, jika sejumlah pabrik besar sudah dikuasai asing.

Herry Chaeriansyah dari Koalisi Rakyat Bersatu Melawan Kebohongan Industri Rokok menyebut Sampoerna dikuasai Philip Morris, Gudang Garam dibeli Jepang, Djarum pun dibeli Japan Tobacoo. Sebagaimana layaknya sebuah propaganda anti-wacana, apa yang dikemukakan itu tak sepenuhnya benar.

Saat menyebut PT Djarum, saya tidak tahu, acuan data mana yang dipakai untuk mengatakan adanya penguasaan mayoritas saham oleh asing. Namun tentu saja, sebagian orang tak peduli, setidaknya mereka yang membenci. Kebencian tak membutuhkan argumen atau fakta detail, termasuk fakta sejarah bagaimana Djarum dibangun dengan kerja keras dan nilai-nilai tradisi Jawa yang kuat.

Semua berawal dari Kudus, Jawa Tengah, saat orang-orang di sana merajang cengkeh, mencampurnya dengan tembakau, dan dilinting dengan daun klobot menjadi rokok. Suara khas 'kemretek' menjadikan rokok ini disebut kretek. Mendadak rokok kretek menjadi populer, dan sejumlah pabrik pun berdiri memproduksinya, termasuk Djarum.

Oei Wie Gwan membeli perusahaan rokok NV Murup pada 1951. Perusahaan yang nyaris bangkrut itu diubahnya menjadi lebih kuat dan produksi rokok Djarum Gramofon diubah menjadi Djarum. Pabrik itu nyaris hancur, karena kebakaran di era Orde Lama dan matinya Oei Wie Gwan. Gwan mewariskan bisnis ini kepada dua anaknya, Budi dan Bambang Hartono. Perusahaan ini bangkit lagi dan melewati tiga zaman peralihan politik tanpa banyak terguncang.

Saya tak menemukan data di internet dan dokumen kliping yang menyatakan Djarum dikuasai asing sepenuhnya. Satu-satunya informasi itu justru saya peroleh dari Wikipedia, dan tanpa ada acuan sama sekali. Di sana hanya tertulis: Pada tanggal 1 Januari 2005, PT Gallaher Indonesia membeli seluruh saham Djarum dan menjadi bagian dari Gallaher Group. Kita tahu, Wikipedia adalah situs ensiklopedia bersama yang bisa diedit siapapun dengan bebas. Ironisnya, jika kita cari di Google, kalimat informasi itu muncul di laman-laman blog pribadi yang tentu akurasi dan otentisitasnya harus dipertanyakan ulang.

Informasi yang saya terima justru menunjukkan tidak cukup ada alasan bagi pemilik Djarum untuk menyerahkan perusahaan itu ke tangan asing. Tahun 1972, Djarum sudah mengekspor kretek lintingan tangan ke pengecer tembakau di seluruh dunia. Sementara tahun 1997, saat krisis ekonomi, mereka bagian dari konsorsium yang membeli Bank Central Asia dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional. Saya tidak tahu bagaimana nalar ekonominya, sehingga warisan Oei Wie Gwan itu harus digadaikan ke asing.

Tapi baiklah, kita turuti argumen bahwa perusahaan-perusahaan rokok telah dikuasai asing. Namun pernahkah kita berhitung, bahwa perusahaan rokok bukan hanya Djarum, Gudang Garam, Bentoel, atau raksasa-raksasa sejenisnya. Ini bukan hanya kretek. Di sejumlah sentra tembakau, ada perusahaan-perusahaan yang tumbuh dan berkembang dengan dikelola modal dalam negeri alias modal sendiri. Mereka mengolah rokok dari jenis tembakau beragam, bukan hanya Voor Oogst, tapi juga Na Oogst yang menjadi bahan baku rokok cerutu. Sudahkah kita berhitung sinisme gebyah-uyah 'perusahaan rokok dikuasai asing' bakal menghantam mereka?

Salah satu perusahaan yang masih setia dengan kekuatan lokal adalah Koperasi Agrobisnis Tarutama Nusantara (Kopa TTN). Ini sebuah koperasi yang didirikan empat serangkai pada 1990. Mereka bertemu di sebuah rumah di Kecamatan Kaliwates, Kabupaten Jember. Mereka adalah orang-orang yang sudah lama bergelut di dunia tembakau: Achmad Ismail (pemilik NV Ismail), Soejitno Chandra Hasan (pemilik Fasuda dan UD Daun Madu), Heru Tisdamarna (Kepala Cabang NV Ismail), dan sang tuan rumah Abdul Kahar Muzakir (mantan direktur utama PT Perkebunan 27).

“Kami datang ke sini, untuk mengajak rembugan apa yang bisa kita lakukan. Saya punya gudang, saya punya manajemen, orang-orangnya ada,” kata Ismail.

“Saya tak punya modal. Tapi saya menguasai teknologinya (tembakau bawah naungan), memiliki akses pasar. Itu komoditas yang biasa kami budidayakan,” kata Kahar. Mereka sepakat berbisnis tembakau bawah naungan Besuki Na Oogst untuk diekspor ke Eropa sebagai bahan baku cerutu.

Kahar mengusulkan agar badan usaha ini berbentuk koperasi. Mereka perlu memanfaatkan momentum pemerintah yang tengah bergiat membangun dunia koperasi di Indonesia. Saat itu perizinan pendirian koperasi dipermudah. Fasilitas kreditnya pun memiliki bunga di bawah kredit komersial perbankan. Mereka juga ingin mengambil jiwa koperasi: gotong royong. Koperasi menonjolkan asas kekeluargaan, untung dan rugi ditanggung bersama.

Berdasarkan rapat 22 Mei 1990, Ismail didaulat menjadi Ketua I, Kahar menjadi Ketua II, Heru Tisdamarna menjadi sekretaris, dan Soejitno Chandra Hasan menjadi bendahara.

Kahar dan Ismail ke Jakarta untuk Sri Edi Swasono, menantu Mohammad Hatta, proklamator dan Bapak Koperasi Indonesia, di Hotel Indonesia, untuk berkonsultasi tentang pendirian koperasi. Mereka berharap mendapat modal tambahan dengan bunga ringan. Namun diskusi itu tak menghasilkan apapun.

Edi Swasono menyarankan mereka menghubungi Bank Bukopin di Surabaya untuk menanyakan bunga kredit koperasi. Ternyata tak mudah meminta kucuran kredit di Bukopin. Dengan berbagai agunan, bunga mencapai 24 persen per tahun. Sementara bunga kredit di Bank Export Import Indonesia hanya 17 persen. Kahar dan Ismail pun memilih kembali ke kredit komersial.

Juni 1990, mereka mulai melakukan pembibitan dan membangun sarana prasarana untuk budidaya tembakau bawah naungan dari jenis Besuki Na Oogst seluas 26 hektare di kawasan Pancakarya, Kecamatan Ajung, Jember. Baru pada 28 Juli 1990, berdirilah Koperasi Agrobisnis Tarutama Nusantara., dan pengakuan sebagai badan hukum diperoleh pada 24 Desember 1990.

Dalam perkembangannya, TTN tak hanya mengekspor tembakau untuk bahan baku cerutu ke Eropa. Perusahaan ini juga memproduksi cerutu sendiri dengan nama Boss Image Nusantara. Ini cerutu bikinan tangan yang berbahan baku daun tembakau bawah naungan dengan varietas dari Kuba dan Sumatra.

Soeripno, orang kepercayaan Kahar, membantunya membudidayakan tembakau Kuba di Jember sejak 1993. Tak mudah membudidayakan tembakau Kuba di sini. Kahar dan Soeripno jatuh bangun, karena tanaman ini mudah terserang penyakit. "Namun setiap kali gagal, selalu kami ulangi, hingga akhirnya tembakau Kuba ini benar-benar melakukan aklimatisasi dan memiliki daya tahan," katanya.

Kahar membudidayakan dua hektare lahan tembakau Kuba untuk dijadikan bahan baku cerutu BOS Image. Produk daun bawah disebut Half Corona, produk daun kaki disebut Corona, dan produk daun atas disebut Robusto.

Ada lima cerutu Corona, yakni Robusto 3 S, Corona 10 S, Corona 5 S, Half Corona 10 S, dan Half Corona 5 S. Sementara untuk cerutu kecil, TTN memproduksi El Nino 20 S, El Nino 5 S, La Nina 20 S, dan La Nina 5 S. Kebanyakan cerutu ini dijual di dalam negeri.

Tiga orang pendiri TTN telah pergi dan tinggal Kahar yang merayakan ulang tahun ke-79 tahun 2015 ini. Di tengah modernisasi produksi rokok dan cerutu serta arus kepemilikan modal asing, TTN masih bertahan dengan nilai-nilai lama yang ditanamkan para pendiri: nasionalisme dan keinginan berbuat untuk orang banyak.

"Pak Kahar adalah sosok yang benar-benar pasang badan untuk membudidayakan tembakau. Pertimbangan utama beliau adalah komoditas ini menyediakan banyak lapangan kerja. Beliau tidak ingin tenaga kerja di Jember lari ke luar negeri menjadi tenaga kerja di sana," kata Manajer Produksi TTN Imam Wahid Wahyudi.

TTN memberikan beasiswa untuk anak-anak yang pandai di sekitar gudang TTN maupun anak-anak buruh. "Saya katakan: saya tidak membiayai anak-anak yang nantinya bakal jadi tenaga kerja Indonesia ke luar negeri. Saya membiayai anak-anak yang pintar sampai ke jenjang pendidikan atas agar mereka kembali ke desa, karena itu yang bisa membangun desa," kata Kahar.

Inilah filosofi nilai-nilai TTN sebagaimana terkandung dalam nama perusahaan itu sendiri. Kahar mengusulkan nama Tarutama kepada kawan-kawannya. "Taru itu daun, Tarutama berarti usaha utama kita adalah daun tembakau," jelasnya.

Tambahan nama ‘Nusantara’ berasal dari diskusi Kahar dengan Wolfgang Gustaf Kohne dari Hellmering Kohne and Co. (HKC). HKC adalah salah satu broker yang bergerak di balai lelang Bremer Tabakborse Bremen, Jerman. Ia sudah mengenal Wolfgang sejak bekerja menjadi direktur utama PT Perkebunan 27.

Wolfgang saat itu mengatakan, satu kata masih kurang untuk nama badan usaha. Kahar teringat wawasan Indonesia, yakni archipelago, nusantara. Kahar berharap kelak koperasi baru ini tak hanya membuka usaha di Jember dan karesidenan Besuki, tapi juga berekspansi ke seluruh Indonesia. Wolfgang setuju dengan tambahan nama ‘Nusantara’.

Badai dahsyat datang pada medio 2000. Burger Sohne AG, pembeli 50 persen tembakau TTN, mendadak pergi. TTN sama sekali tak mengerti alasan mereka pergi. Produk tembakau TTN ditolak dengan alasan tak masuk akal. Standar tembakau tak ada masalah. Burger Sohne hanya memersoalkan masalah cita rasa (taste). Namun mereka sendiri tak bisa menjelaskan detail bagaimana standar cita rasa itu.

Penolakan terhadap produk tembakau TTN terjadi dua kali. Ini sama saja membunyikan lonceng kematian. Jajaran manajemen atas mencoba menutupi persoalan ini supaya karyawan tak panik. Karyawan sendiri sebenarnya bisa merasakan ketegangan suasana ini. Bahkan sempat ada keraguan apakah TTN terus menanam tembakau hingga beberapa bulan ke depan.

Keragu-raguan itu tak dibiarkan menggantung terlalu lama. Manajemen harus membangun kepercayaan, yakni dengan menanam tembakau terus atau tutup. Jika perusahaan tutup, tentu akan ada banyak dampak negatif. Tapi dengan menanam terus, TTN harus menata ulang semuanya, karena kerugian saat itu cukup tinggi. Akhirnya, TTN memutuskan tanam terus agar tetap hidup, dan perusahaan ini hidup hingga saat ini.

Dalam usia 25 tahun, TTN cukup percaya diri tak membiarkan kepemilikan asing masuk. Padahal mereka memiliki reputasi bagus. Cerutu mini produksi TTN diterima pasar Eropa. Sebuah perusahaan Polandia mengimpor cerutu produksi TTN. "Soal nama, itu terserah mereka, karena TTN hanya memasok produksi cerutu," kata Kahar.

"Saya sebenarnya menganggap cerutu dengan ukuran kecil bukanlah cerutu. Itu hanya mainan. Namun kondisi membuat saya cenderung menjadi industrialis. Kalau saya tetap memaksakan diri bergelut dengan cerutu besar, konsekuensinya adalah terlempar dari pasar. Selama ini kami beruntung, karena nilai tukar Euro dengan rupiah yang fluktuatif. Jadi saya memproduksi cerutu kecil dan sudah memperoleh pasar di Polandia," kata Kahar.

Kahar kini mengelola perusahaan dengan dibantu anaknya dan anak para pendiri. Febrian Ananta Kahar, anaknya, memegang posisi direktur produksi dan teknik. Agusta Jaka Purwana, putra Heru Tisdamarna, menjabat direktur umum dan sumber daya manusia. Sementara Hesti Setiarini, putri Soejitno Chandra Hasan, menjabat direktur keuangan. Hanya putra Ismail yang melepas hak atas TTN karena tak berminat bergelut di sana.

Penutup

Medio Januari 1994. Achmad Ismail tahu, usianya tak akan lama. Abdul Kahar Muzakir berdiri di hadapannya. Ia menggamit sang sahabat dan berbisik. "Pak Kahar, saya boleh mati. Tapi TTN jangan sampai mati."

Ismail meninggal dunia pada 11 Januari 1994. Pesan terakhir itu masih terawat hingga saat ini. [wir]

No comments: