21 June 2012

Mokhsa

Reporter : Oryza A. Wirawan

Bupati Muhammad Zainal Abidin Djalal sudah hendak menutup dialog, saat tiba-tiba remaja lelaki itu menukas. "Sebentar, Pak, terakhir. Mau tanya?"

Djalal pun menoleh dan mempersilakan. Mendapat lampu hijau, remaja berusia 15 tahun itu berdiri dan bertanya dengan yakin: "Pak, kenapa Ketua RT, RW, sampai bupati, kalau datang kenapa suka telat dan hobinya kok korupsi?"

Di sebuah tanah lapang di Desa Ledokombo, Kecamatan Ledokombo, Kabupaten Jember, Rabu (20/6/2012) siang, beberapa orang tersenyum-senyum mendengar pertanyaan itu. Begitu juga sejumlah pejabat pemerintah daerah. Entah tersenyum karena pertanyaan itu begitu lugu, atau tersenyum dengan hati kecut karena khawatir sang bupati tersinggung.

Siang tadi, Djalal bersama sejumlah pejabat datang ke kelompok bermain dan belajar Tanoker di Ledokombo untuk menyaksikan dari dekat kegiatan anak-anak, terutama dalam mengembangkan permainan tradisional egrang. Ia juga menyempatkan diri berdialog dengan anak-anak di sana.

Pertanyaan tadi meluncur dari Mokhsa Imanahatu Atolu, putra sulung pasangan Suporahardjo dan Farha Ciciek yang menggagas dan membina Tanoker selama ini. Mendengar pertanyaan itu, Djalal tersenyum. "Wah kalau pertanyaan itu, tanyakan kepada yang korupsi. Sekarang saya mau tanya, Pak Djalal korupsi tidak?" katanya.

"Tidaaaaaakkk," jawab anak-anak itu kompak.

Djalal menyatakan, jika dirinya korupsi, maka lebih baik diberitakan di koran saja. "Kalau saya korupsi, datang ke saya dan tegur saya. Bilang agar saya jangan korupsi. Saya senang kalau ada rakyat saya yang mau ngandani (memberitahu). Tidak boleh ngerasani (bergunjing)," katanya.

Djalal menjelaskan, bahwa setiap Kamis pagi, dirinya membuka kesempatan bertemu langsung dengan masyarakat di kantor Pemerintah Kabupaten Jember. "Kalau Mokhsa mau datang ke kantor saya, silakan," katanya.

Pertanyaan kedua, soal pejabat yang suka terlambat, Djalal tidak memberikan penjelasan. Ia malah meminta maaf, karena dirinya datang terlambat dari yang dijadwalkan ke acara di Ledokombo tersebut. "Kenapa suka terlambat, termasuk saya, karena mental kita masih seperti itu. Saya tidak akan beralasan. Saya mohon maaf sebesar-besarnya. Mudah-mudahan saya dimaafkan ya?"

Kritisisme. Itulah yang berhasil dibangun Ciciek dan Supohardjo melalui Tanoker. "Saya sempat ditanya sama salah satu orang: kenapa anak-anak tidak dilatih dulu pertanyaannya. Saya jawab, biar sajalah. Saya tidak suka mengondisikan begitu," kata Ciciek.

Salah satu siswa kelas 6 sekolah dasar, Fifin Anggraini, tanpa malu-malu meminta kepada Djalal untuk menggelar sepakbola untuk perempuan. "Panitianya Pak Bupati," katanya, disambut tawa beberapa orang yang hadir.

Djalal terkejut. "Wah, bisa main bola? Siapa yang melatih"

"Kami pernah mengadakan pertandingan persahabatan sepakbola putri, antara putri-putri di Ledokombo dengan mahasiswa asing yang datang," kata Ciciek.

"Oke, saya turuti. Saya yang membiayai konsumsi dan hadiahnya. Tapi ketua panitianya Fifin ya? Kalau bukan Fifin, saya tidak mau. Kalau kamu panitia, kamu bisa memerintah Pak Camat. Kalau Pak Camat tidak mau diperintah kamu, lapor saya," kata Djalal.

Dialog singkat itu sudah cukup menunjukkan betapa Tanoker merupakan salah satu embrio perubahan sosial di Ledokombo. Ciciek meyakini, perubahan sosial bisa berawal dari anak-anak, karena anak-anak memiliki keterbukaan dan toleran terhadap segala sesuatu yang baru. Supo dan Ciciek mengawali perubahan itu melalui permainan egrang, sebuah permainan tradisional yang nyaris tenggelam dari pengalaman sehari-hari anak-anak.

Sejauh ini, mereka berhasil. Jumlah anak-anak yang belajar bersama di Tanoker bisa mencapai seratus orang. Para orang tua tak ragu-ragu mengirimkan anak-anak belajar di sana cuma-cuma. Dinas Pendidikan dan sekolah memberikan dukungan. Apalagi, melalui akses jaringan sebagai aktivis organisasi nonpemerintah, Ciciek dan Supo berhasil menarik perhatian aktivis sosial dan mahasiswa luar negeri untuk hadir ke Ledokombo.

Tanoker bergerak tanpa bantuan pemerintah. Camat Ledokombo Heri Setiawan mengatakan, Supo dan Ciciek tak pernah meminta bantuan apapun. "Bahkan saat kami menawarkan diri untuk membantu menyediakan konsumsi bagi Pak Bupati dan para tamu, mereka menolak," katanya.

Bagi Ciciek, kehadiran seorang pemimpin daerah seperti Djalal sudah lebih dari cukup. Ia senang akhirnya Djalal bisa hadir di rumahnya yang menjadi pusat kegiatan belajar Tanoker. Djalal sendiri tampak senang berada di Ledokombo. Kendati rangkaian acara sudah selesai, ia masih asyik mengobrol bersama Supo dan tamu lainnya. "Tadi Supo senang, karena Pak Djalal tidak merokok selama di lingkungan Tanoker, karena itu area anak-anak," kata Ciciek.

Perubahan sosial memang bisa berasal dari mana saja. Bahkan dari sebuah kebun yang jauh dari kota, dan dari sebuah pertanyaan Mokhsa. [wir/beritajatim.com, 21 Juni 2012 02:21:58 WIB]

No comments: