05 February 2011

Cerewet

Saat Bibit Samad Riyanto dan Chandra Hamzah, dua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, diusir dari ruang sidang Komisi III DPR RI, sebenarnya bukan lembaga antikorupsi yang terancam. Namun kepercayaan publik terhadap demokrasi yang berada di bawah bidikan.

Seorang dosen, kawan saya, gemas melihat stasiun televisi menjadikan para politisi bintang layar kaca: mereka bisa bicara apa saja, karena dinilai punya kapasitas dengan mengatasnamakan jumlah suara pemilih yang menjadikannya duduk di parlemen. Dosen saya itu mencibir kebebasan pers yang memberikan kesempatan kepada para politisi itu untuk bicara tanpa substansi.

Ujian terbesar bagi demokrasi Indonesia adalah kesabaran. Orang yang tak suka dengan proses bertele-tele, perdebatan dengan argumentasi beragam, lebih memilih kediktatoran. Kediktatoran tak memberikan ruang bagi chaos: semua teratur, diatur dalam satu orde yang ditentukan atas kehendak tunggal. Oleh karenanya, mungkin kediktaktoran memikat bagi mereka yang tak sabar menanti, dan memandang demokrasi hanya omong kosong.

Bagi mereka yang tak suka dengan seliweran pendapat, demokrasi memang kadang terlampau cerewet. Demokrasi rasanya tak jauh dari pasar. Para wakil rakyat di parlemen yang merasa berhak bicara apa saja dengan mengatasnamakan rakyat, dilindungi dalam demokrasi, walau mereka terkesan sok pintar. Apa saja disasar, walau kadang kita sendiri tak tahu, bagaimana bisa mereka merasa pasti jika omongan mereka adalah yang dikehendaki rakyat pemilih dan bukannya karena hasrat pribadi.

Soekarno tak sabar dengan kecerewetan demokrasi. Ia bikin dekrit, membubarkan parlemen, dan merekonstruksi demokrasi menurut apa yang dimauinya. Dan kita tahu, Soekarno tua di pengujung masa kekuasaannya bertolak belakang 180 derajat dari sosok Soekarno muda yang membela kecerewetan kaum pribumi terhadap Belanda.

Abdurrahman Wahid jengkel setengah mati, dan memutuskan membubarkan parlemen. Ini setelah ia merasa diabaikan oleh para wakil rakyat yang di matanya tak lebih baik dari taman kanak-kanak. Suharto sebenarnya juga tak suka yang cerewet, oleh sebab itu parlemen dibuat tak ubahnya sekelompok penyanyi koor.

Demokrasi mungkin memang pas bagi orang-orang yang sabar. Namun bagaimana kita bisa mengukur sejauh mana kesabaran itu? Kita tak tahu. Sudah lama para filsuf Yunani berdebat tentang pentingnya demokrasi. Mereka pada kesimpulan, bahwa demokrasi dan negara hanya bisa diserahkan kepada kaum filsuf. Saya kira Anda setuju seratus persen, kalau wakil rakyat kita yang terhormat itu tidak masuk kategori filsuf.

Mungkin orang bisa bersabar, ketika dalam proses demokrasi, mereka terlibat untuk menentukan nasib sendiri. Orang tak mau nasib mereka ditentukan oleh kehendak tunggal para tiran, jadi mereka bersabar untuk bercerewet-cerewet. Namun, ketika kecerewetan atas nama demokrasi itu hanya dimonopoli mereka yang memiliki standar ganda di parlemen (senang kasus lawan diusut, marah saat kawan ditangkap), maka kita khawatir negara ini akan tersandung-sandung di tempat yang sama.

Lalu muncullah orang-orang yang kecewa. Orang-orang yang kecewa, mungkin bahkan frustasi, tak bisa ditebak langkahnya. V, manusia bertopeng dalam komik grafis V for Vendetta, meledakkan gedung parlemen di Inggris. Kita beruntung, punya Pong Harjatmo yang mencoret atap gedung parlemen dengan piloks. Sayang sekali, kita senantiasa melupakan rasa frustasi itu setiap pemilu tiba, dan tetap memilih orang-orang yang bikin jengkel tersebut. Amnesia atau pikun? [wir]

No comments: