09 May 2011

Gonzales di Minggu Sore

Minggu (8/5/2011) sore yang meriah. Jalan Sultan Agung diblokir sekitar satu kilometer. Tidak ada kendaraan lewat, dan jalan utama di tengah kota Jember itu menjadi lapangan bermain.

Anak-anak kecil berpakaian jersey warna merah tim nasional bernomor punggung 9: Gonzales. Mereka memainkan bola plastik, menendang di tengah jalanan. Melakukan juggling (memainkan bola dengan kaki dan sedapat mungkin bola tak menyentuh tanah), dribling (menggiring bola).

Sementara, remaja-remaja tanggung memilih kongko-kongko di trotoar. Begitu juga orang-orang yang lebih tua. Sebagian toko memilih tutup. Tukang bakso, penjual kupang lontong, dan penjual susu gelasan mengharap rejeki lebih banyak sore itu.

Dua anak kembar berpakaian jersey Christian Gonzales berjalan bersama ibunya. Mereka, Asraf dan Aslam, berjalan menuju alun-alun. Di sudut lain, Adi (masih berusia lima tahun) bersama ayah dan ibunya juga bergegas menuju tempat yang sama. "Tadi ketemu Gonzales di atas panggung, dan menyapa: Halo Gonzales. Anak saya memang berani," kata sang ayah bangga.

Demam Gonzales. Ini bukan sejenis demam yang berbahaya. Tak perlu termometer untuk mengukur suhu tubuh, karena ini menyangkut kegairahan. Juga kegembiraan.

Seorang kawan menggerutu, mengapa jalan utama tengah kota harus ditutup hanya untuk seorang Cristian Gonzales. Ia memerkirakan pemilik toko akan mengeluh. Mungkin dia benar, pemilik toko akan mengeluh. Namun saya ragu, keluhan beberapa jam sepadan dengan kegembiraan yang saya lihat di mata anak-anak itu.

Sepanjang sejarah, jujur saja, baru dua pemain nasional Indonesia yang mampu membangkitkan kegairahan dan semangat, membuat orang menyambut mereka seperti artis: Cristian Gonzales dan Irfan Bachdim. Ini sejenis ironi, karena yang pertama adalah warga Uruguay yang dinaturalisasi menjadi pemain tim nasional, dan satunya lagi seorang blasteran Indonesia-Belanda ganteng.

Terakhir, saya melihat sambutan meriah masyarakat untuk sepakbola saat Persatuan Sepakbola Indonesia Djember (Persid) menjadi juara Divisi II tahun 2002. Tentu saja, keramaian macam Jember Fashion Carnaval, sebuah acara fesyen jalanan, mampu membetot ratusan ribu orang. Lebih banyak daripada yang bisa dilakukan Gonzales. Tapi tetap saja, ini kehebohan tak terkira.

"Tidak pernah seperti ini. Biasanya suporter sepakbola. Ini yang pertama," kata Gonzales kepada salah satu pelatih klub sekolah sepakbola.

Gonzales datang memenuhi undangan Journalist Pro, sekelompok jurnalis Jember, untuk merayakan ulang tahun Sevendream, sebuah kelompok bisnis di Jember. Rencananya, Gonzales akan menggiring bola sejauh kurang lebih satu kilometer menuju alun-alun bersama warga Jember. Tak aneh, jika sore itu, banyak anak kecil membawa bola sepak, mulai dari yang plastik sampai kulit.

Acara giring bola batal. Panitia lebih memilih mengarak pemain Persib Bandung itu di atas jip terbuka. Jip bergerak lamban. Gonzales berada di barisan terdepan, sibuk melayani lambaian dan uluran tangan warga di tepi jalan yang meminta bersalaman. Sementara di belakang, kendaraan terbuka lainnya membawa duet musisi The Virgin yang baru saja tampil di atas panggung, sebelum Gonzales datang.

Di alun-alun, Gonzales disambut bak pejabat. Panitia menyiapkan terop dan sofa. Sebuah lapangan sepakbola mini dengan dua gawang disiapkan. Penonton berkerumun. Ada yang membawa perangkat drum dan menyanyikan lagu-lagu khas suporter: 'Cristian Gonzales, Cristian Gonzales, kami haus golmu'. Di sisi lain, anak-anak kecil dan remaja berpakaian hijau-hijau membentangkan bendera Persebaya Surabaya.

Gonzales tak banyak berkata-kata saat diminta memberikan sambutan. Ia justru memilih membisikkan sesuatu ke telingan Eva Siregar, istrinya. "Dia bahagia dengan sambutan fantastik ini. Ini sambutan kedua (yang heboh) setelah AFF Cup," kata Eva, disambut tepuk tangan orang-orang yang berada di alun-alun.

Saatnya coaching clinic. Semestinya, Gonzales menunjukkan kemampuannya menendang bola kepada anak-anak Sekolah Sepakbola Jember Putra Indonesia yang sedari tadi sudah menunggunya di alun-alun. Namun, dengan mengenakan pakaian kasual (t-shirt hitam dan blue jeans), ia tampak canggung untuk menendang bola di atas lapangan rumput yang becek dan dipenuhi lumpur.

"Sia-sia sudah saya dan teman-teman menggaris lapangan dengan kapur. Ternyata hujan tadi," kata Mulyanto, pemilik SSB Jember Putra Indonesia.

Namun, Mulyanto menghibur diri. Bukankah lapangan sepakbola di Liga Super Indonesia juga kondisinya sama parahnya dengan alun-alun Jember jika diguyur hujan? Saya agak kecewa juga sebenarnya. Namun orang-orang yang berjubel di tepi lapangan agaknya tak peduli dengan urusan teknis sepak-menyepak. Mereka lebih suka menatap wajah Gonzales dari dekat.

Santoso, bekas pelatih Persid, mengomando anak-anak SSB untuk menendang dan menggocek bola sebagaimana dicontohkan Gonzales. Gonzales memerhatikan sembari bercakap-cakap dengan M. Sandi dan Wawan, dua pelatih Jember Putra lainnya.

Wawan menunjuk seorang pemain. "Dia perempuan. Namanya Dewi," katanya. Gonzales tampak terkesan.

"Wajahnya mirip Atep (pemain Persib Bandung)," sambung Sandi. Gonzales menganggukkan kepala beberapa kali.

Dewi Purnamasari, kelahiran 17 Maret 1997. Ayahnya, Abdul Rohim, adalah tukang becak. Ibunya, Suryati, bekerja menjadi buruh tani. Ia sendiri duduk di bangku kelas 1 SMP Negeri 8. Ia menyukai Cristiano Ronaldo, Irfan Bachdim, dan tentu saja Gonzales. Dari kakaknya dan sepupunya, ia mengenal sepakbola.

Dewi tak canggung menggiring bola, saat bermain game dengan rekan-rekannya laki-laki. "Dia dipersiapkan untuk Piala Danone dan junior camp AC Milan," kata Mulyanto, memuji bakat anak asuhnya yang berposisi penyerang itu.

Dalam game selama 15 menit sore itu, Dewi dan Gonzales satu tim. Anak-anak itu bersemangat berebut bola, menggiring, dan menendangnya. Sementara Gonzales lebih banyak berlari-lari kecil. Ia hanya menerima umpan dan menggocek bola sebentar tiga kali. Anak-anak jarang memberinya umpan. Namun, Gonzales mencetak gol yang mengakhiri pertandingan.

"Saya bangga bisa bertemu Gonzales," kata Dewi. [wir]

No comments: