28 February 2011

Billy Kwan

Sekretaris Kabinet Dipo Alam menyerukan boikot terhadap tiga media massa. Tiga media massa itu (Media Indonesia, Metro TV, dan TV One) dinilai terlalu tendensius terhadap pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Agaknya dia menduga, ada itikad buruk di balik kritik tiga media itu.

Tendensius. Saya tidak tahu sejauh mana dan dengan apa seorang pejabat pemerintah menakar kritik sebagai hal yang tendensius, ada maksud di balik berita. Saya juga tidak paham, bagaimana maksud di balik berita bisa ditakar sebagai sesuatu yang buruk, bahkan dianggap makar. Adakah Dipo Alam mengharapkan wartawan melakukan sesuatu di luar prosedur jurnalistik untuk melontarkan kritiknya?

Saya hanya bisa menduga, Dipo Alam tidak pernah tahu soal Billy Kwan. Billy, seorang kameramen, jurnalis bertubuh cebol, dalam novel Christopher J. Koch, A Year of Living Dangerously. Ia seorang asing, yang mencintai Indonesia, mencintai Sukarno, di masa sang presiden masih kuat berkuasa.

Dalam film berjudul sama dengan bukunya, Billy pernah memacak diri mirip Sukarno (lengkap dengan kacamata hitam dan kopiah) dan datang ke sebuah pesta para koresponden media asing di Jakarta. Semua bertepuk tangan.

Namun, Billy lantas jatuh kecewa, saat Udin kecil mati karena sakit. Udin kecil dan keluarganya ditemukan Billy di tengah-tengah perkampungan miskin di Jakarta. Ia memberikan uangnya untuk keluarga itu, agar ibu si Udin membelikan makanan yang layak.

Udin jatuh sakit. Badannya panas, demam. Mungkin karena air sungai yang tercemar itu. Billy memberikan uangnya lagi: 'Ibu, dokter."

Tapi dokter tidak datang. Udin meninggal. Billy mencatatnya di buku harian: "Si kecil Udin dimakamkan hari ini... Ibu, dengan memeluk Udin, duduk di becak yang terdepan, di mana sehelai kain kuning diikatkan: warna kematian... Sekarang, Ibu menangis dalam becaknya. Adakah ratapannya sampai ke telingamu, Bung Karno, di Istana Merdeka?... Aku menuduh Sukarno yang membunuhnya... Cukuplah... akan selalu ada cara untuk mengakhiri kebodohan seorang tirani."

Selalu ada cara untuk mengakhiri kebodohan seorang tirani. Dan, Billy sudah tak terlampau percaya lagi dengan kata-kata di koran-koran bisa didengar. Mungkin ia sudah tahu, pemerintah sudah memboikot koran-koran, radio-radio, sebagai salah satu bahan pengambilan keputusan.

Maka, Billy memilih cara terakhir. Ia pilih sebuah kamar di lantai atas sebuah hotel, menanti iring-iringan Sukarno lewat. Dari jendela yang terbuka, si kecil yang sebenarnya tak terlampau berani itu mengibarkan spanduk besar: 'Sukarno Feed Your People'.

Agen intelijen mengejarnya. Mendobrak pintu kamar. Billy terjatuh dari jendela itu, tubuhnya menghantam aspal. Mati. Spanduk itu digulung oleh para intel, sebelum Sukarno lewat. Bahkan, upaya perlawanan terakhir dengan kata-kata pun adalah perlawanan yang gagal.

Saya percaya Dipo tak punya cukup imajinasi untuk membayangkan wartawan Indonesia akan meniru Billy. Namun, satu hal yang sama antara Billy dan semua wartawan di dunia: mereka percaya terhadap kata-kata. Dan kata-kata menjadi sesuatu yang tak selamanya disukai oleh penguasa. Apalagi ada ruang di mana kata-kata tak bisa dikontrol.

Saya tak hendak mengatakan tiga media massa yang membuat Dipo geram itu malaikat. Tidak. Jurnalisme menyediakan kemungkinan-kemungkinan untuk berbuat salah. Namun jurnalisme yang baik bukanlah jurnalisme yang tak pernah salah. Jurnalisme yang baik justru muncul ketika ada ruang di mana publik bisa ikut serta, bahkan untuk menilai kinerja wartawan.

Satu dasawarsa lebih kebebasan pers Indonesia bukannya tanpa kelemahan. Namun, bagai nyala lilin di malam hari, ia lebih baik ada daripada gelap.

Ada kritik, ruang redaksi media massa kita masih belum sepenuhnya independen dari tekanan pemilik. Apalagi kepemilikan media massa di Indonesia tersentral di beberapa tangan taipan cum politisi saja. Namun, itu bukan alasan bagi pemerintah untuk mengatakan 'tidak' kepada media massa. Bisnis media massa bekerja berdasarkan logika kepercayaan publik. Selama publik masih percaya, maka sebuah media massa akan tetap hidup, bahkan di bawah ancaman boikot dari aparat negara.

Begitulah. [wir]

No comments: