01 February 2011



Arema, Bisnis Sepakbola, dan Transparansi

Seorang fans sepakbola Indonesia menuliskan sebuah tagline di Facebook yang menunjukkan betapa pentingnya posisi suporter: 'suporter bisa tetap hidup tanpa klub sepakbola, tapi klub tak akan bisa hidup tanpa dukungan suporter'.

Betapa benarnya pernyataan itu. Sebuah klub membutuhkan suporter untuk membeli tiket pertandingan, memenuhi stadion dengan suara gemuruh dukungan, membeli jersey dan aksesoris resmi klub, yang semuanya berarti memutar roda ekonomi klub. Dari uang sponsor dan penonton, klub bisa membeli dan menggaji pemain sesuai kebutuhan tim.

Sebagai gantinya, klub memberikan kebanggaan dan kegembiraan terhadap para suporter yang telah membayar itu dengan gelar juara. Klub juga memberikan kesedihan, saat kalah dalam perebutan titel liga. Tidak ikatan resmi antara klub dan penggemarnya: komunitas suporter terbentuk sebagai komunitas yang terbayangkan.

Sebaliknya, klub harus bersiap mengalami krisis finansial, saat penonton tidak memiliki kepercayaan. Saat stadion sepi, maka itu seperti lonceng kematian bagi sebuah klub. Betapa tidak berimbangnya hubungan klub dan suporter: keuntungan ekonomi di satu sisi, kecintaan dan kebanggaan yang sifatnya relatif di sisi lain.

Namun benarkah para suporter di Indonesia sudah cukup memiliki kekuatan daya tawar terhadap klub? Gonjang-ganjing rangkaian pemberitaan tentang gelar juara Arema pada akhirnya menguak contoh, betapa sebenarnya posisi suporter di depan klub begitu lemah.

Arema menjadi contoh bagus, karena pertama, klub ini yang selalu digadang-gadang sebagai klub profesional di Indonesia. Klub ini tidak didanai APBD. Dalam Majalah Tempo, Presiden Direktur PT Liga Andi Darussalam menyebut, Arema harus diselamatkan untuk menjadi proyek percontohan bagaimana sebuah klub profesional dikelola dan sukses.

Kedua, karena selama ini muncul klaim bahwa klub ini dihidupi oleh penggemarnya. Majalah Four Four Two edisi Juni 2010 menyebutkan, 40 persen pendapatan klub berasal dari tiket pertandingan selama satu musim. Aremania rela membeli tiket kelas ekonomi seharga Rp 25 ribu, Rp 75 ribu kelas VIP, dan Rp 100 ribu kelas VVIP di Stadion Kanjuruhan.

Kapasitas Stadion Kanjuruhan 35 ribu penonton, dan rata-rata per pertandingan Arema bisa menangguk pemasukan Rp 700 juta hingga Rp 1,1 miliar. Jika dirata-rata pemasukan per pertandingan Rp 700 juta, maka dengan 17 pertandingan dalam satu musim, maka Arema memeroleh pemasukan sekitar Rp 11 miliar lebih.

Dari penjualan merchandise atau aksesoris klub (yang dibeli oleh penggemar), masih menurut Four Four Two, Arema meraup pendapatan 10 persen. Bahkan, Aremania ikut menyewa a-board di tepi lapangan. Jika dihitung, ini berarti 50 persen pemasukan Arema berasal dari fans.

Namun, di awal musim pula, Aremania selalu menjadi pihak yang ikut 'deg-deg syur' dengan kondisi keuangan Arema. Apalagi, setelah Bentoel tak lagi menjadi sponsor utama. Manajemen Arema mengumumkan bahwa awal musim ini klub memulai dari minus miliaran rupiah.

Salah satu aspek profesionalisme adalah transparansi. Para suporter di Inggris bisa bereaksi terhadap krisis yang mendera klub dikarenakan adanya transparansi keuangan klub selama ini. Suporter tahu berapa utang klub ke pihak bank atau berapa nilai akuisisi klub oleh seorang miliarder seperti Abramovich.

Klub di Inggris atau Italia juga sangat transparan mengenai struktur kepemilikan klub. Dengan begitu, fans bisa menuntut pertanggungjawaban, saat klub terpuruk dalam krisis finansial. Bahkan, para fans bisa bergerak melakukan 'kudeta', sebagaimana dilakukan fans Northampton Town pada tahun 1994. Saat itu, fans Northampton membentuk semacam paguyuban, dan mengambilalih klub yang sedang dilanda krisis keuangan.

Hal ini yang belum ditemui di Arema. Tak banyak fans yang tahu, bagaimana keuangan klub dikelola: bagaimana klub bisa merugi, jika pendapatan dari tiket pertandingan begitu besar. Bagaimana pemain bisa terlambat digaji. Siapa saja yang selama ini membiayai atau menjadi donatur klub dan bagaimana struktur kepemilikan klub ini. Majalah Four Four Two menyebut pemasukan dari donatur mencapai 30 persen, terbanyak kedua setelah pemasukan dari tiket, bahkan di atas pemasukan dari sponsor. Namun siapa saja para donatur itu, tak banyak Aremania yang tahu.

Di sebuah kafe yang riuh dengan lagu-lagu pop Indonesia, sembari menyeruput segelas es juice, saya berdiskusi dengan seorang kawan, seorang Aremania. Saya menyatakan, gelar juara Arema kelak rawan dipersoalkan dan menjadi kontroversi, karena adanya keterlibatan pengelola Liga Indonesia dalam pengelolaan klub berjuluk Singo Edan itu.

Sejak Liga Indonesia diputar tahun 1994, saya belum pernah mendengar ada orang nomor satu dalam pengelolaan liga yang terlibat dalam pengelolaan klub juara liga. Saya pikir, Arema menjadi pionir dalam hal ini.

Tentu saja, ada privelese yang bisa diterima Arema di sini, terutama dalam hal pencarian sponsor. Tempo menuliskan: Andi Darussalam Tabusala juga mencarikan pelatih dan pemain asing terbaik. "Saya punya ikatan batin kuat dengan Arema," demikian kata Andi, sebagaimana dikutip Tempo.

Saya membayangkan, andaikata pengurus liga seperti Andi memiliki ikatan batin kuat dengan semua klub peserta Liga Super atau Divisi Utama, tentu tak akan ada klub seperti PSDS Deli Serdang yang mundur di awal kompetisi karena tak punya biaya. Saya membayangkan, andai semua klub dibantu untuk mencarikan pemain terbaik, tentu laga liga akan semakin seru.

Kawan saya, Aremania itu, membantah keras. "Mana buktinya?" Lalu, dengan tersenyum lebar dan bangga ia menyatakan: 'Arema juara!' Belakangan, Majalah Tempo yang menjawab gamblang keragu-raguan teman saya itu melalui berita investigasinya.

Berita investigatif itu memicu kontroversi. Sayang, sebagian Aremania cenderung defensif dan protektif menghadapinya. Dalam surat terbukanya, wartawan Tempo di Malang, Abdi Purnomo, menyebutkan dirinya menjadi sasaran hujatan dan bahkan ancaman, setelah berita berjudul 'Kompetisi dengan Spesialis Blunder dan Kado Penalti' itu terbit.

Padahal, semestinya kontroversi ini menjadi momentum penting bagi semua pihak, bukan saja Arema dan Aremania, untuk lebih terbuka dalam mengelola klub. Budaya kongkalikong dan syak-wasangka berkembang dalam ketertutupan. Ini seperti jamur yang tumbuh subur di kaki yang tak pernah membuka sepatu dan kaos kaki.

Profesionalisme tak akan pernah ada tanpa keterbukaan dan pengawasan terhadap kemungkinan penyimpangan. Profesionalisme tidak hanya ditahbiskan begitu saja karena sebuah klub tidak dibiayai dengan uang negara. Klub-klub yang menggunakan APBD memang bisa dibilang tidak mandiri. Namun klub ini dipantau ketat melalui audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Pencatatan pengeluaran klub yang tidak jelas bisa sewaktu-waktu membawa pengelola klub ke meja hijau, seperti kasus yang membelit Persisam Samarinda.

Klub profesional seperti Arema sudah saatnya membuka diri agar pengelolaan mereka bisa dipantau oleh fans. Fans seperti Aremania juga tak perlu defensif, seolah-olah tidak ada apa-apa dengan klub mereka. Jangan sampai kesulitan keuangan yang seolah menjadi tradisi justru menjadi kebanggaan: 'Arema sudah bisa mengalaminya, tapi kami bisa bertahan'.

Di Inggris, kesulitan keuangan memang jarang sekali membunuh klub sepakbola. jurnalis Simon Kuper dan ekonom Stefan Syzmanski mencatat, klub sepakbola adalah bisnis paling stabil. Tahun 1923, ada 88 klub tercatat mengikuti liga. Musim kompetisi 2007/2008, 97 persen klub itu masih eksis. Salah satunya dikarenakan loyalitas suporter. Klub Aldershot bangkrut tahun 1992, tapi para pendukung klub langsung mendirikan Aldershot Town AFC yang sama persis dengan klub lama.

Loyalitas Aremania adalah kunci yang menyelamatkan Arema. Namun kesulitan keuangan yang senantiasa terjadi, seharusnya justru memunculkan pertanyaan kritis dan cerdas dalam diri pecinta Arema: mengapa ini bisa terjadi, benarkah ini karena faktor kebetulan belaka atau memang ada salah urus.

Kesulitan finansial klub sepakbola di Indonesia berbeda dengan di Inggris. Di Inggris, kesulitan finansial terjadi karena klub terbelit utang setelah pemilik gila-gilaan melakukan operasi transfer pemain dan menjadikan klub seperti barang dagangan. Seluruh fans tahu, dan bahkan berani melakukan protes terhadap ketidakberesan klub, sebagaimana dilakukan fans Liverpool dan Manchester United. Tak heran, di Eropa diterapkan aturan Financial Fair Play. Tujuannya membatasi belanja pemain dengan nominal gila-gilaan. Klub juga diwajibkan untuk mendanai diri sendiri dari pemasukan asli, dan bukannya dari gelontoran duit tiada batas pemilik klub macam Abramovich.

Sementara di Indonesia, krisis klub selalu terjadi karena ketidakjelasan. Berapapun duit yang digelontorkan selalu kurang, bahkan terpaksa berutang. Biaya nonteknis diperkirakan banyak membebani klub. Belum lagi denda yang dengan mudahnya dijatuhkan oleh PSSI, sementara PSSI atau Badan Liga Indonesia cenderung diam melihat kesulitan pendanaan klub. Bahkan ironis, PSDS yang menyatakan mundur dari kompetisi di awal musim karena kesulitan keuangan, justru dipuji.

Rasanya sindiran jurnalis Simon Kuper dan ekonom Stefan Syzmanski soal dunia sepakbola sebagai bisnis yang kecil dan buruk, tepat menghunjam ke jantung sepakbola Indonesia. "Siapa saja yang pernah menghabiskan waktu di dalam sepakbola, pasti segera mengetahui bahwa...ketololan adalah bagian inti dari bisnis sepakbola."

Alamak. [wir]

3 comments:

aremania jember said...

urusono persidmu iku gak usah ngurusi arema.... arema gak butuh wong-wong koyo koen cuk....!!!

Oryza Ardyansyah Wirawan said...

@aremania jember: ckckckck...

Anonymous said...

Salah satu contoh sikap fanatisme buta yg bisa menghancurkan klub ... suara suporter yg dewasa dan bijak terbukti lebih sanggup membantu kelangsungan hidup suatu klub ... save our AREMA , sasaji ...