01 May 2011

Sepakbola...Working Class Hero

Marc Thiessen, jurnalis dan kolumnis Amerika Serikat, sebagaimana layaknya warga negara itu, melihat sepakbola sebagai sesuatu yang ganjil. Mengapa mayoritas warga dunia bisa begitu tergila-gila dengan soccer (sebutan untuk sepakbola yang di belahan dunia lain disebut football), dan warga Amerika justru menyukai football (yang sebenarnya di belahan dunia lain dimaknai permainan mirip rugby)?

Thiessen bertemu dengan sobatnya yang pernah duduk di pemerintahan, dan merasa punya jawaban yang tepat: sepakbola adalah olahraga kaum sosialis.

Dalam artikelnya, Thiessen menyebut sepakbola (soccer dan bukan American Football) sebagai satu-satunya olahraga di dunia yang memiliki 'hooligans'. "Sebuah gerombolan kaum proletar yang menghancurkan barang-barang milik pribadi saat tim mereka kalah."

Thiessen, sebagaimana orang Amerika Serikat lainnya, bisa jadi memiliki biasa (ia menyebut sepakbola lebih membosankan daripada tenis). Namun melekatkan sepakbola dengan kelompok proletar (kaum buruh dan kelas di luar borjuis), ia tak selamanya berlebihan, walau keliru juga menganggap karena faktor itulah hooliganisme muncul. Penelitian di Inggris menunjukkan, sebagian hooligan di Skotlandia adalah anggota kelas sosial menengah dan kelas pekerja atas yang sangat stabil.

Namun harus diakui, di sejumlah negara di Eropa dan Amerika Latin, bahkan di Indonesia, sepakbola adalah sarana hiburan masyarakat kelas pekerja, dan klub sepakbola adalah tempat mereka mengidentifikasikan diri. Jadwal pertandingan Liga Inggris digelar pada Sabtu dan Minggu sore, untuk memberikan kesempatan kepada para buruh untuk meluapkan kelelahan mereka dengan menyaksikan para jagoan mereka mencetak gol.

Tontonan sepakbola di Inggris adalah perpaduan bir dan kaum buruh. "Mentalitas pekerja pabrik...adalah pandangan bahwa pada Sabtu malam adalah akhir dari hari-hari kerja dan karenanya adalah saat yang baik untuk gila-gilaan," demikian ditulis Kuper dan Syzmanski, mengutip dari Alex Ferguson, manajer Manchester United.

Kaum pekerja meriung di pub atau klub minum sebelum berangkat ke stadion bersama-sama, sembari menyanyikan lagu-lagu pujian untuk klub sepakbola mereka. Atau, jika tidak, mereka nonton bareng siaran langsung, sembari terus mengalirkan bir di gelas-gelas besar.

Sao Paulo, sebuah kota besar di Brasil, memiliki tiga klub sepakbola sukses: Sao Paulo, Corinthians, dan Palmeiras. Semua berawal saat tahun 1894, Charles Miller, seorang anak keluarga berada, menggelar pertandingan antara pekerja kereta api, bank, dan perusahaan gas.

Kisah klub sepakbola di Rusia juga kisah tentang konflik kaum buruh dan negara. Lokomotive Moskow pada masa lalu berhubungan dengan para buruh kereta api, yang berhadapan dengan CSKA yang memiliki hubungan dengan tentara dan Dynamo yang berhubungan dengan KGB, agen rahasia Soviet.

Internazionale Milan memiliki pendukung ideologis dari kaum intelektual sayap sosialis. Comuna Baires, seorang sutradara pendukung Inter, menyebut klub idolanya itu memiliki falsafah anti-kapitalisme (dalam hal ini anti-Bush, anti-Berlusconi, anti-Amerika). Sebagian pendukung Inter adalah pendukung Partai Komunis dan akrab dengan teori hegemoni Antonio Gramsci, intelektual sayap kiri legendaris Italia.

Rivalitas klub juga tak beranjak dari urusan ekonomi. Di Inggris, kebencian para pendukung Liverpool terhadap Manchester United, berawal dari kemarahan buruh-buruh galangan kapal kota itu terhadap para pengusaha Manchester.

Manchester kerap disebut dalam buku Marx dan Engels, duet ideolog sosialisme dunia, untuk menceritakan proses industrialisasi dan teori alienasi. Manchester adalah kota utama dalam revolusi industri abad 18 yang menghasilkan katun. Sementara Liverpool adalah pelabuhan dagang paling sibuk di Inggris, yang menghubungkan negeri itu dengan dunia.

Saat krisis ekonomi dan depresi terjadi, Manchester terkena imbas. Terjadi migrasi buruh besar-besaran. Liverpool menjadi sasaran kambing hitam terkait tingginya pengenaan tarif impor katun kasar yang akan diproses di Manchester. Pengusaha di Manchester ambil jalan pintas, dan membuka sendiri pelabuhan dan menghantam pemasukan warga Liverpool, terutama para buruh galangan kapal. Sampai saat ini, urusan sepakbola menjadi representasi rivalitas dua kota yang hanya berjarak 35 mil itu.

Pemilik klub sepakbola sendiri agaknya menyadari, bahwa basis suporter mereka mayoritas berasal dari kelas buruh. Borussian Dortmund, misalnya, menawarkan kursi gratis bagi para pekerja baja. Pemain Liverpool pun menunjukkan slogan dukungan kepada pekerja pelabuhan Merseyside yang dipecat, menyusul perselisihan dengan para pengusaha industri besar.

Dari sini kemudian berkembang anggapan, bahwa kelas buruh adalah kelompok penting yang menyumbangkan pemain untuk klub. Penelitian Simon Kuper dan Stefan Szymanski menunjukkan, sepakbola Inggris tergantung pada pasokan pemain dari kelas buruh. Hanya 15 persen pemain tim nasional Inggris pada Piala Dunia 1998-2006 yang berasal dari kelas menengah (kelas dengan pendidikan dan jenis pekerjaan yang baik).

Industri sepakbola bukan hanya digerakkan oleh kelas buruh dari sisi penonton, tapi juga peralatan. Bola-bola sepak yang digunakan dalam pertandingan kelas dunia, ternyata diproduksi oleh buruh-buruh anak negara dunia ketiga.

Namun tak selamanya kaum buruh mendapat tempat utama dalam panggung sepakbola. Inter Milan boleh saja diisi barisan kaum intelektual sosialis. Namun itu tak mengubah kenyatan, bahwa klub pujaan mereka milik juragan minyak.

Semakin baik tingkat ekonomi suatu negara, yang berimbas pada perbaikan tingkat pendidikan, maka kelas pekerja industri semakin terkurangi dan angkatan kerja kerah putih (pekerja kantoran) semakin bertambah. Chelsea adalah contoh klub yang mengalami perubahan itu.

Franklin Foer dalam bukunya menyebut Chelsea 'lama' adalah klub yang memiliki citra keras, dengan pendukung yang menyukai kekerasan. Namun Roman Abramovich mengubah Chelsea menjadi klub kosmopolitan daripada klub tradisional Inggris. Stadion Stamford Bridge kini dikelilingi toko-toko mentereng. Harga tiket semakin mahal, menyingkirkan kelas pekerja dan menggantikannya dengan suporter dari kaum eksekutif muda di stadion.

Bagaimana dengan di Indonesia? Saya belum menjumpai penelitian detail soal hubungan kelas buruh dan sepakbola. Namun seorang sosiolog pernah bercerita, soal bagaimana para buruh kebun di Sumatra Utara mengidentifikasikan diri dan kebanggaan mereka dengan PSMS Medan atau PSDS Deli Serdang. Saya tak bisa membayangkan bagaimana perasaan para pendukung PSDS, saat klub itu mengundurkan diri dari kompetisi karena tak punya biaya.

Beberapa suporter Persebaya, yang meninggal dunia saat memberikan dukungan kepada klub kesayangannya, berasal dari keluarga urban kelas bawah. Orang tua mereka bekerja sebagai buruh alias bukan pemilik moda produksi. Sebut saja Suhermansyah yang tewas di stadion Mandala Jogjakarta tahun 1995 dulu adalah seorang satpam. Pemain Persebaya di antaranya juga berasal dari kelas bawah, seperti bintang muda Andik Vermansyah.

Namun sebagaimana di Inggris, pergeseran dunia sepakbola Indonesia menjadi lebih profesional akan memiliki konsekuensi terhadap para penonton, terutama dari kelas bawah dan kelas pekerja. Jika kelak klub disapih dari dana negara, maka klub harus menghidupi diri dari sponsor, dana pemilik (saham) klub, dan dari tiket penonton.

Meniru apa yang terjadi di Chelsea, pada masa mendatang, sepakbola profesional dalam arti sebenarnya di Indonesia, sedikit banyak akan membuat para pekerja kelas bawah tersisih.

Tak tertutup kemungkinan para penonton pada masa mendatang harus membayar lebih mahal daripada hari ini untuk menyaksikan klub mereka bermain. Sementara itu, kenaikan upah minimum yang mereka terima setiap tahun tak seimbang dengan besarnya biaya hidup mereka yang makin tinggi akibat naik turunnya inflasi. Membeli tiket pertandingan hanyalah salah satu opsi terakhir untuk membelanjakan uang mereka.

Klub-klub di kota besar seperti Persebaya dan Persija bisa kehilangan basis pendukung utamanya dari kelas pekerja, jika kelak pabrik-pabrik atau perusahaan memilih melakukan rasionalisasi jumlah pegawai. Perusahaan menggantikan manusia dengan mesin agar lebih efisien, atau perusahaan mengubah diri menjadi perusahaan yang hanya bertugas merakit kiriman produk impor dari luar tanpa memproduksi sendiri.

Hari ini, kita berterima kasih kepada orang-orang baik yang bersedia membuka klub kecil untuk pembinaan dengan biaya sendiri. Di sebuah kampung di Surabaya, hiduplah seorang warga yang membiayai semacam sekolah sepakbola hanya karena hobi. Ia memungut uang ala kadarnya kepada para siswanya, bahkan menggratiskannya jika si siswa dari keluarga tak mampu.

Pada masa mendatang, akankah klub atau sekolah sepakbola yang bertumpu pada filantropi semacam ini akan bertahan? Sementara itu, di Indonesia bermunculan akademi-akademi sepakbola, sebagian besar waralaba dari klub asing, yang ongkos masuknya sama mahalnya dengan ongkos masuk perguruan tinggi.

Akankah bakat-bakat alam pemain sepakbola dari msyarakat kelas buruh akan tergeser dengan anak-anak dari kelas menengah atas? Ataukah anak-anak itu hanya cocok bekerja di pabrik untuk membuat bola kulit? Bisakah anak-anak berbakat dari kalangan bawah akan bisa bersaing dengan kelas menengah atas, jika dalam urusan pemenuhan gizi di masa kecil saja mereka kesulitan.

Masa mendatang menghadirkan semua kemungkinan. Dan saya belum siap menjawab bagaimana kita akan menghadapi kemungkinan-kemungkinan terburuk itu. Saya hanya berharap, ekonomi kita membaik dan derajat hidup kaum buruh terangkat, sehingga bisa nonton sepakbola profesional dengan tiket semahal apapun. Maafkan saya.

As soon as you're born they make you feel small
By giving you no time instead of it all
Till the pain is so big you feel nothing at all
A working class hero is something to be
A working class hero is something to be

(John Lennon, Working Class Hero)

Selamat Hari Buruh Sedunia. [wir]

No comments: