12 February 2011

'A9ama' Saya adalah Jurnalisme

Presiden Yudhoyono dalam peringatan Hari Pers Nasional di Kupang meminta, media massa agar tak provokatif, dan tak merusak hubungan kerukunan umat beragama. Liputan pers sebaiknya segaris dengan tekad dan komitmen memperkokoh toleransi.

Saya kira permintaan Yudhoyono tak berlebihan. "Bagi seorang wartawan, dia harus mendahulukan jurnalisme. Agamanya, kewarganegaraannya, ideologinya, latar belakang sosial, etnik, dan sebagainya harus dia tinggalkan di rumah begitu dia keluar dari pintu rumah dan jadi wartawan," tulis Andreas Harsono.

Andreas, asli Jember, Jawa Timur, pernah bekerja di The Jakarta Post, The Nation (Bangkok), The Star (Kuala Lumpur). Dia adalah salah satu mentor saya di dunia jurnalisme. Suatu haru, ia mengirimkan sebuah buku karyanya berwarna sampul merah. Judulnya, 'A9ama Saya adalah Jurnalisme'.

"Kalau masih ditanya juga soal apa agama saya, saya akan jawab: agama saya adalah jurnalisme. Saya percaya bahwa jurnalisme sangat berguna untuk kebaikan masyarakat," katanya, saat diwawancarai Radio 68 H.

Saya tak tahu seberapa serius Andreas menyatakan diri beragama jurnalisme. Mungkin itu ungkapan kekecewaannya terhadap kehidupan beragama di Indonesia yang dipenuhi kekerasan. Mungkin ia percaya kepada jurnalisme, karena seorang jurnalis pada hakikatnya meneruskan peran kenabian: 'menyampaikan apa yang benar', melayani publik, melayani umat.

Dalam buku bunga rampai itu, Andreas mengupas sembilan elemen jurnalisme yang menjadi semacam 'sembilan perintah bagi wartawan'. Sembilan elemen tersebut agaknya yang membuatnya meyakini jurnalisme tak ubahnya agama.

Sembilan elemen ini dituahkan gurunya di Nieman Fellows, Bill Kovach: kebenaran fungsional, loyal terhadap warga, disiplin verifikasi, independen, memantau kekuasaan, jurnalisme sebagai forum publik, menjadikan berita menarik dan relevan, menjaga berita komprehensif dan proporsional, dan mendengarkan hati nurani.

Namun semudah itukah berharap pada jurnalisme di sebuah negeri yang tengah koyak seperti Indonesia? Jurnalisme memang hadir untuk melayani publik, menyampaikan kebenaran. Dengan demikian, publik bisa melanjutkan hidupnya, dan menentukan pilihan-pilihan berdasarkan informasi tersebut. Namun, jurnalisme di Indonesia dalam praktik tak selamanya sejalan dengan jurnalisme di langit gagasan.

Jurnalisme Indonesia menghadapi persoalan dari awal, justru dari masalah kemampuan wartawan dalam menulis. Andreas menulis: banyak redaktur mengeluh tentang betapa sedikitnya wartawan yang bisa menulis berita dengan benar. Kesalahan terjadi dalam proses rekrutmen.

Media-media besar cenderung melakukan rekrutmen dengan jalan 'konservatif', sebagaimana layaknya rekrutmen pegawai di perusahaan non media. Calon wartawan ditanyai berapa tinggi indeks prestasi kumulatif di bangku kuliah. Mereka dites oleh orang-orang personalia, seringkali tanpa melibatkan tulisan sang wartawan, dan melalui tes psikologi.

Padahal, apa pula relevansi indeks prestasi kumulatif semasa kuliah dengan kemampuan menulis? Apalagi, rata-rata wartawan Indonesia tidak memiliki latar belakang pendidikan sekolah jurnalistik. Mereka berasal dari perguruan-perguruan tinggi umum yang tak terkait sama sekali dengan jurnalisme.

Mengandalkan sekolah jurnalistik untuk memasok wartawan di Indonesia juga tak cukup. Jurnalisme adalah panggilan jiwa, bukan sebuah pekerjaan biasa. Lagipula, dalam masa reformasi, terjadi lonjakan jumlah media cetak, televisi, radio, dan online. Wartawan saat ini diperkirakan sekitar 8.000-10.000 orang.

Sekolah jurnalisme juga mengalami persoalan: terhambat 'kurikulum nasional', tak memiliki interaksi antara pendidikan jurnalisme dan industri media, tak dilengkapi teknologi memadai, dan 80 persen terletak di Jawa sehingga tak memiliki persebaran merata di seluruh Indonesia.

Andreas mengkritik model pencarian jurnalis televisi melalui model 'festival' ala Indonesian Idol atau Akademi Fantasi Indonesiar. Model pencarian jurnalis 'festival' ini cenderung instan dan seorang calon wartawan tak diukur rekam jejak kemampuan jurnalismenya.

Bagi seorang Sonny Rawls, mantan wartawan dan redaktur The Philadelphia Inquirer, sebuah koran di Amerika, mencari wartawan adalah seni, dan perlu dilakukan sendiri oleh redaktur puncak media massa bersangkutan. Tulisan adalah utama. Rawls jarang memasang pengumuman lowongan, dan justru memilih melakukan talent scouting di media-media kecil.

Dari persoalan kemampuan, hambatan berikutnya jurnalisme Indonesia adalah masalah bias. Tak mudah bagi wartawan Indonesia melepaskan bias dalam liputan, terutama terkait dengan konflik sosial, politik, agama, atau nasionalisme. Di Ambon, laporan reportase Majalah Pantau dengan gamblang menyebutkan, bagaimana media massa terbagi dalam keberpihakan dua kelompok penganut agama yang saling bertikai.

Dalam sebuah konflik, kebenaran tak selamanya segaris dan sejalan dengan posisi tertentu: entah itu posisi sosial, politik, kelompok agama, maupun ideologi. Kebenaran adalah kebenaran, sesuatu yang fungsional, yang selalu bisa diperbaiki terus-menerus melalui proses verifikasi. Jurnalisme bukan propaganda, dan tak memiliki label dengan paham apapun.

Tak mudah bagi wartawan untuk memantapkan posisi mereka sebagaimana diidealkan. Terlebih lagi industri media massa tak banyak memberikan ruang pada independensi. Sebagaimana yang terjadi di Amerika Serikat, para redaktur menerapkan gaya manajemen yang disebut 'management by objections'.

Dalam model manajemen ini, pendapatan seorang redaktur dikaitkan dengan penjualan iklan. Andreas, mengutip dari Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, menilai, model seperti ini bisa menggeser loyalitas media massa dari kepada masyarakat terhadap keuntungan perusahaan alias pemasang iklan.

Konglomerasi media massa membuat posisi jurnalisme di Indonesia lebih menjadi arena pertarungan kepentingan bisnis dan politik pemilik media. "Gerak bisnis media massa lebih cepat daripada gerak redaksional," keluh Andreas. Redaksi bisa melakukan sensor internal jika tak sesuai dengan kepentingan pemilik bisnis atau politik modal atau media.

Pertanyaan penting berikutnya: masihkah ada jalan keluar? Andreas menegaskan: ruang redaksi bukanlah tempat di mana demokrasi dijalankan. Ruang redaksi bahkan punya kecenderungan menciptakan kediktatoran. Membolehkan tiap individu wartawan menyuarakan hati nurani pada dasarnya membuat urusan manajemen menjadi lebih kompleks.

Tugas setiap redaktur memahami persoalan ini. Keputusan final ada di tangan redaktur. Namun. mereka harus senantiasa membuka diri, agar setiap orang yang hendak memberikan kritik bisa langsung datang kepada mereka.

Andreas mengutip Bob Woodward, wartawan The Washington Post yang kesohor itu. "Jurnalisme yang paling baik seringkali muncul ketika ia menentang manajemennya." [wir]

No comments: