12 May 2011

Garcinia Dulcis

Di salah satu sudut kota Solo, sebuah memomentum untuk mengakhiri perselisihan bisa ditandai dengan apapun. Dan, kita tahu, momentum awal itu berasal dari Garcinia Dulcis.

Garcinia Dulcis. Orang menyebutnya pohon apel Jawa. Ini tanaman yang dipercaya asli Indonesia, menyebar ke Kalimantan, Thailand, dan Filipina. Hari ini, tak banyak orang yang tahu bagaimana tanama ini. Sebagian referensi menyatakan tanaman ini sudah langka. Sama langkanya dengan momentum yang terjadi Jalan Kolonel Sugiono 37.

Hari itu, Sabtu, 8 Januari 2011, mereka bertemu, dua kelompok yang sempat berselisih: Pasoepati dan Bonek. Pasoepati adalah kelompok suporter asal Solo yang identik dengan warna merah, dan Bonek dikenal sebagai suporter Persebaya yang identik dengan warna hijau.

Tahun 2000, ribuan Pasoepati pernah menyaksikan langsung pertandingan Pelita Solo di Gelora 10 Nopember, markas Persebaya. Tak ada keributan saat itu. Namun seiring berjalannya waktu, terjadi perseteruan. Banyak versi tentu soal hal-ihwal awal perseteruan. Namun yang terang, setiap kali melintasi Solo, selalu terjadi perang batu antara Bonek yang naik kereta api dengan Pasoepati.

Namun setiap pertempuran, setiap perselisihan, akan menemui titik puncaknya. Dan semua orang kemudian akan mulai berpikir: untuk apa semua pertikaian itu. Maka hari itu, pohon Garcinia Dulcis setinggi satu meter menandai itikad untuk menyudahi peperangan. Ini seperti pipa asap perdamaian suku Indian di Amerika.

"Ini tetenger, karena pohon ini lambat laun akan menjadi besar dan menjadi catatan sejarah," kata Mayor Haristanto, mantan Presiden Pasoepati kepada saya.

Kenapa pohon apel Jawa? "Wah, aku punyanya itu," kata Mayor, tertawa.

Garcinia Dulcis punya nama baru di sana: Pohon Cinta Pasoepati-Bonek.

Momentum Garcinia Dulcis menggelinding, membesar seperti bola salju. Banyak yang pesimis perdamaian akan tercapai, bahkan di tubuh Pasoepati sendiri. Namun seperti kata Mayor: itu langkah kecil. Dan setiap perjalanan panjang, selalu ditempuh dengan satu langkah kecil. Setapak demi setapak.

Keraguan itu menemukan jawabannya pada 9 Mei 2011. Kepolisian melarang pertandingan Solo FC melawan Persebaya 1927 di Manahan Solo. Aparat kepolisian masih mengkhawatirkan bentrokan antara Bonek dengan Pasoepati. Solo FC 'terusir' ke Surabaya. Namun justru di sinilah itikad perdamaian antara dua suporter dengan massa besar itu diuji.

Setelah selama 11 tahun absen menyambangi Surabaya, sekitar tiga ratus Pasoepati memutuskan datang untuk menyaksikan pertandingan itu. "Kami sebenarnya was-was juga, apa betul janji perdamaian Bonek bisa dipercaya. Jangan-jangan kami terjebak masuk kandang buaya sebenarnya. Ternyata kami keliru. Bonek mengamankan kami sangat luar bisa, dan menganggap kami saudara kandung mereka yang lama tak berjumpa," kata Mayor.

Bonek memang mempersiapkan diri menyambut kunjungan Pasoepati. Mereka menyebutnya CLBK: cinta lama bersemi kembali. Saya mendapat cerita bagaimana salah satu tokoh Bonek mendatangi basis-basis suporter Persebaya di sejumlah kota yang dilalui kereta api yang bakal dilalui suporter Pasoepati. Inti pesan di setiap kota: saatnya mengakhiri pertikaian.

Puncaknya di Stadion 10 Nopember saat hari pertandingan, ratusan warna merah berada di antara lautan hijau. Tak ada gesekan, tak ada adu jotos. Yang ada hanya saling lempar pujian melalui koor nyanyian di antara dua kelompok suporter.

Di tengah suasana suporter Indonesia yang kental dengan aroma pertikaian, momentum ini tentu ganjil dan tak lazim. Namun seperti Garcinia Dulcis yang mulai terlupakan, momentum seperti ini seperti dilupakan oleh media massa. Tak banyak media massa yang memberikan tempat yang layak terhadap proses perdamaian ini.

Mayor meminta media massa untuk mulai bersikap jujur. "Bonek selama ini mendapat stigma dan diberitakan negatif. Tapi menurut saya, Bonek sudah berubah. Mereka sudah lulus ujian. Mereka memberi keteladanan yang bisa kita contoh. Saya salut Bonek bisa menjadi pionir perdamaian," katanya.

Dalam catatan beritajatim.com, tanpa banyak terekspos media massa, Bonek sudah mulai menyambangi dan menjalin hubungan dengan kelompok-kelompok suporter sepakbola yang pernah menjadi musuhnya. suporter sepakbola di Bandung, Semarang, Jogjakarta, Makassar, dan Medan kini bisa menerima kehadiran kelompok suporter yang dicap berangasan itu.

Dengan Pasoepati, tahap awal perdamaian sudah terlampaui. Mayor berharap, ini akan menular ke suporter yang lain. Saatnya merawat perdamaian tak ubahnya merawat Garcinia Dulcis di salah satu sudut Kota Solo: menyiraminya dengan air yang mendinginkan hati.

Pasoepati harus berupaya keras menyelesaikan 'pekerjaan rumah': menyosialisasikan perdamaian ini kepada keluarga besar mereka sendiri. Sementara, Bonek harus mewaspadai perdamaian yang mulai terbangun ini dihancurkan oleh ulah sebagian dari Bonek sendiri yang masih suka melakukan kerusuhan di saat tandang ke kandang lawan.

Sebagian Bonek, terutama yang berusia remaja dan masa labil, berpotensi merusak apa yang sudah diupayakan susah payah dengan melakukan onar di Solo atau kota-kota lain. Potensi ini bisa dilihat dari saat puluhan Bonek ditangkap setelah merusak di Stasiun Pasar Turi. Mengejutkan, separuh dari Bonek yang ditangkap itu berusia 15 tahun ke bawah, dan sisanya masih belum memasuki usia 20 tahun.

Tapi apapun itu, sesuatu yang langka tak layak dibiarkan mati begitu saja, tentu. Apalagi jika itu bisa membuat Indonesia menjadi lebih baik. [wir]

No comments: