29 June 2011

Kentang Madu, Bulan Madu yang Gagal,
dan Sebuah Rumah di Tahun 1927


Di ketinggian 1.550 meter di atas permukaan laut, rumah itu berdiri tegak sejak tahun 1927. Di tengah-tengah kebun Kalisat Jampit PT Perkebunan Nusantara 12, Desa Jampit Kecamatan Sempol, rumah ini dulu dihuni keluarga Belanda yang mengendalikan perkebunan kopi.

Bebatuan yang menyusun rumah itu masih asli. Lantainya terbuat dari kayu. Sebagian dindingnya demikian juga. Di depan rumah itu terhampar rerumputan dan taman bunga. Pohon cemara menjulang, dan sebuah pohon beringin berusia ratusan tahun tak terusik di sana. Gunung Raung terlihat dari sini.

Sejak tahun 1990, rumah itu disebut Guest House Jampit dan disewakan menjadi tempat peristirahatan bagi para wisatawan. Saya mengunjungi rumah itu Jumat pagi pekan lalu bersama beberapa jurnalis lainnya, dan disambut sebuah nyala api di perapian. Hangat di tengah udara dingin. Saat malam, suhu di sini bisa mencapai 3-6 derajat celcius.

Di meja, sudah tersedia dua teko kopi dan teh panas, dan segelas madu. Sebuah piring berisi kentang-kentang rebus yang belum terkupas dengan tekstur empuk. "Kentang madu adalah tradisi di sini. Madunya adalah madu kopi," kata Agus Supriadi, seorang pegawai PTPN 12 yang menemani para jurnalis.

Saya baru pertama kali menikmati kentang yang dicocolkan ke madu. Manis, lembut. "Thank you very much for the unforgettable welcoming. We loved guest house and also the potatoes with honey. No need to mention the coffee of course absolutely divinal," tulis pasangan Marlo Pereira dan Sara Wong, pasangan dari Lisbon Portugal, 10 Mei 2007, di buku kenangan para tamu.

Saya memuji manis madu kopi itu. "Madu ini tidak diproduksi masal, karena kelangkaan penting untuk wisata. Orang hanya mendapatkan madu ini jika berkunjung ke sini," kata Agus.

Saya mencium bau mi rebus. Tak lama, dari dapur, pelayan membawa nampan berisi beberapa piring mi rebus hangat.

Bagi sebagian orang, berkunjung ke rumah tua itu adalah untuk menyemai kenangan. Agus bercerita tentang Frans Aferleken, seorang warga Belanda, yang datang ke sana. Usianya sekitar 80 tahun, dan pernah tinggal di sana pada masa kecil. "Dia bercerita, di sini dulu ada semacam danau," katanya.

Pejabat dan pengusaha dari Jakarta menginap di sana untuk mencari ketenangan. Harga sewa Rp 2 juta per malam yang dipatok pengelola dinilai sangat murah. Mereka biasanya datang bersama keluarga besar. Rumah tersebut terdiri atas empat kamar dengan ranjang yang besar. Di sana mereka mengadakan pesta barbekyu.

Rumah besar ini juga menjadi tempat bulan madu bagi pasangan muda. "Dingin sekali. Bulan madunya gagal," tulis Asmy Utami, salah satu tamu, di buku kenangan. Saya tertawa membacanya.

Sebagian besar tamu menginginkan agar bentuk dan ornamen rumah itu dipertahankan, tidak dimodernisasi. Namun ada yang mengeluhkan gelapnya lampu di kamar mandi. Agus mengatakan, jika siang listrik memang dimatikan. "Jika malam, listrik di sini pakai genset," jelasnya.

Tamu juga mengeluhkan kondisi akses jalan menuju tempat itu yang rusak dan bergelombang. "Jalan masuk parah, penunjuk arah minim. Perlu ada fasilitas hiburan lain dan rute terdekat menuju gunung diperbaiki," tulis salah satu tamu.

Jalan dari Bondowoso menuju wilayah perkebunan memang rusak berat, saat melintasi wilayah perhutani. Perjalanan menjadi lambat, dan jarak Bondowoso hingga Jampit bisa memakan waktu tiga jam. Untuk soal ini, Agus tak bisa banyak berkomentar. Namun soal hiburan lain, ada perbedaan pendapat antara wisatawan asing dan lokal. Wisatawan asing cenderung lebih suka menikmati suasana.

"Ketika orang kita ingin ramai-ramai nonton televisi, wisatawan asing malah datang baca-baca sedikit, dan jam setengah sembilan malam masuk kamar," kata Agus. Pengelola tentu harus pandai-pandai berkompromi dengan permintaan yang berbeda-beda ini. [wir]

1 comment:

Nuran Wibisono said...

Si Agus iku pak lekku mas :D