22 April 2011

Jika Beli Hamburger adalah Kejahatan Kultural...

Mendengarkan Sri-Edi Swasono berpidato tentang neoliberalisme, saya seperti mendapat mendapat kiriman alarm bahaya: globalisasi masuk ke perut Anda. Namun, ia juga mengirimkan secercah optimisme: ekonomi kerakyatan belum saatnya mati.

Saya datang terlambat, sekitar pukul dua siang, di aula Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Mandala, Jumat (22/4/2011). Swasono berada di podium, dan sampai pukul setengah empat, segel botol air mineral miliknya belum tersentuh.

Tahun ini, 16 September nanti, usianya 71 tahun. Namun suara ekonom lulusan University of Pittsburgh itu masih lantang. Ia masih singa podium, saya kira. "Kalau seorang pemimpin mengatakan: 'Amerikat Serikat adalah negara kedua saya', maka dia harus turun tahta."

Swasono menyebut neoliberalisme sebagai marabahaya. "Henry Kissinger sendiri mengatakan, globalisasi adalah nama lain untuk dominasi Amerika," katanya. Dan, ia menyesalkan, pemerintah Indonesia saat ini cenderung menyerah kepada kemauan asing. Indonesia is for sale, demikian ia mengutip salah satu kesimpulan disertasi anak didiknya di Universitas Indonesia: privatisasi adalah 'asingisasi'.

Menantu Bung Hatta ini mengeluh, betapa mudahnya orang Indonesia terpesona dengan produk Barat. Di bandara internasional Jakarta dan Surabaya, yang terpampang hanya makanan Barat, macam hamburger. Satu-satunya makanan Indonesia yang ada, kata Swasono, hanya bakso Malang.

Anaknya dibiasakan tak makan hamburger. "Kalau saya makan hamburger, berarti saya melakukan kejahatan kultural," katanya.

Swasono bukannya membenci hamburger. Saat masih menjadi mahasiswa 'kere' di Amerika, hamburger adalah makanan murah meriah yang bisa dibelinya sebagai camilan saat berkencan. Namun di Indonesia, ia memilih makan setandan pisang rebus daripada sepotong hamburger. "Uang yang saya peroleh untuk beli pisang rebus, bisa digunakan ibu penjual pisang untuk membayar SPP anaknya yang makin tinggi."

Jika Anda membeli hamburger hari ini, kata Swasono, maka di lain hari, Anda akan membayar kejunya untuk Denmark, membayar terigunya ke Australia, membayar dagingnya ke New Zealand, dan membayar saus tomatnya ke Amerika Serikat. "Lalu apa yang tersisa di Indonesia? Mungkin hanya keringat kuli-kuli."

Hari-hari ini, Swasono memilih membeli sayur daun pepaya dari seorang tukang sayur yang biasa disapa Mat Item. "Namanya Ireng. Tapi di Jakarta tidak ada Ireng, jadi disebut saja Mat Item. Dia tukang sayur keliling. Dulu pakai gerobak, sekarang gerobaknya pakai sepeda motor."

Swasono suka makan sayuran dan pecel. Namun, ia tetap menyuruh pembantunya membeli daging ayam dan tahu di pasar swalayan. Tidak ada ayam tiren (ayam bangkai) dan tahu boraks di supermarket, tentu.

Swasono sinis, namun tak sepenuhnya keliru. Saya teringat reportase Pietra Rivoli dalam buku The Travels of a T-Shirt in the Global Economy (2005). Rivoli seorang profesor, dan melakukan perjalanan dari Texas hingga China untuk mengetahui bagaimana dari sebuah kaus, ia menyingkap perdagangan global. Kapas milik Nelson Reinsch di Texas masuk ke Shanghai, digulung, dijahit, dan dirajut dengan label 'Made in China' untuk dikepak kembali ke Amerika.

Selama bertahun-tahun, kelas-kelas dan kampus-kampus fakultas ekonomi di Indonesia mengajarkan paradigma besar tentang pasar. Dalam pasar, idealnya yang terjadi adalah persaingan sempurna. Pasar adalah hal yang bajik, karena mengatur dirinya sendiri melalui sebuah tangan yang tak tampak.

Swasono menampik itu. Persaingan memiliki akar kuat ideologi liberalisme dan indvidualisme. Satu hal dalam ekonomi yang seharusnya dipelihara di Indonesia adalah kerjasama. Dengan kerjasama, ada pemberdayaan, dan ini yang alpa dilakukan pemerintah.

Swasono pernah membantah Mubyarto, ekonom kerakyatan terkemuka Indonesia. Mubyarto menyatakan, pemerintah harus memiliki pemihakan kepada rakyat. Swasono menampik pilihan kata 'pemihakan'. Kemakmuran rakyat bukan urusan pemihakan, tapi kewajiban.

"Undang-Undang Dasat pasal 33 menyatakan perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. 'Disusun' tidak dibiarlan 'tersusun'. Ada campur tangan negara. Nasib rakyat tak boleh dititipkan kepada pasar." Apalagi pasar yang menuntut kepuasan maksimal. Pasar, yang menurut Gordon Gekko dalam film 'Wall Street', rakus: karena rakus itu bagus.

Menyerahkan rakyat kepada pasar akan mengulang tragedi 1812 di Gujarat, Asia Selatan. Jutaan orang mati kelaparan, karena gubernur Bombay melarang bantuan pangan dikirim ke daerah yang tengah dilanda krisis ekonomi.

Sang gubernur mengimani 'The Wealth of Nations' karya Adam Smith: tangan tak tampak (invinsible hands) pasar pasti akan mengatasi kelaparan rakyat sendiri. Sebuah elucon intelektual yang tidak lucu, kata Swasono.

Bisakah perekonomian rakyat diberdayakan? Swasono meminta kepada pemerintah tak meremehkan kemampuan rakyat. "Saya punya pembantu, saya ajari untuk menghapalkan 20 kata Bahasa Inggris per minggu. Dia saya ajari menerima telpon dan menjawabnya dengan bahasa Inggris (tentu yang dimaksud jika si penelpon berbahasa itu). Bisa tuh ternyata. Malah yang paling pandai adalah pembantu yang cuma lulusan SD."

Jadi, tugas pemerintah bukan menitipkan rakyat kepada pasar. Pemerintah justru harus mengupayakan pasar harus ramah kepada rakyat. Swasono tak ingin mendengar pernyataan seorang koleganya yang mengamini penindasan pasar bebas kepada rakyat: 'lebih baik jadi jongos tapi kaya'.

Swasono menjawab lantang seraya mengutip Joan Robinson: "Orang tak hanya butuh roti untuk perut. Tapi dia juga butuh harga diri..." [wir]

No comments: