06 April 2015

Cerita dari Gardu Timur

Saya bertemu dengan suami-istri Suyono, di Dusun Gardu Timur, Desa Rowosari, Kecamatan Sumberjambe, Kabupaten Jember, Jawa Timur, pada suatu siang. Saya menikmati durian di dusun yang berdekatan dengan Gunung Raung itu.

Dari mereka, saya tahu, loyalitas dalam politik tak selamanya terkait urusan duit. Suami-istri Suyono adalah orang terpandang di desa itu. Mereka kaya raya dari hasil berjualan kayu mahoni, mindi, dan jati olahan untuk bahan bangunan.

Mereka memulai bisnis dari berjualan kayu berukuran kecil. Mereka pernah mengalami kerugian besar karena dirampok. Namun sebagaimana halnya kisah-kisah klise di sisi dunia manapun, keuletan membawa mereka sukses.

Sukses berbisnis kayu tak mengubah penampilan suami-istri itu. Pakaian dan cara bicara mereka jauh dari kesan sosok warga desa yang memiliki usaha dengan penghasilan Rp 400 juta setiap tahun. Sang suami lebih kalem, sang istri lebih ceplas-ceplos jika bicara.

Pernah suatu kali Nyonya Suyono pergi ke kota untuk membeli ponsel baru. Melihat sosok yang tak necis, pelayan toko pasang tampang cemberut. Mungkin dipikirnya: nih orang paling banter hanya beli ponsel harga di bawah satu juta rupiah. Hanya cari yang murah.

Nyonya Suyono jengkel. Dengan logat Madura yang kental, ia meminta ponsel terbaru dan termahal kepada sang pelayan. Tak cukup itu, ia juga mengeluarkan segepok duit dan menyodorkan kepada sang pemilik toko. "Mana kertasnya (sertifikat kepemilikan bangunan dan tanah toko)? Biar saya beli sekalian dengan HP-nya," katanya, keras.

Sang pelayan tak menampakkan batang hidung lagi. Saya tertawa mendengar cerita Nyonya Suyono. Sambil menggigit daging durian yang lembut bak mentega, saya bisa membayangkan, betapa malunya sang pelayan itu.

Pernah pula suatu saat Nyonya Suyono datang ke sebuah restoran waralaba modern. Ia tetap tampil tak necis, walau tak bisa disebut berantakan atau kumuh. Lama memesan, tak juga dilayani. Tak sabar, Nyonya Suyono melabrak sang pelayan sembari mengeluarkan setumpuk uang. "Apa uang saya beda dengan uang orang-orang itu," tanyanya menunjuk sejumlah pembeli yang terlihat jelas seperti punya banyak duit.

Nyonya Suyono kaya dari bisnis sendiri tanpa kongkalikong dengan pejabat. Mungkin itu yang membuatnya percaya diri, termasuk saat berurusan dengan pejabat pemerintah desa.

Dalam sebuah pemilihan kepala desa, Nyonya Suyono memilih salah satu kandidat. Ia tidak dibayar dan justru mengeluarkan uang untuk kampanye sang kandidat. Alasannya sederhana: cocok di hati.

Singkat kata: kandidat itu menang. Dalam perjalanannya, kepala desa terpilih mulai tak disiplin. Ia kadang terlambat masuk kantor, saat yang lain sudah mulai bekerja pada pukul tujuh pagi.

Nyonya Suyono pun mendatangi istri pak kades. "Yu (sapaan kakak perempuan dalam bahasa Madura), saya memilih suami sampeyan karena ingin dia bekerja baik. Kalau tidak beres bekerja, saya sendiri yang akan menurunkannya," katanya.

Hubungan Nyonya Suyono dengan sang kades pun semakin bagus. Suami-istri itu yang kemudian mendukung sang kades mencalonkan diri dalam pemilu legislatif 2014 setelah pensiun dari pemerintahan desa.

Tuan dan Nyonya Suyono tidak dibayar atau diberi janji imbalan proyek. Bahkan mereka justru keluar duit untuk menggelar tasyakuran begitu sang kades terpilih menjadi anggota DPRD Jember. Lagi-lagi alasannya sederhana: sudah terlanjur cocok di hati.

Iseng-iseng, salah satu kawan saya bertanya: kenapa Tuan atau Nyonya Suyono tidak mencalonkan diri sendiri jadi kades atau legislator ketimbang hanya jadi pendukung?

Pak Suyono tidak menjawab. Sang istri menyahut dengan lantang (sekali lagi dengan logar Madura kental): 'Ya rugi saya, tidak bisa berdagang lagi. Enakan begini, jadi pengusaha kayu.' Nah. [wir]

No comments: