18 May 2011

Wah, Bayangkan Intel Indonesia Seperti James Bond

Intelijen Indonesia sudah saatnya berlaku seperti James Bond, dan berhenti memata-matai gerakan mahasiswa maupun gerakan buruh.

Intelijen Indonesia tidak boleh lagi terpaku pada model lama yang dipakai rezim Orde Baru. "Intelijen Indonesia saya bayangkan seperti James Bond. Intelijen yang kita bangga. Intelijen yang menyadap informasi ekonomi dari negara lain, informasi kemajuan teknologi terbaru semacam itu," kata sejarawan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Asvi Warman Adam, usai acara seminar di Gedung Sutardjo Universitas Jember, Rabu (18/5/2011).

Menurut Asvi, Undang-Undang Intelijen seharusnya diarahkan untuk aktivitas ke luar negeri, menghadapi dunia internasional. Jangan sampai intelijen digunakan untuk kepentingan politik dalam negeri.

Intelijen model lama terkesan membina gerakan seperti Negara Islam Indonesia. Asvi mengingatkan, tahun 1974, orang-orang Darul Islam yang memiliki hubungan genealogi dengan NII dibina Ali Murtopo, salah satu pemrakarsa operasi khusus, untuk kepentingan kasus Malari. Dalam peristiwa Malari, unjuk rasa mahasiswa berakhir dengan kerusuhan.

Sebenarnya bukan cuma Asvi yang curiga soal NII dipelihara intelijen. Kecurigaan ini juga dikemukakan Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Partai Keadilan Sejahtera Jawa Timur, Hamy Wahyunianto, Rabu (4/5/2011).

"Memang biasa dalam dunia intelijen, terjadi pembiaran, yang nanti suatu saat akan dipakai lagi untuk kepentingan tertentu. Kami berharap di era kepemimpinan Pak SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) ini tak terjadi seperti ini," kata Hamy.

Kepentingan intelijen ini tak bisa ditebak. Ia mencontohkan penangkapan Osama Bin Laden, pimpinan Al-Qaida. "Amerika serikat dengan kekuatan satelit luar biasa, kenapa butuh waktu 10 tahun untuk menangkapnya?" katanya.

Namun, Hamy sendiri optimistis di masa SBY tak ada kebijakan memainkan isu NII sebagai kepentingan intelijen. Andaikata ada, itu hanyalah oknum, bukan kebijakan resmi negara.

Kecurigaan Hamy bukannya tanpa dasar sejarah. Buku Ken Conboy berjudul Intel: Inside Indonesia's Intelligence Service, terbitan Equinox tahun 2004, mengungkapkan, bahwa pemerintah Indonesia tak selamanya memberangus kelompok radikal Islam. Bahkan, kelompok Komando Jihad dimanfaatkan oleh pemerintah untuk melanggengkan kekuasaan.

Conboy adalah seorang country manager dari Risk Management Advisory, sebuah perusahaan konsultan keamanan di Jakarta.

Dalam bukunya, Conboy menjelaskan, Komando Jihad berakar dari sisa-sisa kelompok Darul Islam pimpinan Sekarmaji Marijan Kartosuwirjo, yang bercita-cita mendirikan Negara Islam Indonesia (NII). Gerakan Darul Islam dan NII berhasil dipadamkan, setelah Kartosuwirjo dibekuk tahun 1962.

Namun Darul Islam tak langsung diberangus, karena sejumlah faksi di tubuh Angkatan Bersenjata RI, seperti Ali Moertopo yang memimpin Operasi Khusus, justru menggandengnya untuk menghadapi komunis. Opsus adalah sebuah unit dalam Komando Intelijen Negara (KIN) yang bertugas melawan Persemakmuran (Inggris dan sekutunya). Unit ini dibentuk khusus serta bertanggungjawab kepada Soeharto sebagai komandan operasi pemulihan keamanan dan ketertiban pasca kudeta 30 September 1965.

Semasa Orde Baru, untuk kepentingan intelijen, para mantan Darul Islam mendapat konsesi ekonomi, berupa hak distribusi minyak tanah untuk wilayah Jawa dari negara. Wilayah-wilayah distribusi penting ini ditawarkan kepada pemimpin Darul Islam yang lantas memberikan hak distribusi lokal kepada simpatisan mereka. [wir]

No comments: