26 June 2011

Sila ke-2, Sila ke-5, dan Apa Kata Sensus

Apa boleh buat, pelaksanaan sila kedua dan kelima Pancasila dalam pembangunan Indonesia tergantung apa kata sensus penduduk. Tergantung pada akurasi database kependudukan pemerintah.

Diskusi-diskusi pemikiran di negeri ini seharusnya sudah mulai mengarahkan pada tekanan kepada pemerintah, bagaimana kita mendata penduduk secara benar dan akurat. Hari ini, kelanjutan sejak 1945, pembangunan Indonesia seperti membangun rumah di atas tanah yang selalu bergerak.

Akhirnya, Indonesia selalu diterpa marabahaya. Warga negara asing menyusup begitu mudah, sebagian menjadi teroris, tukang bom, sebagian lagi menjadi penjahat atau tukang mata-mata. Di atas kertas, pemerintah menguasai wilayah dan warga negara bernama Indonesia. Namun pemerintah kita tidak tahu banyak soal rakyatnya sendiri. Rakyat dipandang seolah-olah entitas yang given, terberi: pokoknya ada rakyat. Titik.

Obyek dan subyek pembangunan tak sempurna, dan ini mengacaukan program pembangunan. Bagaimana hendak meletakkan program berikut anggarannya secara tepat di bidang pertanian, misalnya, jika kita tidak tahu persis jumlah petani di Indonesia. Bagaimana menangani pengangguran, jika kita meraba-raba jumlah lapangan kerja yang harus diciptakan.

Anggaran pemberdayaan akhirnya untuk siapa? Langsung atau tidak, kita menjadi bangsa pembohong. Tak salah kiranya, jika kemudian Komisi Pemberantasan Korupsi menengarai perilaku korup sudah dimulai sejak penganggaran pendapatan dan belanja negara atau daerah. Saya menyebutnya: korupsi kebijakan.

Negara selalu melakukan sensus penduduk. Tapi data kemiskinan antara satu instansi dengan instansi lainnya tak seragam, dengan parameter berbeda-beda. Jadi bagaimana bangsa ini hendak mengamankan sila 'Kemanusiaan yang Adil dan Beradab' dan 'Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia', jika 'manusia' dan 'rakyat' Indonesia tidak jelas.

Tidak jelas? Ya, kita mempercayai risalah Benedict Anderson, bahwa bangsa terbentuk sebagai ikatan komunitas yang dibayangkan. Kita juga percaya wilayah sebuah negara dibatasi oleh ordinat garis maya bujur dan lintang bumi. Tapi seorang pemimpin tak boleh berhenti pada imajinasi.

Apakah itu rakyat? 'Rakyat' akrab di bibir para pemimpin. Dirapalkan dalam setiap janji kampnaye pemilu, disebut-sebut dalam pidato kenegaraan, dan dianggap sebagai bagian dari sasaran pembangunan.

Sonny Karsono, seorang akademisi, dalam tulisannya, menyebut rakyat menunjukkan bermacam petanda. Dalam kategori sosiologis, rakyat adalah pengikut pemimpin politik lokal. Pada masa Irde Baru, kata 'rakyat' jarang dilafalkan dan diganti dengan 'masyarakat'.

Tapi benarkah menyebutnya sama dengan mengetahuinya? Kewajiban mutlak seorang pemimpin di sebuah negara adalah mengetahui rakyatnya. Pertama, dia harus tahu berapa jumlah rakyatnya dengan detail. Tak cukup tahu jumlahnya, pemimpin harus tahu apa yang dikerjakan rakyatnya: bagaimana mereka menafkahi diri dan keluarga.

Seorang pemimpin haruslah tahu, tidak memimpin benda atau robot. Ia tak boleh hanya memperhatikan rakyat dari sisi untung-rugi, produktivitas, dan efisiensi. Ada nilai kemanusiaan yang harus diperhatikan. Namun bohong, jika seorang pemimpin bisa memperhatikan itu tanpa mengetahui bagaimana profil rakyatnya.

Tak bisa dibayangkan, bagaimana seorang pemimpin bisa merealisasikan janji-janjinya tentang kemakmuran, jika dia sendiri tak tahu spesifikasi rakyatnya. Artinya, dia bukan pemimpinan tapi pimpinan. Pimpinan itu tak ubahnya robot, bergerak tanpa roh, tanpa spirit. Menjalankan apa yang formal, yang tampak di permukaan, dan bukan menjelajahi akar.

Pemimpin juga harus tahu berada di wilayah manakah rakyatnya berada. Dia disebut pemimpin karena memiliki rakyat yang melegitimasinya, dan wilayah untuk diatur. Semakin tahu bagaimana wilayahnya, semakin dia bisa dipercaya menjadi pemimpin yang baik.

Tahukah presiden dan jajaran menterinya, gubernur, bupati, walikota, dan jajaran kepala dinasnya tentang jumlah rakyat Indonesia dengan benar? Ini pertanyaan yang hanya bisa dijawab dengan fakta-fakta di lapangan: tajamnya perbedaan tafsir tentang meningkatnya angka kemiskinan, berubah-ubahnya data warga miskin yang berhak menerima bantuan negara, banyaknya warga miskin yang belum tertanggung asuransi kesehatan mereka, menjawab pertanyaan itu.

Tahukah para petinggi negara ini tentang pulau-pulau Indonesia di ujung perbatasan? Tahukah bagaimana kehidupan rakyat di pulau-pulau itu? Ataukah kita lebih tahu, bahwa pulau-pulau terujung di perbatasan hanya tempat kosong yang diam-diam bisa dikuasai negara asing?

Enam puluh tahun lebih kita merdeka, kita menyepakati basis data kependudukan dan kewilayahan jauh lebih penting di atas basis data apapun. Namun enam puluh tahun lebih pula kita tak juga mampu memenuhi apa yang kita sepakati.

Pada akhirnya, jika pemerintah negara ini dibangun untuk sebuah kebenaran, rasanya perlulah kita pertanyakan kepada siapa kebenaran ini diperuntukkan. Semoga saja kita masih bisa berharap dari pemerintah yang kering imajinasi ini. [wir]

No comments: