14 March 2011

Dari Cerita Seorang Pengusaha

Dari cerita seorang pengusaha, saya kembali dibenturkan pada pertanyaan: benarkah rakus adalah bagian dari doktrin kapitalisme?

Kata Gordon Gekko, tokoh utama dalam film Wall Street garapan sutradara Oliver Stone: rakus itu bagus. Bagi orang-orang seperti Gekko, kapitalisme adalah jalan pasti menciptakan kemakmuran, di mana setiap orang diberi kesempatan untuk berlomba menumpuk kapital dan menuai untung sebanyak-banyaknya. Langit bukanlah limit, karena siapa pula yang bisa membatasi nafsu individu? Marx justru gagal pada langkah pertamanya, karena ia mengandaikan sebuah masyarakat nir nafsu yang mau bekerja demi kolektivisme, bukan individualisme.

Kata kelompok Islam garis keras, kapitalisme adalah sistim bobrok dan seharusnya digantikan sistim Islami. Tapi apakah yang relijius? Bukankah Max Weber, sosiolog Jerman, mengatakan, kapitalisme terlahir justru dari etika 'relijius' Protestan.

Penganut Protestan meyakini pencapaian ekonomi duniawi adalah bagian dari perintah Tuhan. Tuhan melindungi kepemilikan pribadi yang diupayakan melalui kerja keras, bukan klerikal. Intinya adalah kerja keras dan berhemat sebagai bagian dari ibadah, dan untuk itu semua dikelola secara rasional (hubungan manusia-manusia, bukan hubungan manusia-Tuhan). Ia bagian dari gerakan individualisme yang menghargai manusia.

Jika kemudian kapitalisme berkembang melampaui dan melupakan etika awalnya; Tuhan dan nilai ibadah ditepikan, orang hanya mencari keuntungan untuk memenuhi tuntutan hidupnya belaka: maka bagaimana ini bisa terjadi?

Kapitalisme yang didasari pada logika kerakusan akan menghilangkan unsur humanisme dalam pencapaian kemakmuran. Manusia (pekerja) hanya dianggap tak ubahnya sekrup dalam sebuah roda besar ekonomi, yang bisa diganti sewaktu-waktu jika rusak atau gagal. Tidak ada keikhlasan dan keyakinan, bahwa keuntungan bisa diambil dengan menghargai manusia lain. Tuntutan hidup tidak dipatok semadyanya saja, namun memperturutkan 'rakus'.

Lalu datanglah pengusaha tadi. Sembari minum teh hangat, ia bercerita tentang bagaimana seharusnya kapitalisme. Si pengusaha ini, pada masa awal membangun usaha dengan modal sendiri, menetapkan sesuatu yang dianggap gila oleh orang lain. Dia berkata kepada para pegawainya: saya hanya akan mengambil 25 persen dari keuntungan yang diperoleh toko, dan sisanya silakan bagi di antara kalian.

Para pegawainya seperti tidak percaya. Pengusaha ini jalan terus: para pegawainya menikmati 75 persen laba. Saya ragu: adakah pengusaha ini naif ataukah memang ikhlas. Namun usahanya berkembang, dan dia mulai membuka toko-toko baru dengan sistem yang sama: 25 persen laba masuk kantong pribadi, sisanya untuk para pekerja.

Saya tidak tahu seberapa besar keuntungan yang diterima pengusaha ini. Tapi bisnisnya justru maju pesat dalam waktu tak terlampau lama. Hari ini, dia tak perlu bersusah payah mengontrol toko-toko yang dimilikinya, dan uang mengalir dengan sendirinya. Fluktuasi pemasukan itu biasa. Namun andaikata pun ada penurunan pemasukan, itu tak terlampau signifikan.

Sang pengusaha tersenyum melihat keheranan saya. Dia berkata, kapitalisme hanya bisa dikembangkan dengan modal cinta dan rasa percaya. Kapitalisme tak boleh meninggalkan aspek terpentingnya: humanisme. Penghargaan terhadap individu, terhadap orang lain. Kepercayaan terhadap pekerja. Laba dan kerja hanyalah bagian dari distribusi sosial ekonomi yang dikehendaki Tuhan.

Pengusaha ini sadar, dirinya menghadapi risiko dikibuli pekerjanya sendiri. Boleh jadi dia tidak mendapat keuntungan lebih besar atau bahkan merugi. Namun, kemampuan menghadapi kemungkinan itu menunjukkan bahwa kita mengembalikan kapitalisme ke semangat awalnya. Kapitalisme tidak boleh menguasai humanisme. Kerakusan tak boleh menjadi berhala baru.

Lagipula, prinsip kepercayaan memiliki hukumnya sendiri yang tidak menoleransi pengkhianatan. Pengkhianatan bisa dimaafkan tapi tak bisa dilupakan, dan dalam konteks ini, sekali berkhianat maka Anda harus keluar dari bisnis ini.

Sang pengusaha berkata, penghargaan dan kepercayaan terhadap pekerja, justru memunculkan keamanan usaha. Pekerja tak akan mengambil risiko melakukan hal-hal yang justru merusak tempat kerja sendiri, karena dengan demikian ia sama saja menghancurkan periuk nasinya sendiri.

Saya lantas teringat pada perkataan Ekonom Universitas Airlangga, Tjuk Kasturi Sukiadi, yang pernah saya wawancarai dua tahun silam. Dia mengatakan perlunya merevolusi hubungan pengusaha-buruh menjadi lebih personal. Dalam hal ini, saya rasa, Tjuk benar. [wir]

No comments: