18 March 2011

Seorang Tukang Bom Berulang Tahun

Beberapa hari, setelah bom di Utan Kayu meledak dan melukai polisi, seorang tukang bom berulang tahun. Kita tidak tahu berapa persisnya usia dia. Namun, ia masih cukup muda, dan sudah cakap membuat adonan bahan peledak.

Di hari ulang tahunnya, si tukang bom menerima sebuah paket bingkisan dengan sebuah surat yang tak terlampau panjang. Pengirimnya entah siapa.

Kepada Yang Terhormat Tukang Bom. Salam.

Satu bom lagi meledak, dan kali ini tidak banyak korban. Rupanya engkau sudah mulai mengarahkan target-target kepada orang per orang. Saya tidak tahu pasti kriteria apa yang membuatmu memilih si Fulan sebagai sasaran yang layak dibunuh. Mungkinkah karena orang-orang ini musuh agama dan membahayakan umat?

Tapi apakah yang disebut berbahaya? Ulil Abshar Abdalla yang kau sasar bukan manusia super. Ia hanya orang biasa yang memprakarsai Jaringan Islam Liberal, sebuah komunitas yang mengampanyekan tafsir yang lebih modern atas tradisi Islam. Ia menerbitkan buku, menulis artikel di koran-koran.

Sebagian menganggap Ulil kebacut atau kelewatan memang. Tapi tak ada yang serius-serius banget hendak memancung Ulil karena dianggap kurang ajar. Mereka yang mengecamnya melemparkan tantang berdebat, memertanyakan metodologi liberalisme Islam: sesuatu yang dikenal dalam khasanah intelektual Islam.

Sampai sejauh ini, belum ada data kongrit seberapa luas pengikut atau penganut liberalisme Islam. Jika liberalisme bertumpu pada kebebasan individu, maka sesungguhnya setiap orang pada dasarnya cenderung memilih opsi untuk bebas: ada atau tanpa adanya Ulil.

Jadi, apakah yang membuatmu yakin, menghabisi orang-orang itu sama halnya menghilangkan ancaman terhadap keyakinan dan kemurnian agamamu. Bukankah John Lennon ditembus pelor pada usia 40, dan hingga saat ini keyakinannya tentang perdamaian dunia dalam lagu 'Imagine' masih terdengar? Tidakkah engkau tahu, kematian Martin Luther King Jr. tidak memupuskan orang untuk membaca pidato 'I Have A Dream' yang mengilhami gerakan kesamaan hak?

Aku menjadi ragu, apakah bom yang kau tujukan ke orang seperti Ulil adalah perlambang sebuah tekat menjaga kemurnian, atau justru simbol ketakutan atas sebuah gagasan. Jika bom adalah sebuah teror, memunculkan rasa takut, dalam titik tertentu, ya, kau telah berhasil.

Namun hidup berlanjut, orang akan perlahan-lahan melupakan bom itu. Rasa takut yang berulang pada akhirnya menciptakan rasa biasa-biasa saja. Dan pada akhirnya, gagasan tidak bisa dibunuh hanya dengan sebuah bom. Habermas meyakini, pada suatu titik ketika semua aspek direpresi, diteror, ditindas, orang tetap saja tak bisa menindas komunikasi. Orang berbicara, minimal kepada dirinya sendiri, menciptakan kesadaran laten: bahwa ketakutan tak selamanya hadir.

Tapi sudahlah, engkau sudah mengingatkan, bahwa ancaman itu belum selesai, dan engkau masih ada. Setidaknya engkau mengingatkan, radikalisme dan teror adalah counterpart, sisi kelam dari mata uang modernitas. Kau mengingatkan, bahwa masih ada yang harus diperbaiki di dunia ini: dan memburumu, menghancurkan jaringanmu tak akan bisa membunuhmu.

Selama ulang tahun. Semoga engkau berkenan menerima bingkisan sederhana ini.

Salam.

Tukang Bom selesai membaca surat itu, dan matanya menatap sebuah bungkusan warna coklat. Sejenak ia ragu: bom balasankah ini.

Rasa ingin tahu mengalahkan ragu. Dengan mulut komat-kamit, tukang bom membuka bungkusan warna coklat itu, dan hatinya serasa diaduk-aduk melihat apa yang di balik bungkusan itu.

Kue tar rasa coklat, kesukaannya di waktu kecil. [wir]

No comments: