06 December 2012

Lumbungisasi di Lumbung Beras Jatim

Reporter : Oryza A. Wirawan

Sejak lama beras menjadi indikator perekonomian Indonesia. Daan Marks, ekonom senior Kementerian Keuangan Belanda, mengatakan dalam kunjungannya ke Jakarta, sebagaimana dikutip Kompas (28/11/2012): "Harga beras merefeleksikan kemampuan negara dalam mengelola ekonominya. Di dalam manajemen beras ada pengelolaan konsumsi dan produksi yang sangat berpengaruh pada sektor lain."

Pengamat pertanian Khudori dalam bukunya 'Ironi Negeri Beras' menyebut beras sebagai komoditas strategis pertanian, karena usaha tani padi menjadi gantungan hidup 24,5 juta rumah tangga tani; menjadi konsumsi mayoritas warga Indonesia dengan tingkat konsumsi pada tahun 2004 sebesar 136,3 kilogram per kapita pertahun; dan 30 persen pengeluaran rumah tangga miskin dialokasikan untuk pembelian beras.

Tim Pengendali Inflasi Daerah Kabupaten Jember, Jawa Timur, mengingatkan dalam rekomendasi tahun 2011, bahwa komoditas beras memiliki kontribusi besar terhadap inflasi di Jember. Maka ketahanan stok beras menjadi faktor penting untuk mengantisipasi dan mengendalikan inflasi.

Posisi Jember sebagai gudang beras di Jawa Timur berperan dalam pengendalian melalui ketahanan stok. Tahun 2009, produksi padi di Jember mencapai 880.750 ton, tahun 2010 sebesar 845.095 ton, dan tahun 2011 830 ribu ton.

Penguatan stok pangan dilakukan dari sisi Badan Urusan Logistik dan petani sebagai produsen. Sebagai institusi milik negara, Bulog jelas sudah cukup kuat. Ia dilindungi sekian regulasi dan perangkat yang memperkukuh otoritasnya di bidang ketersediaan pangan.

Problem justru muncul di tingkat petani. Pemerintah Kabupaten Jember mencatat, terdapat 104.242 keluarga yang menggantungkan diri pada usaha pertanian padi dan palawija, dan 137.309 orang warga pada usia 18-60 tahun yang bekerja sebagai petani komoditas tersebut. Jumlah ini terbesar dibandingkan warga Jember yang menekuni profesi lain seperti perdagangan, jasa, atau peternakan.

Namun, petani tidak selamanya berada dalam posisi sebagai produsen, karena acap kali ia menjadi konsumen beras di pasar. Sekitar 60 persen petani padi adalah net consumer beras.

Saat panen raya tiba, para petani menjual semua produksi gabah ke pasar, dan tidak melakukan penyimpanan untuk kebutuhan pribadi. Jika harga pasar menguntungkan daripada harga pembelian pemerintah, gabah akan dijual ke pedagang dan bukan ke Bulog yang berkepentingan melakukan pengadaan stok.

Alhasil, saat musim paceklik, mereka tak ubahnya warga lainnya di Jember, membeli beras yang dijual di pasar, dengan harga yang lebih tinggi daripada harga dasar penjualan padi saat musim panen. Dengan populasi sebesar itu, tak aneh jika kemudian TPID melihat peran petani sebagai konsumen cukup krusial dalam pembentukan harga di pasar.

Suroto, salah satu petani Desa Bagorejo Kecamatan Gumukmas, mengatakan, banyak petani yang tak memiliki lumbung untuk menyimpan gabah atau beras setelah diselep. "Jadi mereka lebih suka langsung menjualnya langsung begitu panen," katanya.

Ini tak ubahnya sebuah ironi. Jember disebut sebagai lumbung beras Jawa Timur. Namun di kota ini, lumbung dalam arti sebenarnya tidak dimiliki para petani. Inilah 'kota lumbung beras tanpa lumbung'

Petani acap menggunakan dapur rumah sebagai tempat penyimpanan. Sekalipun memiliki gudang penyimpanan, gudang tersebut biasanya amat sederhana. "Bukan saja tidak dilengkapi dengan pengatur kelembaban udara, gudang tersebut juga tidak difumigasi, sehingga beras mudah dimakan serangga seperti bubuk atau ulat," tulis Khudori.

Ketidakmampuan membuat lumbung tak lepas dari kondisi sosial-ekonomi petani sendiri. Secara nasional, dalam sensus pertanian tahun 1993 dan 2033, jumpah petani gurem cukup besar. Tahun 1993, Badan Pusat Statistik mencatat terdapat 10,8 juta petani gurem di Indonesia atau 52,7 persen. Sementara tahun 2003, sensus mencatat ada 13,7 juta petani gurem atau 56,5 persen. Mayoritas petani gurem itu berada di Jawa. Sekitar 70 persen petani padi, terutama buruh tani dan petani skala kecil, termasuk miskin dan berpendapatan rendah.

Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Kabupaten Jember berupaya melakukan lumbungisasi. Namun keterbatasan membuat dinas itu hanya bisa menyentuh kelompok-kelompok tani, dan bukannya petani secara personal. Kelompok tani sendiri selama ini sudah berpartisipasi dalam pengadaan stok beras nasional. Di Juember, 14 gabungan kelompok tani bekerjasama dengan Badan Urusan Logistik untuk menyediakan stok tersebut.

Namun rencana peningkatan cadangan beras dari tahun ke tahun tak bisa hanya menggantungkan pada lumbung kelompok tani. TPID Jember memandang, perlu ada perluasan akses kepemilikan lumbung untuk rumah tangga petani yang bisa menampung cadangan beras.

"Dinas Pertanian sudah membuat lumbung dan lantai jemur untuk gabungan kelompok tani. Maka, sebagai anggota TPID, giliran kami menginisiasi pilot project pembuatan lumbung padi atau beras rumah tangga, dengan menggunakan dana tanggung jawab sosial kami," kata Deputi Bidang Moneter BI Jember, Dwi Suslamanto.

Sebanyak 30 rumah tangga di Desa Glagahwero Kecamatan Kalisat, Desa Wuluhan Kecamatan Wuluhan, Desa Jatisari Kecamatan Jenggawah, dan Desa Selodakon Kecamatan Tanggul mendapat bantuan pembangunan lumbung dari BI. "Petani gurem ini menjadi mitra usaha Bulog. BI ingin membantu Bulog memberi insentif kepada mitranya, agar setia menjual ke Bulog dan tidak terpengaruh pengijon," kata Suslamanto.

"Kami berkepentingan, karena Bulog sebagai anggota TPID mampu mempengaruhi harga beras atau gabah kering giling melalui operasi pasar dan raskin," tambah Suslamanto. Lumbungisasi digarap tahun 2012 ini, dan bisa berjalan saat panen padi awal tahun 2013 mendatang.

Lumbungisasi sebenarnya tak serta-merta menyelesaikan problem ekonomi di tingkat petani yang bisa berdampak pada upaya penyediaan stok. Suslamanto menyadari, stok beras atau padi di lumbung rumah tangga tak akan efektif, selama petani mengalami kesulitan ekonomi yang membuat mereka mengambil stok itu untuk dijual demi pemenuhan kebutuhan sehari-hari.

Penelitian Patanas (Panel Petani Nasional) 2004 menunjukkan sumbangan usaha tani terhadap struktur pendapatan keluarga petani tinggal 13,6 persen, dari semula 36,2 persen pada era 1980-an. Ini artinya, keluarga tani memang memerlukan tambahan pemasukan. "Kami berencana membuat program untuk pemasukan tambahan bagi para petani," kata Suslamanto. Ini untuk menyelesaikan kesulitan dana jangka pendek tanpa, sehingga tak mengganggu stok di lumbung.

Sejumlah bank sudah menyatakan bersedia mendanai program itu. Namun BI Jember belum berani melepas pendanaan kepada pihak lain. Suslamanto beralasan, pihaknya masih harus menyiapkan penguatan kelembagaan petani, terutama dalam hal manajemen, pengelolaan keuangan, dan akses pasar.

Dari sini, terang-benderang, masalah ketahanan pangan cukup kompleks. TPID Jember sendiri masih harus melihat sejumlah indikator untuk menakar keberhasilan lumbungisasi rumah tangga petani sebagai bagian dari penguatan kelembagaan pengelolaan beras.

Pertama, terinisiasinya pembangunan lumbung padi rumah tangga; kedua, tingkat permintaan beras pada masa paceklik tidak mengalami peningkatan, karena petani sudah memiliki cadangan beras pada masing-masing rumah tangga; dan ketiga, Bulog memiliki jaminan suplai dari gapoktan yang telah bekerjasama melalui fasilitasi BI Jember, dan mengalami peningkatan pasokan yang bisa digunakan untuk operasi pasar beras.

Ini semua bisa dilihat tahun 2013 mendatang, dan bagi Pemerintah Kabupaten Jember yang sempat melemparkan wacana industrialisasi daerah beberapa waktu lalu, pencapaian indikator ini menjadi penting. Sebagaimana kata peneliti Ahmad Helmi Fuady (Kompas, 28/11/2012): 'Tanpa institusi yang mampu mengelola beras yang kuat, maka mustahil industrialisasi bisa terjadi'. [wir]

No comments: