22 April 2011

Intervensi Pemerintah vs Inkonsistensi FIFA

FIFA sudah memutuskan: empat nama yang 'dikembalikan' Komisi Banding bentukan PSSI ditolak sebagai calon ketua umum PSSI. Mereka adalah Nurdin Halid, Nirwan D. Bakrie, George Toisutta, dan Arifin Panigoro.

Keputusan FIFA ini mendapat perlawanan dari para pendukung Toisutta dan Panigoro. Mereka menilai keputusan FIFA terkait Toisutta, Panigoro, dan Nirwan menyalahi statuta organisasi itu.

Inilah konflik inkonsistensi FIFA melawan intervensi pemerintah dalam beberapa episode.

Jauh-jauh hari, FIFA memang sudah ikut menyumbangkan keruwetan terhadap dunia sepakbola Indonesia. Sejak 2007, FIFA sudah membiarkan pelanggaran statuta organisasi itu dengan 'tutup mata' terhadap Nurdin Halid. Kendati sudah pernah menghuni penjara, Nurdin masih saja dibiarkan memimpin PSSI.

Kongres Sepakbola Nasional di Malang yang digadang-gadang bisa meruntuhkan kekuasaan Nurdin berakhir menyedihkan. Nurdin justru kuat bercokol. Tak ada yang punya ilusi, bagaimana meruntuhkan rezim PSSI yang dipimpin Nurdin. Semua menggerutu, semua mengutuk. Ada yang berunjukrasa. Namun suara-suara kecaman untuk Nurdin seperti membentur tembok.

Lalu muncullah Arifin Panigoro, pengusaha minyak itu. Ia tak sekadar menggerutu dan berfilsafat. Ia bergerak tak ubahnya petuah Marx: dunia hanya bisa diubah dengan tangan.

Bersama sebuah konsorsium, Arifin menggagas Liga Primer Indonesia, sebuah liga yang dicita-citakannya profesional. Minimal dalam liga ini, para pengurus klub diminta untuk mulai mengelola sepakbola secara rasional dan proporsional.

PSSI mencoba menghadang dan menolak LPI berafiliasi. Pengurus PSSI menuding LPI ilegal dan tak ubahnya kompetisi tarkam. Namun LPI jalan terus, di bawah ancaman PSSI yang dengan dalih statuta FIFA melarang penyelenggaraannya.

Di titik ini, pemerintah mulai menunjukkan otoritasnya dengan melakukan intervensi dan memberikan dukungan kepada penyelenggaraan LPI. PSSI dan mereka yang anti-LPI mulai menyuarakan kemungkinan sanksi dari FIFA. Namun FIFA bergeming. Tak ada sanksi untuk Indonesia. PSSI mengklaim, ini keberhasilan lobi mereka. Namun FIFA sendiri ternyata melihat, munculnya kompetisi seperti LPI tak lepas dari kondisi federasi sepakbola di Indonesia yang karut-marut.

Sampai kongres permulaan di Bali beberapa waktu lalu, kepengurusan PSSI Nurdin Halid masih kuat bercokol. sejumlah peserta kongres malah memberikan dukungan Nurdin maju kembali menjadi ketua umum PSSI. Komite Pemilihan versi PSSI juga hanya menerima Nurdin dan Nirwan Bakrie menjadi calon ketua umum. Mereka berdua sama-sama dari rezim lama.

Ilusi menyaksikan Nurdin turun tahta semakin tak terbayangkan, menyusul studi banding ke Eropa yang diikuti sejumlah klub pemilik suara. Kongres PSSI seakan sudah terbaca hasilnya.

Namun tak ada yang bisa menerka ke mana angin akan berembus. Urusan sepakbola sudah lama tercampur dengan intrik politik, sehingga tak tertebak. Situasi berubah 180 derajat saat kongres di Pekanbaru. Para pendukung Nurdin Halid berbalik arah menentang. PSSI kepengurusan Nurdin Halid menyatakan kongres urung digelar. Namun 78 pemilik suara memutuskan kongres tetap digelar. Kongres juga 'dihadiri' sejumlah personil berseragam tentara yang belakangan dituding sebagai bagian dari intervensi pemerintah dan militer.

Setelah kongres yang heboh itu, pemerintah melakukan intervensi susulan: tak mengakui kepengurusan PSSI Nurdin Halid. Bahkan, melarang kepengurusan PSSI menerima dana APBN dan menempati kantor di senayan. Pemerintah bahkan mengurus Duta Besar Swiss Djoko Susilo untuk berkomunikasi dengan FIFA.

Nurdin Halid dengan nada putus asa membalas, dengan meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mencopot Andi Mallarangeng dari jabatan Menteri Pemuda dan Olahraga. Sebuah permintaan yang ganjil, mengingat sebelumnya Nurdin mengabaikan permintaan Presiden SBY untuk menurunkan harga tiket pertandingan Piala AFF, dan baru melaksanakannya setelah ada 'instruksi' dari Ketua Golkar Aburizal Bakrie.

Dari situasi seperti itu, jelas sudah bahwa rezim PSSI Nurdin Halid memang hanya bisa diruntuhkan melalui mekanisme yang tak lazim. Mekanisme resmi hanya menguntungkan rezim lama, karena rezim itu sendiri yang mengelola mekanisme tersebut. Ironis juga sebenarnya.

Tak ada sanksi dari FIFA atas intervensi pemerintah ini, sebagaimana yang digembar-gemborkan rezim lama. FIFA malah membentuk Komite Normalisasi. Semua berharap, konflik diselesaikan dengan kembali ke titik nol: semua faksi yang berkonflik maupun di luar itu berhak mencalonkan diri menjadi ketua umum, kecuali Nurdin Halid. Jika mengacu pada statuta FIFA, Nurdin tak berhak mencalonkan diri lagi, karena pernah berurusan dengan hukum.

Namun lagi-lagi di sini FIFA kembali menunjukkan inkonsistensinya. Alih-alih kembali ke titik nol, FIFA tetap melarang Nirwan, Toisutta, dan Panigoro mencalonkan diri kembali. Menurut berita yang dilansir beritajatim.com, keputusan FIFA itu untuk menghormati keputusan Komisi Banding yang dipimpin Tjipta Lesmana.

Keputusan FIFA itu melemparkan bola panas kembali ke tanah air. Padahal sebelumnya, saat Komite Banding pimpinan Tjipta Lesmana mengumumkan keputusannya, banyak pihak yang menilai komite 'melakukan cuci tangan'. Tidak jelas alasan komite menolak banding Toisutta dan Panigoro yang ditolak pencalonannya oleh Komite Pencalonan versi PSSI Nurdin.

Dengan keputusan itu, FIFA juga terang-terangan melanggar statuta yang dibikinnya sendiri. Nirwan Bakrie, George Toisutta, dan Arifin Panigoro jelas orang-orang terhormat yang tidak pernah dipidana penjara. Dari sini, dalih pelarangan itu menjadi ringkih.

Saya tidak tahu bagaimana reaksi Nirwan dan pendukungnya atas keputusan itu. Namun, saya menduga, Nirwan tak akan banyak memersoalkan. Sebagaimana dikutip Majalah Tempo, Nirwan memang tak terlampau suka duduk sebagai orang nomor satu di PSSI. Namun bukan rahasia lagi, jika sejumlah petinggi PSSI seperti Nurdin, Iman Arief, dan Andi Darussalam Tabusala adalah orang-orang dekatnya.

Reaksi paling jelas menentang adalah pendukung Toisutta dan Panigoro. Penentangan ini yang kemudian dicitrakan oleh sebagian lawan mereka sebagai sikap yang tidak legawa atau berbesar hati. Pencitraan yang ganjil juga sebenarnya, jika mengacu pada inkonsistensi FIFA sejak mula.

Di luar alasan inkonsistensi FIFA, saya bisa menghormati dan memahami, jika Panigoro melakukan perlawanan. Ini tak terkait dengan kebesaran hati atau bukan. Sejauh ini, diakui atau tidak, arus perubahan di tubuh PSSI menguat, salah satunya dikarenakan keberanian Panigoro bermanuver. Panigoro cukup berkeringat dengan mengeluarkan tenaga dan biaya, salah satunya dengan membentuk Liga Primer Indonesia.

Cukup beralasan juga kenapa Panigoro diganjal habis-habisan oleh lawannya, bahkan dengan pencitraan buruk atau delegitimasi. Selain Bakrie, dia adalah calon yang memiliki kemampuan finansial dan modal sosial cukup kuat. Kemampuannya membangun sebuah kompetisi dengan mengajak sejumlah perusahaan mentereng sebagai sponsor sudah cukup menunjukkan kapasitas jaringannya.

Toisutta memiliki dukungan politik kuat. Pembiaran pemerintah dan markas besar TNI terhadap kiprahnya dalam perubahan di tubuh PSSI menunjukkan besarnya dukungan itu.

Kita masih menunggu bagaimana manuver selanjutnya dari Bakrie, Toisutta, Panigoro, atau calon lainnya. Namun jika keputusan FIFA ini dilaksanakan, maka kita harus bersiap menyaksikan 'pertarungan antar-wayang'. Tak tertutup kemungkinan Nirwan Bakrie, Toisutta, dan Panigoro akan mengalihkan dukungan kepada calon lain yang berafiliasi dengan mereka.

Jika ini terjadi, ada dampak negatif dalam sepakbola nasional. Pertama, kepengurusan PSSI mendatang, siapapun ketuanya jika dia 'hanyalah wayang', maka kesetiaan hanya ada pada 'sang dalang'. Cukup sudah rasanya 'drama wayang-dalang' dipertontonkan selama penyelenggaraan Piala AFF tempo hari.

Kedua, memasang 'wayang' menjadi ketua umum PSSI hanyalah wajah lain dari ketidaksiapan bertanggungjawab dalam pengelolaan organisasi. Bagaimana pun, setiap kegagalan akan dilimpahkan kepada sang ketua umum sebagai 'bemper' dan 'wayang'. Sementara 'sang dalang' bersiap mengambil pencitraan, saat sukses PSSI datang.

Bagaimana? Mau jadi 'dalang' atau 'wayang'? [wir]

No comments: