07 March 2011

Kalkulator Bentham

Tanah itu luasnya 2,7 hektare. Ada bangunan: vila, padepokan, musola, dan rumah tamu. Ada kebun dengan berbagai tanaman (400 batang pohon tin, mengingatkan pada surat At-tin di kitab suci) dan sumur-sumur. Kolam ikan dikeringkan tanpa air mancur, karena bocor. Di dekatnya sebuah bangunan bundar berbentuk tubuh kura-kura raksasa.

Ada bekas kandang kambing yang belum dibongkar. Sekitar 250 ekor kambing etawa sudah diungsikan ke tempat lain, untuk mempermudah pencarian pangan mereka.

Di salah satu bagian, ada bangunan serupa menara dengan empat tingkat mewakili tahapan-tahapan keimanan: syariat, tarikat, hakikat, dan di puncak adalah ma'rifat. Tembok setinggi tiga meter menjadi pembatas keliling, memiliki relief perjalanan manusia: lahir, hidup, mati, dan menuju Tuhan. Relief bertuliskan terjemah ayat-ayat Al Quran: tentang kehidupan dan kematian, serta hari penghabisan.

Tanah itu milik Pak H. Saya mengenalnya secara tak sengaja. Tanah itu, beserta bangunan di dalamnya, kelak akan diwakafkan. Ia bermimpi bermimpi: di atas tanah ini akan dibangun sebuah pesantren, sekolah, bahkan lembaga pendidikan tinggi. Pak H sudah menyiapkan sebelas lubang kubur untuk dirinya dan anak-anaknya di sini, dan berada di sebuah lingkungan yang selalu ramai oleh suara orang membacakan ayat-ayat suci.

Pak H tidak meminta apapun dari mereka yang berniat mendirikan pesantren di atas tanah ini, kecuali tiga syarat: pesantren ini untuk anak yatim-piatu, gratis, dan harus mandiri, tidak boleh meminta-minta sumbangan dari siapapun karena tanah ini cukup luas untuk dikelola. Tiga syarat yang seharusnya mudah, namun ternyata belum ada yang menyanggupi. Mereka yang datang menemui saya ternyata tak mampu jika harus hidup mandiri, tanpa meminta sumbangan lagi.

Hari ini, orang memburu kekuasaan untuk mencari kebahagiaan. Jika pada satu titik kita sudah merasa bahagia dengan apapun kondisi kita, maka kekuasaan tak berguna. Kekuasaan hanya menyisakan godaan.

Apakah kebahagiaan itu? Berabad-abad para filsuf utilitarianisme yang menjadi dasar individualisme memperdebatkan 'apa yang disebut bahagia'. Jeremy Bentham menyebut manusia sebagai organisme yang menyenangi suka dan menghindari duka. Saya sendiri menganggap suka dan duka adalah dua sisi satu mata uang.

Bentham menciptakan 'kalkulus kebahagiaan': mempertanyakan seberapa kuat kebahagiaan dan daya tahannya. Ia membuat kebahagiaan sebagai sesuatu yang bisa dikuantitatifkan saja, layaknya telur-telur ayam di kandang. Para utilitarianis pada akhirnya tidak mampu mengukur kebahagiaan pribadi, tapi kebahagiaan umum, seperti mendirikan dengan baik layanan kesehatan, pendidikan. Apapun yang baik bagi umum, baik juga untuk individu.

Bagi Pak H, kebahagiaan adalah satu titik, di mana dia sudah bisa mengikhlaskan sebagian apa yang dipunyainya pergi sewaktu-waktu, atau dimiliki orang lain. Pada titik ini Pak H bahagia, karena dia bisa melakukan sesuatu untuk orang lain, dia merasa berkecukupan, dan tidak kekurangan. Pencarian materi jika terus diperturutkan seperti menenggak air laut yang tak pernah bisa menghilangkan dahaga, dan justru membuat semakin haus.

Seseorang yang menemukan bahagia sejati tidak akan mau tersandera oleh hal-hal yang membuatnya kembali berduka. Ia berdaulat atas dirinya sendiri. Ia lebih otonom.

WS Rendra menyampaikan hubungan antara manusia, kebahagiaan, dan kepemilikan atas benda-benda dengan bagus dalam "Makna Sebuah Titipan."

Sering kali aku berkata, ketika orang memuji milikku,
bahwa sesungguhnya ini hanya titipan,
bahwa mobilku hanya titipan Nya,
bahwa rumahku hanya titipan Nya,
bahwa hartaku hanya titipan Nya,
bahwa putraku hanya titipan Nya,
tetapi, mengapa aku tak pernah bertanya, mengapa Dia menitipkan padaku?

....Mengapa hatiku justru terasa berat, ketika titipan itu diminta kembali oleh-Nya?
Ketika diminta kembali, kusebut itu sebagai musibah
kusebut itu sebagai ujian, kusebut itu sebagai petaka,
kusebut dengan panggilan apa saja untuk melukiskan bahwa itu derita.

Ketika aku berdoa, kuminta titipan yang cocok dengan hawa nafsuku
aku ingin lebih banyak harta,
ingin lebih banyak mobil,
lebih banyak rumah,

....Seolah keadilan dan kasih-Nya harus berjalan seperti matematika:
aku rajin beribadah, maka selayaknyalah derita menjauh dariku, dan
nikmat dunia kerap menghampiriku.
Kuperlakukan Dia seolah mitra dagang, dan bukan kekasih.
Kuminta Dia membalas "perlakuan baikku", dan menolak keputusan-Nya yang tak sesuai keinginanku...

Membaca petikan puisi Rendra itu, saya merasa kita tak butuh Bentham untuk menghitung dan menakar kebahagiaan dengan kalkulatornya. Apalah arti kebahagiaan, jika tanpa keselamatan. Sebab pada akhirnya, seperti kata Rendra, "ketika langit dan bumi bersatu, bencana dan keberuntungan sama saja." [wir]

No comments: