Imagined Persebaya: Bukan Sekadar Sejarah Sepakbola
oleh: Jojo Raharjo
Persebaya yang dilahirkan 18 Juni 1927 boleh saja (sementara) tiarap, tapi buku ini membuktikan kebesaran perjalanan klub kebanggaan Arek Suroboyo yang fanatisme ‘pemiliknya’ bahkan melebihi hooligan Inggris.
Oryza Ardyansyah Wirawan dikaruniai bakat menulis dan memori yang kuat. Selain itu, ia punya kelebihan khusus: menjaga dokumentasi tulisannya agar tak terserak diterbangkan waktu. Maka, lahirlah buku: ‘Imagined Persebaya’ (Persebaya, Bonek, dan Sepakbola Indonesia).
Diterbitkan oleh Litera pada 2015, buku 322 halaman membendel 63 tulisan jurnalis yang sehari-hari bekerja di situs Beritajatim.com ini. Dengan kreatif, kumpulan artikel itu dibaginya dalam lima bab bertajuk You Can’t Buy History, Bonek (Bin Chelsea), Rivalitas, Battle of Surabaya, serta Hikayat Sepakbola Indonesia. Di lembar awal masing-masing bab ditandainya dengan lima huruf khusus: B, O, N, E, dan K.
Fajar Junaedi, dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta yang melakukan penelitian tentang fans sepakbola di Indonesia, melukiskan dengan tepat dalam pengantar ‘Imagined Persebaya’, “Buku ini adalah artefak tentang Persebaya, bonek, dan sepakbola Indonesia. Sejarah sepakbola adalah sejarah Persebaya. Pun demikian, Bonek juga sejarah penting dalam sejarah perkembangan sepakbola di Indonesia.”
Judul ‘Imagined Persebaya’ dipilih karena merujuk pernyataan peneliti sosial Benedict Anderson bahwa Indonesia merupakan komunitas yang dibayangkan (imagined community). Senada dengan Anderson, Persebaya lebih dari sebuah klub, namun imagined community bagi para fansnya. Bagi Bonek, kecintaan pada Persebaya bak api nan tak kunjung padam, imajinasi yang mempertautkan mereka sebagai saudara, meski mungkin tak pernah bertemu, dan bahkan tidak pula berasal dari kota atau provinsi yang sama.
Buku ini menulis, sebutan Bonek pendukung Persebaya ternyata bukan hanya mereka yang dilahirkan atau pernah tinggal di Surabaya, tapi juga menjadi milik penggemar Persebaya di Pasuruan, Jember, bahkan kota-kota di Jawa Tengah, luar Jawa hingga mancanegara. Slogan Bonek ‘No leader just together’ (tiada pemimpin kecuali kebersamaan) dan ‘Tidak ada Bonek yang paling Bonek’ menjadi pemersatu, sekaligus menunjukkan karakter dan sifat egaliter khas budaya Arek.
Bercerita langsung
Tidak hanya berisi opini, buku ini menjadi ‘basah’ karena liputan langsung. Semisal kisah Oryza yang hadir menonton Liga Primer Indonesia mempertemukan Persebaya melawan Persija di awal Juni 2012. Tak direncanakan jauh-jauh hari sebelumnya menonton pertandingan itu, pilihannya membawa kepada sejarah: bentrok suporter dan polisi berhias gas air mata. Tapi, ‘keikutsertaan’-nya dalam peristiwa ini membuka mata pada sudut pandang lain. Betapa Bonek tak lagi menjadi momok menakutkan bagi warga Tambaksari dan sekitarnya. Warung-warung dan pedagang makanan tetap buka, bahkan saat kerusuhan menjalar ke luar stadion.
Sebagaimana buku ini mengutip lagu Working Class Hero – nya John Lennon, Bonek dianggap sebagai representasi kelas pekerja yang butuh hiburan sehabis penat bekerja sepekan. Persis seperti penggemar sepakbola di Inggris yang awalnya didominasi buruh kasar macam kuli pelabuhan Liverpool dan Manchester. Tak beda dengan penggila klub-klub di Sao Paulo di Brasil, buruh-buruh kereta api di Rusia pendukung Lokomotive Moskow, dan pendukung ideologis Internazionale di Milan yang berasal dari kaum sayap sosialis anti kapitalis.
Oryza, jurnalis pemenang penghargaan Prapanca 2010 –penghargaan tertinggi untuk jurnalis Jawa Timur, saat itu dengan tulisan berseri Hikayat Bank Gakin, meliuk-liuk dengan kata-kata dan bagaimana ia mendokumentasikan sejarah Persebaya, Bonek serta keprihatinan terhadap sepakbola Indonesia. Bukan tak ada kelemahan tentunya.
Soal akurasi, misalnya, pada tulisan ’10 Tim Kontroversial dan Tak Disukai di Indonesia’, di urutan pertama ayah dua putera ini memilih Timnas Pra Olimpiade 1988. Tim itu dianggap mengundang kehebohan saat empat pemainnya diketahui terlibat suap di Hongkong dan Tokyo. “… Mereka adalah Noach Maryen, Elly Idris, Bambang Nurdiansyah, dan Louis Mahodim. Mereka menjadi ajang cemoohan, dan kasus ini menjadi kasus kesekian di mana penyuapan terjadi dalam sepakbola Indonesia di era 1970 dan 1980-an…” Di era teknologi seperti ini, tak susah untuk mengecek bahwa ejaan nama yang benar ialah Noah Meriem dan Louis Mohidin.
Buku ini layak menjadi salah satu referensi dan koleksi terbaik yang ada di perpustakaan pribadi mereka yang mengaku sebagai penggemar sepakbola Indonesia. Teruslah menulis, Oryza, dan mengabadikan sejarah sepak bola dengan filosofi kehidupan di dalamnya… [jurnalis]
16 July 2015
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment