18 May 2011

Mari Kita Bicara Soal Anak Kucing di Loteng Rumah Saya

Mari kita bicara soal anak kucing di loteng rumah saya. Saya lagi bosan ngomong soal politik atau intrik perebutan ketua umum PSSI. Jadi ngomong soal kucing tampaknya lebih menenangkan hati.

Begini. Tiga hari lalu, istri saya yang cantik dan baik hati menemukan empat ekor kucing kecil di dalam bak plastik yang lama tak terpakai. Kebetulan beberapa hari sebelumnya, istri saya sering memergoki kucing betina yang tengah hamil seliweran di dalam rumah.

Empat ekor kucing yunior itu dua di antaranya berwarna hitam pekat. Dua sisanya berwarna loreng abu-abu alias kembang telon, orang Jawa bilang. Kelihatannya mereka baru saja dilahirkan. Ini dilihat dari ukuran tubuh yang masih mungil dan mata mereka masih tertutup rapat.

Saya lantas berinisiatif memindahkan bak berisi empat kucing yunior itu ke loteng rumah. Saya tak menyentuh kucing-kucing itu sama sekali. Saya ingat kata orang-orang: jangan sentuh kucing yang masih bayi, karena emak kucing nantinya tak akan mau menyentuhnya. Mungkin kalau ada bau manusia, emak kucing agak alergi. Memindahkan empat anak kucing sukses.

Keesokan harinya saya cek keberadaan empat kucing yunior itu. Saya menyebut mereka Four Brothers (seperti judul film yang bercerita soal empat anak yatim yang diasuh seorang emak di kawasan pinggiran kota).

Aduh, saya hanya menemukan satu kucing yunior yang berbulu hitam pekat yang tersisa. Tiga kucing yunior lainnya sudah tak berada di tempatnya. Istri saya bilang: mungkin tiga kucing yunior itu dipindahkan ke tempat lain oleh emak mereka. Tapi kenapa si hitam ditinggal? Tidak ada yang bisa menjawab.

Setiap hari, setiap malam, si hitam yunior hanya mengeong-meong, mencari sang emak. Istri saya belum berani memberi susu. "Nanti kalau emaknya balik bagaimana?" katanya, berharap ini hanya masalah kelupaan. Maksudnya, si emak kucing lupa kalau punya anak empat.

Namun setelah tiga hari, yakinlah kami, memang si emak kucing sengaja menelantarkan si hitam yunior. Istri saya yang baik itu akhirnya memberikan sedikit susu formula anak saya untuk diminum si hitam yunior.

Kami tak tega membuang si hitam yunior. Kasihan masih belum bisa melihat. Lagipula kini anak-anak saya sudah akrab dengan suara kucing itu.

Namun saya selalu penasaran kenapa pula emak kucing meninggalkan si hitam yunior ya? Saya ingat dengan reporter Majalah The New Yorker, Malcolm Gladwell. Reporter berambut mirip Giring Nidji itu punya angle nyeleneh dalam tulisannya. Ia hendak menulis kisah tentang Cesar Millan tentang pawang anjing. Bedanya dengan penulis lain: ia ingin tahu apa yang dipikirkan si anjing saat melihat Millan menjinakkannya.

Tapi bagaimana pula saya bisa mengetahui apa motif si emak kucing meninggalkan anaknya? Biasanya yang meninggalkan para kucing yunior setelah dilahirkan justru bukan emak kucing, tapi para kucing jantan. Para kucing jantan dan kucing betina menjengkelkan di kala musim kawin, karena bisa sangat berisik di malam hari.

Teman-teman saya di Facebook mencoba memberi jawaban soal motif emak kucing, walau saya tahu mereka bukan kucing. Salah satu teman berkata di Facebook saya: mungkin anak haram. ("Tapi memangnya ada anak halal kucing?")

Teman Facebook saya lainnya berkata: "Maknya pasti asli Jember tuh, khan Jember termiskin Se-Jawa Timur." (Teman saya satu ini aktivis LSM, selalu protes masalah kemiskinan di Jember. Mungkin saja memang emak kucing ini tersensus sebagai bagian dari kelompok kelas miskin yang patut dapat subsidi).

Yang paling menyentuh, tentu saja komentar teman saja, Si Maria Ulfa. "Nyaris sama dengan anak manusia yang dibuang di atas genteng oleh ibunya sendiri." Ia habis menontonnya di tayangan berita di salah satu stasiun televisi.

Saya memang pada akhirnya teringat dengan beberapa kasus pembuangan anak di Jember beberapa waktu lalu. Ada anak yang ditemukan dalam keadaan hidup di halaman rumah orang. Ada pula anak yang tewas dalam keadaan telanjang di dalam parit. Semua anak itu masih berstatus bayi, alias baru saja dilahirkan dan umurnya masih dalam hitungan hari atau pekan setelah dilahirkan.

Mereka yang membuang bayi-bayi mereka, setelah diusut polisi, ternyata sebagian besar (untuk tidak mengatakan semua) dikarenakan rasa malu. Bayi-bayi itu lahir di luar hubungan nikah resmi. Alangkah malangnya bayi-bayi itu. Diakui sebagai anak, jika dilahirkan berdasarkan hubungan seksual yang disahkan surat berstempel otoritas negara.

Apa emak kucing juga punya rasa malu ya? Entahlah. Yang terang, si hitam yunior masih mengeong-meong di loteng rumah saya. [wir]

Post Factum
Beberapa hari setelah esai ini dimuat di beritajatim.com, 18 Mei, kucing kecil itu mati. Saya menguburnya di sebuah tanah kosong, di bawah pohon pisang. Istri saya membungkusnya dengan sebuah kain, karena kasihan.

No comments: