15 April 2011

Hillsborough

Di bibir Gerbang Shankly di sisi Stadion Anfield, Steven Gerrard melambatkan mobilnya. Syal-syal digantungkan di sebuah dinding bertuliskan nama para fans klub Liverpool yang nahas. Liverbird, sebuah burung kuno Liverpool yang menjadi lambang klub itu, diapit dua gambar nyala api kenangan.

Kapten Liverpool ini kehilangan sepupunya dalam semifinal Piala FA, 15 April 1989. Kakeknya berkata dengan wajah yang tak terlupakan: 'Jon-Paul mati'.

Murung selalu kembali ke Merseyside setiap 15 April. Justice for 96. Keadilan untuk 96 orang yang tidak kembali ke keluarga mereka 22 tahun silam. Mereka yang tewas tergencet di stadion Hillsborough, Sheffield.

Sebuah upacara untuk mengenang mereka yang telah pergi, selalu digelar dari tahun ke tahun. Ribuan orang memadati stadion Anfield, sama banyaknya seperti saat Liverpool bertanding. Teriakan 'justice' kerap terdengar.

Keadilan: apa lagi yang bisa diharapkan dari sebuah tragedi selain itu. Saya teringat Emha Ainun Nadjib: kematian bukanlah tragedi, kecuali kita mengambil hak dari Tuhan untuk menentukannya.

"Keluarga yang kehilangan itu layak memperoleh keadilan. Mereka berhak tahu apa yang terjadi di Hillsborough, dan siapa yang bersalah," kata Gerrard, dalam biografi yang ditulis bersama Henry Winter dan Paul Joyce, jurnalis Daily Telegraph.

Selama bertahun-tahun, Jon-Paul yang baru berusia 15 tahun bersama para Liverpudlian yang mati itu menanggung beban kesalahan tragedi terkelam dalam sepakbola Inggris itu. Otoritas Inggris dan media massa seperti tabloid The Sun (Anda jangan pernah mengharapkan The Sun bakal dibaca warga Liverpool), lebih suka menudingkan jari ke arah para suporter itu.

Lebih mudah memang. Para suporter Liverpool di era 1980-an memiliki cap hitam sebagai perusuh. Mereka disebut-sebut sebagai biang tragedi Heysel 1985 yang menewaskan 39 fans Juventus di final Piala Champions. Merekalah yang disebut hooligans, kaum perusuh. Sesuatu yang disebut Perdana Menteri Margareth Thatcher sebagai musuh Inggris.

Tragedi Hillsborough membawa perubahan besar dalam kultur sepakbola Inggris. Pemerintah meniadakan tribun berdiri di stadion, dan mengharuskan seluruh tribun memiliki tempat duduk. Dengan demikian jumlah penonton bisa diperkirakan dan disesuaikan dengan jumlah tiket yang dijual.

Tribun berdiri legendaris di belakang gawang stadion Anfielf, The Kop, digusur. Di era keemasan Liverpool, tribun ini selalu dipadati ribuan orang. Penonton terus mengalir hingga tribun penuh sesak. Dari merekalah teriakan dan nyanyian You'll Never Walk Alone terdengar. Para pemain seperti harus selalu merayakan gol yang tercipta dengan mendatangi The Kop yang bergemuruh.

Tragedi Hillsborough tak pernah terang. Ia membawa perubahan besar, namun warga Liverpool merasa otoritas yang tak mengambil tindakan sepenuhnya untuk mencegah tragedi itu belum dihukum secara adil.

Mungkin sudah takdir, suporter adalah tempat yang paling mudah dijadikan kambing hitam. Tidak di Inggris, tidak juga di Indonesia. Inilah ironi terbesar di dunia sepakbola: penonton diharapkan datang ke stadion agar klub dan industri tumbuh. Tapi penonton pula yang sering dianggap sebagai persoalan utama di sepakbola. Inggris punya the firm (kelompok-kelompok suporter yang tak berafiliasi dengan klub), Italia punya ultras yang kerap lebih galak ketimbang suporter lain.

Inggris berubah. Tapi tidak dengan Indonesia. Otoritas sepakbola di Indonesia membutuhkan penonton, tapi tak pernah bisa menghargai mereka. Penonton dicintai, fanatisme dibenci. PSSI seperti lupa, penonton adalah orang yang paling banyak berkorban di dunia sepakbola: mereka mengeluarkan uang untuk membeli tiket, hanya agar dibayar impas dengan kebanggaan, memuaskan rasa keinginan mengidentifikasikan diri dengan sesuatu.

PSSI seperti tak peduli itu. Sejumlah laga yang melibatkan tim-tim besar dengan suporter super-fanatik lebih sering dianggap sebagai ancaman, sehingga untuk masuk stadion pun diperlukan kendaraan baja untuk mengangkut pemain tim lawan.

PSSI seperti tidak punya cara untuk menanggulangi kerusuhan penonton. Potensi kerusuhan dibiarkan, tidak dikaji. Akar-akarnya tidak didalami. Pola kuratif dengan model represif lebih dikedepankan, ketimbang preventif. Ujung-ujungnya klub jadi korban denda berkali-kali. Penonton menjadi tanggungjawab klub, dan seolah-olah persoalan kerusuhan dan nyanyian provokatif suporter bukanlah problem sistematis negeri ini.

Di Inggris, 96 orang yang meninggal dunia membawa banyak perubahan di wajah sepakbola. Di Indonesia, hendak menanti berapa kali kerusuhan dan berapa banyak fans tewas demi sepakbola untuk bisa membawa perubahan?

Saya tidak bisa menjawab. "Tak ada satu pun orang yang seharusnya kehilangan nyawa atau kerabat dalam sebuah pertandingan sepakbola," kata Steven Gerrard.

Gerrard mengatakan itu dengan pahit. [wir]

No comments: