17 June 2011

Kala Kaum Miskin Melawan Fundamentalisme Pasar

Syahdan, ada salah satu ekonom Indonesia yang membela liberalisme pasar bertemu dengan pemikir ekonomi liberal Partai Buruh di Inggris. Sang ekonom ini bertanya soal bagaimana kesenjangan antara si kaya dan si miskin bisa dipersempit.

Mulanya, sang ekonom Indonesia mengira sang pemikir liberal Inggris bakal menerapkan peningkatan pajak untuk kaum kaya. Ia salah. Ternyata sang liberalis Inggris kira-kira justru bilang seperti ini: 'kenapa kita harus berpikir mengambil dari si kaya? Kenapa kita tidak perluas saja akses si miskin agar bisa mengejar ketertinggalannya dari si kaya.'

Ekonom Indonesia kita yang tercinta itu ternganga dan langsung jatuh cinta dengan jawaban itu. Fundamentalisme pasar ternyata membuka kesempatan bagi banyak orang untuk sejajar dalam berupaya menumpuk kekayaan.

Cerita berganti.

Syahdan juga di Jember, sebuah kota di Jawa Timur, seorang perempuan bernama Sunarti yang punya bisnis kecil-kecilan bikin kue. Bencana datang menghantam. Ia harus memulai dari awal.

Andaikata, ya, andaikata, fundamentalisme pasar sebajik yang dipikirkan ekonom liberal kita yang tercinta, Sunarti tentu tak usah bersusah payah cari pinjaman ke rentenir. Cukup ke bank dan mencoba meminjam duit di sana barang satu atau dua juta.

Tapi ternyata kebajikan hanya ada di kepala. Perbankan sebagai bagian penting yang memutar roda ekonomi liberal menolak orang-orang seperti Sunarti dengan alasan manajemen risiko. Agak aneh juga sebenarnya: selama ini yang terbukti mengemplang duit triliunan rupiah adalah para konglomerat hitam, bukan orang miskin seperti Sunarti.

Untunglah ada Muhammad Yunus yang punya ide Grameen Bank. Saya tidak pernah melihat ide itu diadaptasi begitu bagus sebagaimana seperti di Jember, Jawa Timur.

Berikut reportase mengenai Bank Gakin dalam lima seri. Reportase dua tahun silam ini, tahun 2009, diganjar Prapanca Award dari Persatuan Wartawan Indonesia Jawa Timur.

http://beritajatim.com/detailnews.php/1/Ekonomi/2009-06-17/37304/Bank_Keluarga_Miskin_Bermodal_Saling_Percaya

http://beritajatim.com/detailnews.php/1/Ekonomi/2009-06-17/37354/Omzet_Bank_Keluarga_Miskin_Rp_3,3_M

http://beritajatim.com/detailnews.php/1/Ekonomi/2009-06-18/37396/Urusan_Nama,_BI_Tegur_Bank_Keluarga_Miskin

http://beritajatim.com/detailnews.php/1/Ekonomi/2009-06-22/37754/Bisa_Bantu_Posyandu,_Suwarto_Jadi_Selebritis_Desa

http://www.beritajatim.com/detailnews.php/1/Ekonomi/2009-06-27/38289/Sekoci_untuk_Mamik_dan_Rom


KOMENTAR (FACEBOOK) 22 Juni 2009

Wahyu Pratama mungkin sangat sulit memisahkan jarak keduanya,kecuali si kaya dan si miskin mau bersahabat
June 23, 2009 at 1:49am · Like

Denmas Rudi
Banyak sunarti2 lain yg bernasib sama..ada yg pedagang kecil, ada yg berprofesi petani kecil. Kalaupun mendapat pinjaman perbankan, mereka tdk pernah mendapatkan kenikmatan restrukturisasi utang seperti pengusaha kakap , ketika utangnya jatuh tempo dari bank...yg pada akhirnya aset sepetak-duapetak tanah jatuh k tangan perbankan. Ujungnya tdk ada pilihan, kalo dia kehilangan keimanan tp punya keberanian akan jadi perampok. Dan bagi yg punya secuil keimanan akan menjadi TKI...kapan pemerintah memberikan akses yg sama pada 80 persen kaum papa diindonesia? Yg bs kita lakukan adalah melakukan langkah awal spt m yunus. Menyisihkan apa yg kita peroleh dg membantu yg kurang beruntung..karena kita sbenarnya tdk begitu membutuhkan pemerintahan dinegeri ini, mereka tdk betul2 memikirkan rakyat kecil kcuali segelintir kluarga mereka sendiri. Dan akhirnya...ORANG YANG MEMBERI UTANG ITU LEBIH BAIK DARI PADA ORANG YG BERSEDEKAH.(sabda nabi) Tentunya tanpa bunga...MAU?
June 23, 2009 at 7:58am · Like

Eri Irawan kalau pemkab jember kompak, pasti hasil bank gakin lebih dahsyat.
June 23, 2009 at 5:10pm · Like

Oryza Ardyansyah
dalam usia karir jurnalisme saya yang masih hijau (7 tahun), rasanya baru tahun ini saya begitu excited melakukan liputan ekonomi. Bank Gakin yang merupakan adaptasi Grameen Bank dengan citarasa Pendalungan salah satu yang membangkitkan minat saya: ternyata masyarakat kecil bisa melawan. Tidak perlu menjadi Marxis di sini untuk bisa menulis tentang kesenjangan ekonomi. Adik kelas saya di pers kampus Eri Irawan sedikit banyak juga membuka mata saya tentang menyenangkannya sebuah reportase ekonomi.
June 23, 2009 at 6:37pm · Like

Eko Susilo salut buat bank gakin
June 23, 2009 at 9:46pm · Like

Eri Irawan
Pak Mirfano, kenapa pinjamannya ditarik pemkab? Apa tenornya memang sampai Maret 2010? Kalau memang para pengusaha mikro belum mampu membayarnya, minta reschedulling saja. Ini mekanisme wajar dalam hubungan kreditur-debitur.

Untuk sumber permodalan, apakah selama ini hanya dari pemkab saja? Oh ya, apa Pemkab Jember punya BUMD berupa BPR? Di Tasikmalaya, untuk meminimalisasi gerak rentenir, pemkabnya bikin BPR. Di Lamongan, pemkab membentuk semacam forum perbankan daerah yg mengajak cabang2 bank-bank pelat merah di Lamongan menyalurkan kredit ke pengusaha mikro. Di Lamongan ada MoU-nya, jd bank2 itu tidak lips service doang.
June 24, 2009 at 9:59am · Like

Oryza Ardyansyah Kayaknya, Jember tidak punya BUMD BPR. Stimulus datang dari Pemkab Jember. Kalau melihat prosesnya, memang agaknya proses ini juga dipandang sebelah mata... Kalah dengan PJU Rp 85 M atau bandara... Sektor riil memang selalu amblas...
June 24, 2009 at 10:48am · Like

Eri Irawan
BUMDBPR itu semestinya bisa meminimalisasi gerak rentenir. Bayangkan, rentenir itu bunganya bisa 20% per bulan. Ngalah2i DSP yg juga sangat mencekik. BUMD BPR nanti memang profesional, tp tidak melulu profit oriented. Beri bunga yg wajar, atau setara dgn commercial rate utk korporasi, ya sekitar 12-13%.

Tp itu tidak cukup. Bupati harus memaksa pemain besar di Jember utk memberikan pendampingan ke sektor mikro. Misal, pengusaha mikro bidang makanan (warung kecil2an) sebulan sekali dikumpulkan dan diberi pelatihan oleh tim koki Hotel Bandung Permai atau hotel2 lain dan resto2 besar di Jember. Mulai dari manajemen bahan baku makanan dsb sampai resep2 yg baru, jd para pengusaha mikro kelas warung itu bisa terus berkembang. Pemkab beri fasilitas kecil2an, semacam celemek. Memang sepele, tp calon konsumen merasa kalau warung itu menjaga kebersihan. Walikota Solo Joko Widodo pernah bercerita ttg hal ini waktu saya wawancarai dulu.

Go, go, go! Maju terus! If there is a will, there is a way...
June 24, 2009 at 11:27am · Like

Oryza Ardyansyah Husss,... bupati dilarang memaksa... dimarahi orang neolib yang doyan lihat orang pakai celana bolong tiga... Kata orang neolib: biarkan saja mereka bersaing, pasar yang menentukan... kalau mampus, mampus aja sekalian...
June 24, 2009 at 3:31pm · Like

Abdus Setiawan yang sedikit di atas miskin bagaimana, bos? apa dibiarkan "diuntal bank thithil"? hehe
July 3, 2009 at 5:53pm · Like

Achmad Syaifuddin Penarikan modal 'besar-besaran', biasanya, meski tak biasa, ada unsur lain. Bagiaman kalo itu terkait politik. Hal itu yang mungkin membuat empunya 'gerakan' bilang nggak tahu; ato pura-pura enggak tau.
July 14, 2009 at 1:22pm · Like

No comments: