27 January 2015

Akhirnya Jokowi Tahu, Negara Bukan Hanya Urusan Blusukan

Beberapa bulan lalu, seorang kawan wartawan terkagum-kagum menyaksikan aksi Joko Widodo setelah dilantik menjadi presiden di Jakarta melalui layar televisi. Sang presiden asal Solo menemui para pendukungnya yang meluap di kiri-kanan jalan dengan naik bendi. Hampir terjatuh dari kereta kuda itu, Jokowi akhirnya bisa mengacungkan tiga jari: simbol persatuan Indonesia.

"Memang beda Jokowi," kata kawan saya itu. Menurutnya, Jokowi adalah sang satrio piningit, ksatria yang ditunggu-tunggu menjadi pemimpin, yang bisa membawa Indonesia menuju kemakmuran dan kejayaan.

Satrio piningit, the chosen one, yang terpilih. Saya kembali mendengar puja-puji itu saat Jokowi bertemu dengan ribuan petani tebu, di Kecamatan Tanggul, Kabupaten Jember, Jawa Timur.

Seorang petani tebu yang mengaku dari Blora, Jawa Tengah, tanpa memperkenalkan diri lebih dulu langsung menyampaikan unek-uneknya saat diminta naik ke atas panggung. Ia meminta agar Jokowi menghentikan impor gula.

Menurut dia, pemerintah sudah mengimpor 3,5 juta ton gula. "Mohon kalau perlu stop impor agar petani tidak menjadi korban," katanya.

"Bapak adalah wajah kami, Bapak adalah ratu adil, Bapak adalah mesias, Bapak adalah Imam Mahdi yang diharapkan petani. Kalau Bapak saat ini tidak bisa menyelesaikan program kompleksi petani, saya yakin presiden akan datang impossible menyelesaikan," katanya.

"Harapan masyarakat begitu besar, harapan masyarakat begitu tinggi, harapan masyarakat begitu bejibun, bahwa di tangan Bapaklah, karena Bapak wajah kami, Bapak cermin kami, Bapak idola kami, Bapak contoh kami, setelah Bapak menjabat, tolong Departemen Perdagangan dievaluasi, impor impor impor stop," tambah petani itu bersemangat.

Di Banjarnegara, saat Jokowi datang menengok korban bencana tanah longsor, ratusan orang berebut air bekas yang sudah dgunakan sang presiden membersihkan diri. Mencari berkah, demikian alasan mereka.

Jokowi sang idola, Jokowi sang ratu adil. Harapan terhadap pria penggemar musik rock itu sangat tinggi, membuat sebagian dari kita memaklumi kebijakannya yang boleh jadi memberatkan rakyat dan menuai protes keras saat dilakukan presiden-presiden sebelumnya, seperti mencabut subsidi harga bahan bakar minyak.

Sebagian dari kita berlomba-lomba membuat pembelaan, yang kadang konyol: seperti misalkan menyamakan harga BBM dengan harga rokok yang lebih mahal, sehingga wajar jika dinaikkan.

Ketika Jokowi menurunkan harga BBM dua kali, dan kembali ke harga awal sebelum pencabutan subsidi, sebagian dari kita bertepuk tangan dan membuat pembelaan. Kita seperti lupa, bahwa saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menempuh kebijakan itu, semua beramai-ramai menyebutnya 'pakar pencitraan' yang tak paham bahwa penurunan harga BBM tak otomatis menurunkan harga komoditas di pasar.

Saat Jokowi tak seratus persen menepati janjinya untuk lebih memilih orang-orang profesional daripada berkompromi dengan partai pendukungnya dalam menyusun kabinet, kita memilih membuat dalih daripada mengkritiknya.

Salah satu dalih yang populer adalah Jokowi berada dalam tekanan kekuatan-kekuatan elite partai, seperti Megawati Sukarnoputri, Surya Paloh, dan Jusuf Kalla.

Media sosial penuh puja-puji setinggi langit terhadap langkah Jokowi yang melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam seleksi menteri. Langkah itu disebut langkah taktis jitu nan pintar dari Jokowi untuk menampik nama-nama calon menteri tak bersih yang diorder partai.

Dalam terminologi filosofi Jawa: nabok nyilih tangan, alias memukul dengan menggunakan tangan orang lain (yang dalam konteks ini adalah KPK).

Tak ada yang mencoba bertanya dengan kritis: tidakkah aneh jika seorang presiden, pemimpin tertinggi negara ini, yang dipilih oleh jutaan rakyat Indonesia, pemenang pemilu yang demokratis, masih harus meminjam tangan orang lain untuk menolak intervensi terhadap kebijakannya.

Bukankah dia memiliki kekuasaan besar untuk mengatakan 'tidak' secara langsung. Jika Jokowi tidak kuasa menampik intervensi partai politik pendukungnya saat memilih menteri pembantunya, bagaimana pula dia akan memimpin bangsa Indonesia menolak semua intervensi asing yang menghancurkan bangsa ini.

Tak ada yang bertanya demikian, termasuk saat Jokowi memilih mengirimkan nama Inspektur Jenderal Budi Gunawan menjadi calon tunggal Kepala Kepolisian RI ke DPR RI untuk menjalani uji kepatutan. Nama Budi Gunawan sudah mendapat catatan merah dari KPK, karena kasus rekening gendut.

Namun berbeda dengan saat menggunakan catatan KPK untuk menolak nama sejumlah menteri, kali ini Jokowi memilih mengesampingkannya dan jalan terus.

Lalu di media sosial orang ramai-ramai menyalahkan Megawati Sukarnoputri dan PDI Perjuangan yang memaksakan kehendaknya, mencalonkan BG menjadi Kapolri. Jokowi tidak salah, karena terpaksa melayani permintaan Mega dan partainya.

Tidakkah ada yang merasa aneh dan bertanya, jika Jokowi tak bisa menghadapi tekanan Mega dan partainya, itu sama saja dengan mengonfirmasi kekhawatiran orang beberapa bulan silam: ia hanya petugas partai.

Sebagai petugas, aparat, atau opsir, tak salah jika kemudian Jokowi tak berdaya dan tunduk di bawah kehendak Megawati, perempuan yang sangat dihormatinya. Namun jika demikian, apa gunanya Jokowi memiliki sekian atribut orang nomor satu di negeri ini, jika ternyata ada sosok yang lebih tinggi di atasnya.

Sepuluh tahun masa pemerintahan SBY telah mengasah kritisisme rakyat. Sialnya, SBY dan Partai Demokrat tak memiliki korporasi media massa yang bisa menjadi pembela setia. Tiada hari tanpa kritik terhadap pemerintahan SBY.

'Pencitraan' menjadi kata yang paling sering digunakan. Namun semua nalar kritis yang terpupuk selama satu dasawarsa mendadak hilang dalam waktu seratus pemerintahan Jokowi. Suara kritik dicurigai tak lepas dari sakit hati karena kekalahan saat pemilu presiden.

Indonesia dibayang-bayangi kejumudan. Benarlah kata seorang kawan saya di akun Facebooknya: pemimpin yang dipuja-puja lebih berbahaya daripada seorang pemimpin diktator. Minimal dengan seorang pemimpin diktator, kita selalu awas dan nalar kita selalu terjaga. Sementara pemimpin yang dipuja bagai dewa justru mematikan nalar.

Jadi jujur saja, kita harus bersyukur konflik Cicak versus Buaya Jilid II (dengan episode Cicak versus Kebun Binatang) ini mencuat. Kisah konflik ini membuat nalar kritis itu telah kembali: tak ada presiden setengah dewa yang tak lepas dari kritik. Saat seorang pengunjuk rasa membawa poster bertuliskan: 'Where Are You, Mister President?'. kita tahu publik sudah terjaga dari pesona itu.

Ketika seorang aktivis mengatakan pernyataan Jokowi menanggapi konflik KPK versus Polri tak lebih baik dari pernyataan seorang ketua RT, kita pun tahu, orang akhirnya sadar: Indonesia butuh pemimpin kuat. Pemimpin yang bisa menghadapi semua tekanan, dan hanya tunduk kepada konstitusi maupun kehendak rakyat yang memilihnya, bukan takluk terhadap oligarki partai.

Pada akhirnya kita berharap, Jokowi segera sadar: bahwa negara ini tak cukup hanya diurus dengan blusukan ke got dan pasar-pasar, tak cukup sekadar dikelola dengan keramahtamahan dan senyum sembari berkata: Aku rapopo. Negara ini butuh pemimpin yang tegas, yang berani mengatakan 'tidak', bahkan terhadap partai yang telah membesarkannya. [wir]

No comments: