28 February 2015

Pahlawan, Kota, dan Ziarah Masa Lampau

APA arti pahlawan bagi sebuah kota?

Saya ingat medio 1996 lalu, saat pertama kali datang ke Jember sebagai seorang mahasiswa. Tak banyak yang saya ketahui tentang kota ini sebelumnya. Bahkan setelah saya kuliah dan aktif di pers kampus Universitas Jember, tak banyak yang saya bisa definisikan dari kota ini. Artikel pertama saya di Radar Jember soal kota ini adalah bagaimana tak adanya 'identitas asli' yang mengikat warga, dibandingkan dengan Banyuwangi, misalnya.

Kota ini butuh penanda, dan masa silam adalah salah satunya. Di Eropa, masa lalu dirawat dengan rapi, seperti dikatakan Goenawan Mohamad dalam salah satu esainya tentang Bruges: “Tak ada yang aus: masa silam hadir secara rutin, dan secara bangga.”

Namun apakah masa silam itu bagi sebuah kota seperti Jember? Kota ini sejatinya tak pernah diikhtiarkan untuk menjadi seperti sekarang. Ini mulanya sebuah kota afdeeling perkebunan di bawah naungan Gewestelijk Bestuur Besoeki. Terbagi enam distrik, yakni Jember, Sukokerto, Mayang, Rambipuji, Tanggul, dan Puger, Gubernur Jenderal De Graeff baru menetapkan Jember menjadi regentschap yang setara kabupaten pada 9 Agustus 1928.

Lalu, berikutnya adalah perdebatan. Pemerintah daerah menetapkan 1 Januari 1929 sebagai hari jadi kota, penanda berdirinya kota. Namun sebagian kalangan menampiknya, karena menilai Jember sebagai sebuah wilayah lebih tua daripada yang ditetapkan. Lagipula, seharusnya alur sejarah didefinisikan oleh diri sendiri dan bukan tanda tangan seorang gubernur jenderal Belanda.

Sebuah kota bukanlah sekadar nama. Ia tidak hanya terdiri atas tembok-tembok dan bangunan tua, namun dibentuk sekumpulan cerita, hikayat, mitos, juga epos, yang mengalir dari mulut ke mulut, dari generasi ke generasi. Sejarah tak ubahnya aliran sungai yang berhulu dari sebuah mata air waktu, melewati bebatuan peristiwa, menuju muara kekinian. Apa yang dilakukan masyarakat Jember kini adalah mengikhtiarkan pencarian mata air yang mengawali sungai sejarah kota ini dan menentukan bebatuan-bebatuan peristiwa yang dilewatinya.

Saya kira di sinilah arti kehadiran pahlawan bagi sebuah kota seperti Jember. Pahlawan itu menyejarah, dan menjadi penanda adanya sebuah semangat pada suatu zaman, pada suatu masa. Nama Jember hari ini memang lebih terdengar nyaring karena sebuah karnaval fesyen masal. Jember Fashion Carnaval adalah apa yang disebut Dick Hebdige dalam

Subculture: The Meaning of Style sebagai pernyataan: saya berbicara melalui pakaian saya. Namun Jember tak bisa mengidentifikasi diri hanya melalui sebuah tontonan.

Jean Baudrillard dalam In The Shadow of The Silent Majorities, menyebut tontonan mengubah individu menjadi mayoritas yang diam. Dan jagat tontonan adalah padang pasir tanda-tanda (desert of signs) raksasa tak bertepi. Semua bisa memaknai, dan bahkan Baudrillard mewanti-wanti: 'Di tengah padang pasir, orang akan kehilangan identitasnya.'

Maka, penggalian terhadap sosok etos dan kepahlawanan di Jember tetap dibutuhkan, karena melalui penggalian itu orang bertanya terus-menerus mengenai dirinya. Seorang kawan menuliskan di laman Facebook, kala masih kecil, sering menunjuk sebuah sosok patung pria berpakaian perwira yang berdiri dalam posisi tubuh tegap di depan kantor Pemerintah Kabupaten Jember: siapa dia, mengapa dia di sana, tidakkah dia capek berdiri terus, dan bagaimana jika dia kebelet pipis.

Ketika rangkaian pertanyaan hadir, bahkan oleh seorang bocah, maka di situlah awal lahirnya penanda kota. Saat dewasa, kawan saya itu akhirnya tahu, patung tersebut adalah sosok Letnan Kolonel Moch. Sroedji, seorang pemimpin pasukan Damarwulan yang diperhitungkan Belanda pada masa Perang Kemerdekaan.

Penanda akan menjadi penanda ketika dimaknai secara sadar oleh warga kota, karena ada rasa memiliki. Dibutuhkan waktu tak sebentar untuk membawa kesadaran pemaknaan itu. Maka langkah Pemerintah Kabupaten Jember bersama keluarga Moch. Sroedji untuk mengusulkan sang letkol sebagai pahlawan nasional, bisa dianggap sebagai ikhtiar terobosan untuk memunculkan kesadaran pemaknaan itu sebagai kesadaran bersama.

Langkah ini diawali sebuah napak tilas yang diikuti ribuan orang pada 8 Februari 2015 yang menjadi pengingat bagi semua orang tentang pertempuran terakhir Brigade III Damarwulan pada 1949 di Desa Karangkedawung, Kecamatan Mumbulsari. Sroedji gugur bersama anak buahnya yang lain, setelah terlibat baku tembak berhari-hari dengan pasukan Belanda. Ia menolak menyerah, dan memilih mati muda pada usia 34 tahun.

Sroedji tidak dimakamkan di taman makam pahlawan, namun di sebuah pemakaman umum biasa di Kreongan, Patrang. Sebagian mungkin bertanya: mengapa. Lainnya mungkin menilai: ini tak patut. Namun "pahlawan mati hanya satu kali." Saya mengutip kalimat itu dari lakon terjemahan karya John Galsworthy. Justru dengan dimakamkan di pekuburan biasa, Sroedji meninggalkan sebuah warisan makna: laku patriotisme dan kepahlawanan tak boleh dicabut dari akarnya dan harus tetap di tengah-tengah rakyat.

Ikhtiar mengusulkan Moch. Sroedji menjadi pahlawan nasional adalah salah satu cara menjaga warisan makna itu. Kita tidak tahu, apakah pemerintah pusat dengan mudah akan meluluskan permintaan pemerintah daerah dan rakyat Jember. Seandainya berhasil, gelar pahlawan nasional itu akan menjadi milik semua orang, rakyat sipil dan tentara, yang berjuang dan mati di medan tempur bersama Sroedji.

Ini juga akan menjadi pintu bagi nama-nama lain di Jember untuk diusulkan mendapat gelar kepahlawanan. Kita tahu, Sroedji bukan satu-satunya tokoh pemimpin perjuangan di masa itu, atau yang mati dalam sebuah pertempuran heroik. Jika nama-nama itu diungkap, maka akan kembali muncul pertanyaan-pertanyaan, penggalian-penggalian, yang pada akhirnya akan selalu memicu kesadaran pemaknaan pada warga kota. Jika nama-nama seperti dr. Soebandi atau KH Achmad Shiddiq berhasil memicu kesadaran pemaknaan, pada akhirnya warga kota ini bisa semakin mengidentifikasi diri mereka.

Sebenarnja kita belum pernah mengenal mereka

ibu-bapa kita jang mendongeng

tentang tokoh-tokoh itu, nenek-mojang kita itu, tanpa menjebut nama.

Mereka hanjalah mimpi-mimpi kita,

kenangan jang membuat kita merasa

pernah ada.


- Ziarah (1967) karya Sapardi Djoko Darmono

Dari identifikasi, muncul kebanggaan dan penghormatan terhadap masa lampau. Masa lampau dihargai sebagai bagian dari yang membangun kota ini, hari ini, dan akan selalu menjadi tetenger masa mendatang: tempat kita berziarah. [Wir]

No comments: